ririwyss

Malam rabu; Lintang dan rasa.


Belakangan ini semuanya tidak baik-baik saja. Baik hari yang berganti maupun lintang yang patah hati, rasanya gak ada yang membantu.

Kalau dulu Lintang pernah menertawakan lelaki yang sedang galau, sekarang ia yakin bahwa orang itu juga sedang menertawakannya.

Patah hati itu rasanya enggak enak ternyata.

Dan itu yang lintang rasakan sekarang.

“Halo bunda? Jadi kapan pulangnya?” tanya Lintang yang sedang bertelponan dengan ibunya.

“2 hari lagi ya, dek,” jawab bunda lembut. “Kamu lagi ngapain?”

“Rebahan doang bun, ntar lagi tidur kayaknya.”

Lintang menatap langit-langit kamarnya. Rumah jadi sangat sepi karena bundanya yang sedang pergi keluar kota untuk mengunjungi kakaknya yang sedang ngekost kuliah.

Kalau Ayah Lintang, dia kerjanya di pulau Kalimantan. Ketemunya cuma setahun 4 kali, tapi tetap dia ayah yang baik kata Lintang. Walau rumahnya kadang tidak terasa seperti rumah.

“Kenapa, Lintang? Ada yang mau diceritain sama bunda?”

“Gapapa bun, capek aja.”

Bunda tersenyum diujung sana, “Dek, bunda tau, bunda dengerin kok.”

Napas berat terhela dari Lintang. Bundanya itu memang selalu tau dan bisa membujuknya.

“Anin punya pacar, bun.”

“Anindya?”

“Iya,” jawab Lintang pelan.

“Lintang belum sempat bilang, ya?”

“Belum bun,” kata Lintang. “Lagian walau Lintang bilang pun belum tentu Anin mau, karena dari awal dia sukanya sama Haksa, bukan sama Lintang.”

“Kok bisa tau gitu?”

“Keliatan, bunda. Anin nganggap Lintang cuma sahabat, temen dia dari kecil. Beda kalau sama Haksa.”

“Anak bunda lagi ngerasain patah hati, ya? Gapapa kok kalau sedih deeekkk,” Kata bunda lembut. “Andai bunda disana, mau bunda pelukkkk yang lama.”

Lintang tertawa kecil, “Gak sedih, bunda. Cuma, kecewa?”

“Sedih, kecewa, marah, nangis, atau bahkan teriak sekalipun gapapa, Lintang.”

“Lintang laki-laki, bun.”

“Berarti laki-laki gak boleh nangis, ya?”

“Gak gitu..”

Bunda tertawa, “Tau gak dek, ayah dulu pas tau bunda pacaran sama cowo lain nangis loh, mana kata temen-temennya sampai sedih gitu kalau dikelas hahaha.”

“Loh, ayah?” tanya Lintang tak percaya.

“Hahaha iya! Ayahmu itu tampangnya aja sangar, tapi kalau udah sayang, kamu bakal liat sisi lain dari dia.”

“Terus, dulu bunda gimana?”

“Yaaaa, gak gimana-gimana,” jujur bunda. “Bunda kan gak tau kalau ternyata ayah kamu suka sama bunda hahaha.”

Lintang dan bundanya sama-sama tertawa. Gak pernah terbayangkan dipikiran Lintang, kalau ayahnya yang ia segani itu bisa menangis juga karena masalah percintaan.

“Lintang, dengerin bunda. Menyuarakan emosi yang adek rasakan bukan berarti kamu lemah,” ujar bunda. “Itu namanya adek manusiawi.”

“Iya, bunda.”

“Adek sama Anin tetep temenan?”

“Tetap, bunda. Lagian gak ada alasan untuk mutusin hubungan pertemanan kan?”

Bunda tersenyum lagi dan lagi, anak terakhirnya itu sedang belajar menjadi dewasa ternyata.

“Iya bener, adek hebat udah milih itu.” kata bunda. “Dek, jangan benci sama Haksa, ya?”

“Engga, bunda. Tapi kalau Haksa nyakitin Anindya, Lintang bakal marah.”

“Iyaaaa,” kata bunda paham. “Kalau Renjana?”

“Jana?”

“Iya, si Jana. Adek gimana sama dia?”

“gak gimana-gimana bun, kan kita temenan dari dulu.”

“Iya bunda tau kalian temenan,” potong bunda. “Tapi adek juga pasti tau kan tentang perasaan Jana?”

Lintang terdiam sebentar, “Tau, bunda.”

“Jangan benci Jana karena perasaan dia ke kamu, ya dek? Bukan salah Jana, bisa jadi dia juga bingung kenapa sukanya malah sama kamu.”

“Tapi Lintang juga bingung,” katanya. “Lintang udah bilang gak bisa tapi Jana selalu bilang gapapa, Jana pernah nangis karena Lintang, bunda. Rasanya gak enak banget untuk Lintang.”

“Iyaaaaa adek bunda paham,” kata bunda lembut. “Tapi kamu sudah minta maaf?”

“Sudah, tapi habis itu dia malah minta traktir.”

Bunda tertawa geli diujung telpon, “Renjana itu orangnya emang susah ketebak ya? Dulu bunda pernah bilang kalau sukanya cheesecake di café dia, eh besokannya dia bawain chiffon matcha terus kerumah kita hahaha.”

Lintang sedikit tersenyum, “Oh, jadi kue yang waktu itu dari Jana?”

“Iyaaaaa, dia bawain terus selama seminggu kerumah, katanya supaya bunda tau kalau banyak lagi kue-kue enak di café dia hahaha.”

“Hahaha Jana emang gitu.”

“Strategi marketingnya bagus.”

“Iya.”

“Sulit ketebak juga.”

“Iya bunda.”

“Adek jangan sampai nyesel ya?”

“Kenapa?”

“Apa yang ada sekarang harus adek hargain, biar nanti kalau udah pergi gak ada penyesalan.”

Lintang diam sejenak, lagi. Entah kenapa perkataan bundanya itu menimbulkan perasaan tidak enak dihatinya.

“Iya bunda sayang.”

Momen; nyaman bersamamu.


Entahlah ini malam apa, entah juga sudah berapa hari sejak Haksa dan Anindya resmi berpacaran, entah sudah berapa banyak gombalan dan kata manis yang Haksa berikan pada Anindya.

Tidak terasa, berdua saja, tapi dunia sudah seakan jadi tempat paling indah.

Pasangan baru, bener-bener lagi dimabuk cinta!

Tadi, mereka habis dari angkringan Pak Mo. Tempat biasa Haksa dan kawanannya berkumpul kalau malam. Tadi, Haksa dan Anindya makan-makan disana bersama kawan-kawan yang lain. Jevan dan Sharen, Nalendra dan Cella, Renald dan Kiara, dan Jana yang sendiri.

Gak kok, Jana gak merasa risih. Toh, mereka semua berteman. Tapi tak lama setelahnya, ada Tantra yang datang ikut bergabung bersama mereka. Alhasil jadi tambah rame!

“Woy PBJ Haksa sama Anin full seminggu ini!” seru Nalendra. “Kenyang kita everybodehhhh!”

Semua yang disana berteriak menyoraki Haksa dan Anin. Pada senang karena agenda traktiran ini bakal terjadi selama seminggu full, kata Nalendra sih.

Perkataan Nalen itu membuat Haksa menggelengkan kepala tidak percaya dan Anindya yang tertawa sedari tadi.

“Iya traktirannya hari ini, sisanya makan angin,” kata Haksa.

Begitulah tadi pada saat di angkringan Pak Mo. Semuanya senang dan banyak tawa yang mengembang. Acara makan-makan itu memang Haksa yang merencanakan, anggap aja syukuran kata Haksa supaya hubungan dia dan Anindya menjadi langgeng.

Ada-ada aja tapi ada benernya juga, pikir Anin.

“Ayo nyanyi, Sa,” pinta Anindya.

Haksa yang memang sedari tadi sedang memainkan gitarnya itu tersenyum mengiyakan. Tatapan si gadis tidak lepas darinya yang mulai memetik gitar.

Dinginnya malam, hembusan angin malam, di atas kap mobil keduanya duduk, menghadap kearah cahaya dari pemukiman warga.

Mereka berdua lagi ada di daerah Bandung atas. Sedang city light kalau kata orang-orang.

Aku ingin kau selalu ada disini

Tuk temani, hari yang terus berganti

Karena aku tak pernah mau tuk sendiri

Raga dan jiwaku nyaman, bersamamu.

Antara pagi dan kau, itu judul lagu yang dinyanyikan Haksa untuk Anindya. Nama bandnya Daun Jatuh, band kesukaan Haksa karena lagu mereka yang mempunyai lirik sederhana, tidak neko-neko.

Haksa memang selalu suka sama sesuatu yang sederhana, Anindya contohnya.

“Bagus banget!” seru Anindya. “Lagunya udah bagus, dinyanyiin kamu jadi tambah bagus!”

Si lelaki tersenyum malu, “Aelah bisa aja nih ngasih pujiannya, si manis.”

Walau sudah sering bernyanyi dihadapan Anindya, Haksa tetap saja merasa malu kalau dipujinya. Apa ya? Pokoknya beda aja kalau yang memuji itu adalah orang yang kamu sukai, orang yang kamu sayang. Pujiannya bukan masuk ke telinga tapi masuk ke hati. Kalau kata Haksa sih, hahaha.

“Nin, main sambung kata hayuuuu,” ajak Haksa.

“Ayoo!” setuju Anindya. “Siapa yang duluan?”

“Kamu aja, kata awalnya ‘aku’.”

Anindya tampak berpikir sebentar sebelum kembali berkata.

“Emm, aku… suka… Haksa!”

“Haksa... suka Anindya, duluan,” sahut si lelaki.

“Duluan..” Anindya tampak berpikir lama. “Duluan apa Haksa? Ah, bentar aku bingung! Kenapa pake ada kata duluan sih?!”

Anindya terus mengoceh dengan gemas, setidaknya itu yang ada dipandangan Haksa. Ia protes karena Haksa tadi memakai kata duluan sebagai akhir kalimat.

“Ada sayang,” kata Haksa. “Contohnya, duluan pak, bu, permisi ya, sayanya jangan dimakan.”

“Ah, maneh mah aya-aya wae!” protes Anindya tapi sambil tertawa ngakak karena mendengar contoh dari Haksa. (Ah, kamu itu ada-ada aja!)

Haksa juga ikut tertawa. Hal yang Haksa sadari setelah pacaran sama Anin adalah, ketika Anindya keceplosan berbicara dengan bahasa sunda, itu adalah hal yang gemas. Karena selama ini Anin selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baku, yang menjadikannya ciri khas Anin.

Sehingga dulu waktu Anin memanggilnya dengan kata ‘kamu’ sudah berhasil membuat Haksa bahagia semalaman.

Kunaon? Betul kan?” tanya Haksa dengan nada menggoda. (Kenapa?)

Kumaha maneh we,” jawab Anin dengan sisa ketawa. (gimana kamu aja.)

Malam itu, di atas kap mobil milik Haksa, keduanya seperti menjadi orang yang paling bahagia. Banyaknya kendaraan yang lalu lalang di dekat parkir mobil Haksa sama sekali tidak menganggu tawa mereka.

Dulu, waktu masih pendekatan, kalian pasti tau kan betapa lambatnya pergerakan Haksa? Banyak yang ia pikirkan saat itu. Tentang traumanya sama jatuh cinta, Anindya yang ia kira sudah pacaran sama Lintang, Anindya yang selalu ada didekat Lintang.

Tapi kalau melihat kebelakang, Haksa bersyukur karena ia tidak menyerah. Rasanya Haksa ingin kembali ke masa lalu, pergi menemui dirinya sambil bilang, “Keren euy gak nyerah. Tenang aja, nanti dimasa depan kamu bakal jadi pacarnya Anindya!”

Kalau tentang Anindya, seperti yang kalian baca di cerita ini. Dia itu gadis yang bisa dikatakan polos, belum pernah berpacaran, tapi kalau suka sama orang pernah sekali. Dulu waktu SMP, samar-samar Anindya ingat ia pernah menyukai kakak kelasnya.

Alasannya sangat sederhana, karena dia membantu Anin memberesi buku-buku yang jatuh dari tangan Anin. Ya, tapi itu cuma rasa suka sesaat.

Kemudian di bangku akhir SMA, ada lelaki bernama Haksa Bagaskara yang tiba-tiba mengambil atensinya. Anin kembali samar merasakan perasaan aneh dihati.

Untungnya semesta benar-benar membantu mereka. Mengabulkan semua doa Haksa dan Anindya yang meminta untuk bersatu. Terdengar berlebihan tapi memang begitu adanya.

“Kita baru ada interaksi itu pas kelas 12, ya?” tanya Anin.

“Iya,” Jawab Haksa. “Kamu ingatnya dimana?”

“Waktu dilapangan belakang, yang kamu berantem sama Yovan terus aku obatin kamu di UKS.”

Haksa mengangguk tersenyum, “Tau gak, manis? Sehari sebelumnya kita ketemu.”

Anin kaget mendengarnya, “Serius? Dimana, Sa?”

“Di café, pas sore,” Jelas Haksa sambil mengusak rambut Anin. “Kamu lagi belajar keknya disana. Terus pas mau bayar, kita bayar sama-sama. Ingat gak sama anak kecil yang nangis itu?”

“Oh iya? Iyaaa inget!” seru Anin semangat. “Kamu yang bayar disamping aku ya berarti?”

“Iya sayang, itu aku.”

“Aku gak terlalu merhatiin kamu, Sa,” papar Anin. “Soalnya anak kecil yang nangis itu beneran bikin aku kalang kabut, jadinya gak merhatiin sekitar, hahaha.”

Haksa juga ikut tertawa dengan Anin.

“Aku hampir tau nama kamu sore itu,” kata Haksa yang kini memainkan jemari Anin. “Tapi sayang, si anak kecil nangis lagi, jadi gak dengar nama kamu dari penjaga kasir.”

Anindya tersenyum, “Jadinya, tau nama aku dari mana?”

“Dari Nalendra, pastinya. Kamu beneran gak kelihatan, Nin. Bahkan aku tau ada kamu pas kelas 12.”

Anin tertawa kecil, “Aku sembunyi, Sa.”

“Sengaja ya?”

“Sengaja apa?” tanya Anin.

“Sengaja sembunyi, terus datangnya pas aku udah siap jatuh cinta lagi.”

Anin terus tersenyum, “Iya kayaknya, biar pas kamu sudah siap jatuh cinta, jatuhnya sama aku.”

Haksa mencubit gemas hidung Anin, “Pinter ngegombal euy, si manis!

“Hahaha, belajar dari kamu!”


Sudah mau jam 10 malam. Haksa mengantarkan Anindya pulang, tapi sekarang lagi terjebak lampu merah. Haksa menyetir dengan 1 tangan, tangan satunya lagi untuk menggenggam tangan si gadis.

Anindya sudah bilang agar Haksa menyetir dengan dua tangan, tapi Haksa bilang, kasian tangan Anin kedinginan, jadi biar tangan dia bantu hangatin.

Anindya sampai terperangah, tapi gak nolak juga.

“Nanti,” kata Haksa. “kalau ada yang bilang gak suka sama kamu, bilang sama aku.”

“Kenapa emangnya?”

“Mau aku bilang, makasih, makasiiih banget,” kata Haksa tersenyum. “Makasih, soalnya kalau kamu suka pun belum tentu Anin mau sama kamu.”

Anin tertawa kecil, “Iyaaa, soalnya aku maunya sama kamu!”

“Aku tau, Anin,” kata Haksa sambil mengusak rambut Anin cepat.

“Sok tau terusssss.”

Haksa terkekeh, “Beneran tau, Anin. Pohon mangga rumahmu aja tau, bude tau, Lintang tau, semua teman-temanku tau, Pak Ateng satpam sekolah tau, Pak Mo tau,” Haksa mengambil napas sebentar. “Oh, bakso yang suka kita makan juga tau.”

“Hahaha kok bisa baksonya tau?”

“Udah aku bisikin, sayang,” kata Haksa mengelus tangan Anin. “Kan aku pernah bilang, semua mahluk hidup harus tau tentang kamu.”

“Bakso mah bukan mahluk hidup, Haksa sayang,” kata Anin sambil tertawa.

“Kan dulunya pernah hidup, Anindya sayang.”

“Ah, maneh mah emang dasarnya pengen pamer!”

“Tenang, aku belum pernah pamerin kamu sama setan,” kata Haksa. “Mau coba?”

“JANGAN GAMAUUUUU!!”

Haksa tertawa senang, Anindya juga, sampai-sampai airmatanya mau keluar karena asik ketawa malam itu.

Malam ajaib; waktu selama-lamanya.


Haksa kalut malam itu. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang gila-gilaan untuk segera mencapai rumah Anindya, sebelum ia nekat pergi ke Bogor tanpa arah tujuan.

Anin dimana, gue khawatir.

Ia mendesah kecewa saat terhenti di lampu merah. Tangannya kembali berkutik pada ponsel untuk menelpon Anindya namun tidak diangkat. Haksa mengacak rambutnya asal, terlalu banyak rasa takut di relung hatinya.

Haksa bahkan belum memiliki, apakah ia harus duluan merasakan kehilangan?

Mobil Haksa memasuki kawasan rumah Anin. Ia memarkirkan mobil dengan harapan yang penuh karena melihat lampu teras depan rumah Anindya menyala.

Saat Haksa memasuki pekarangan rumah, tetiba keluar seorang gadis yang membawa kantung plastik lalu membuangnya di tempat sampah.

“Anindya!!!”

Haksa langsung berlari dan membawa Anindya kedekapannya.

“Anin kemana aja? Gue kalut, Nin.”

Sang gadis tersentak karena pelukan tiba-tiba itu. Jantung Haksa berdegup cepat, dadanya juga naik turun sehingga membuat Anin memberikan usapan yang menenangkan.

“Disini Haksa,” ucap Anindya. “Aku gak kemana-mana.”

Sang gadis menepuk-nepuk pundak si lelaki, memberikan ketenangan ditengah banyaknya rasa campur aduk didalam diri Haksa.

“Kamu takut aku pergi?”

“Mau tau kebohongan?” tanya Haksa. “Gak, Nin. Gue gak takut lo pergi, dan itu kebohongan.”

Anindya tersenyum didalam pelukan, “Maaf hari ini aku menghilang, aku ketemu sama keluargaku.”

Peluk mereka terlepas, mereka saling tatap, dengan mata Haksa yang terasa lega dan senyum Anindya yang terus mengembang.

“Gue kira lo pindah Bogor, Nin.”

“Engga, Sa. Kak Dery yang pindah kesana, aku sama bude tetap di Bandung.”

Keduanya saling memperhatikan satu sama lain, sampai tiba-tiba Haksa menyampingkan tubuhnya sambil menyeka pipi.

“Hey, kenapa nangis?” tanya Anindya sambil maju mendekat.

Haksa menengadah keatas sambil tertawa kecil, “Maaf, Nin. Gak seharusnya lo liat gue nangis.”

“Kenapa enggak?” balas Anindya. “Sini aku peluk lagi, nangisnya dipelukan aku aja ya?”

Haksa tertawa namun tidak menolak. Hey, siapa yang mengajari gadis ini menggombal?

Tentu dia belajar dari kamu, Haksa.

“Gak ada yang salah sama nangis, Sa.” Anindya memeluk Haksa. “Semua orang punya hak yang sama untuk nangis, mau cewe atau cowo, kalau mau nangis ya nangis aja.”

Merasakan pundaknya mulai basah membuat mata Anindya ikut berair. Ada apa dengan Haksa?

“Seharian ini gue takut, Nin. Tentang lo yang mau pindah kota selalu ngehantuin pikiran gue, lo yang menghilang, lo yang gada kabar.” Haksa mengeratkan pelukannya sesaat. “Gue takut kehilangan lo, Nin.”

“Maaf sudah bikin kamu khawatir hari ini,” ucap Anindya yang airmatanya ikut keluar. “Jangan takut Haksa, aku gak pergi, tetap di Bandung, tetap di rumah ini sama bude, tetap sama kamu juga kalau kamu mau.”

Haksa mengusak rambut Anindya, “Mau, Nin. Apapun kalo sama lo, gue akan selalu mau.”

“Haksa tau? Kalau ngomongnya kayak gini, kayak orang lagi pacaran.”

“Mau?” tanya Haksa. “Ayo kalau gitu!”

Anindya tertawa kecil, “Ada masa percobaannya?”

“Ga ada, kalo sama gue, berarti harus dalam waktu selama-lamanya.”

Anindya tertawa, Haksa juga.

“Yaudah ayo!” kata Anin.

“Serius Nin?!” tanya Haksa dengan mata membulat, “Ah, bentar dulu!”

Ia berjalan ke pinggir pekarangan rumah Anindya. Diambilnya buah mangga yang sudah jatuh didalam kantung kresek yang diikat didahan pohon. Itu pohon mangga punya bude, lagi musimnya makanya pada dipakain kantung kresek.

Haksa berjalan kembali menuju hadapan Anindya.

“Anindya, ayo pacaran sama gue,” kata Haksa sambil menyodorkan mangga didalam kantung kresek. “Gue emang gak bisa janjiin semua hari bahagia, tapi kalo lo lagi gak baik-baik aja, gue siap disana nemenin lo.”

Si gadis tersenyum amat lebar sampai matanya kembali berair. “Diterima!” kata Anindya sambil menerima mangga itu.

“Haaaaahhh!!” Haksa berteriak seperti hilang akal.

Ia dan Anindya, resmi berpacaran? Akh, Haksa pasti menjadi gila sekarang.

“Woi pohon mangga!” teriak Haksa sambil menunjuk pohon mangga tadi. “Kenalin, gue Haksa, pacarnya Anindya!”

Si gadis membulatkan matanya, “Heh ngapain?!”

Sedangkan si lelaki tersenyum bangga menghadapnya, “Lagi pamer, Nin. Semua mahluk hidup harus tau kalo sekarang lo punya gue.”

“Emang ya, kamu tuh suka pamer!” tukas Anindya.

Ya, dari dulu juga Haksa sudah sering chat yang berujung mau pamer pada semua orang. Mau pamer kalau gadis yang namanya Anindya itu ada di dekat dia karena memang Haksa yang mau. Haksa mau Anindya selalu berada didekatnya. Dan Anindya juga sama.

“Sayang, Anindya,” kata Haksa. “Dunia kalo gak tau kamu, sayang banget. Dunia harus tau, tapi yang milikin cuma aku.”

Anindya tertegun mendengarnya. Haksa tiba-tiba mengubah bahasa menjadi aku-kamu. Rasanya sedikit menggelitik mendengarnya. Haksa dengan kata baku seperti itu, tidak baik untuk jantung Anin.

“Iya, Haksa, dunia kalau gak kenal sama kamu juga sayang banget,” jelas Anindya dengan senyum hangat.

“Iya sayang banget, Nin. Tapi aku sayangnya cuma sama kamu,” jujur Haksa. “Dari dulu.”

“Aaaaaa ini kenapa jadi gombal gini?!”

Anindya tidak tahan, bukan karena merasa jijik. Tapi, ah wajahnya sudah memerah, sangat! Kalau begini terus, ia pasti akan berubah jadi kepiting rebus.

Stop Haksa! Jangan buat aku semakin jatuh!

Wah, naha ieu anu bobogohan raket pisan?” (Wah, kenapa ini yang pacaran pada mesra banget?)

Anindya dan Haksa sama-sama menoleh ke teras. Ada bude disana yang sedang menonton keduanya dengan tangan terlipat dan senyum yang penuh menggoda.

“Aaaaa bude kenapa disanaaaa? Anin maluuuuuu.”

Haksa dan bude tertawa melihat Anin yang kehilangan pertahanannya sampai berjalan-jalan memutari pekarangan rumah. Anindya kalau sedang salah tingkah, lucu, itu yang Haksa pikirkan.

Haksa berjalan mendekat ke bude Anin, “Selamat malam sabtu bude, kenalin, Haksa.”

Meni kasep pisan si Haksa,” kata bude sambil menepuk pundak Haksa. “Anin ayo sini, ngapain masih mutar-mutar gitu?” (Ganteng banget si Haksa)

Anindya yang merasa namanya dipanggil berjalan menuju keduanya dengan kepala tertunduk. Ah, lucu sekali! Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sangat merah itu.

“Loh kok ada mangga?” tanya bude melihat tangan Anindya.

“Tuh, tanya ke dia bude!” seru Anin sambil menunjuk Haksa.

“Maaf bude, Haksa belum izin ngambil mangganya,” kata Haksa sambil membungkuk meminta maaf. “Tadi mau nembak Anin, tapi masa ga ada seserahannya? Yaudah Haksa nembak Aninnya pake mangga bude yang udah mateng aja.”

Semuanya ketawa, apalagi bude yang mendengar.

Aya-aya wae si Haksa nembak pakai mangga segala!” kata bude sambil terus tertawa. “Terus itu seserahan, kayak orang mau lamaran!”

“Tadi juga pamer sama pohon mangga bude!” adu Anindya.

Haksa menatap Anindya, seperti mengatakan, yang itu jangan dikasih tau sayang! Biar kita berdua aja.

Malam sabtu itu, rumah Anindya dan bude jadi ramai hanya karena kedatangan Haksa. Malam sabtu itu, ada banyak kekhawatiran dan rasa senang yang melebur. Malam sabtu itu, Haksa dan Anindya resmi berpacaran.

“Ayo masuk kedalam,” ajak bude. “Mangganya siniin, Nin. Biar bude potongin.”

Semuanya masuk kedalam rumah. Bude, Anindya, dan Haksa. Kalau malam sabtu itu ada peringkat orang terbahagia, Haksa dan Anindya ada diurutan pertama.

Semuanya berjalan dengan tidak terduga. Rasa khawatir itu berubah jadi bahagia yang belum berujung. Setidaknya untuk malam ini, untuk mereka.

Walau nyatanya, ada hati yang kecewa menyaksikan semua kejadian tadi dengan lapang dada. Lintang, ia menonton semua kejadian tadi dari balik mobil Haksa. Rencananya gagal, kue yang sudah ia pesan terpaksa berakhir di tempat sampah.

Lintang dan Anindya memang mempunyai rencana ingin bertemu malam ini. Tapi semua sudah berakhir, untuk Lintang.

Semua rasa yang ia pupuk selama ini mendapat balasan pahit. Patah hati pertama Lintang, dan sakitnya luar biasa.

Ia kembali kerumahnya dengan airmata yang sesekali menetes.

Anindya bahagia, tapi bukan dengannya, dan Lintang dipaksa untuk ikhlas.

Malam sabtu yang tak terduga untuk semua orang.

18; baik dan buruk.

Anindya dan Kiara keluar dari mobil yang terparkir. Hari sudah malam, dan cafe milik Jana juga terlihat sepi.

“Cuma kita berdua aja, Ki?

“Gak kok, yang lain juga pada otw kesini. Kita masuk duluan aja Nin,” ajak Kiara yang diangguki Anin.

Keduanya masuk kedalam yang langsung disambut oleh seorang waitress. Anindya memperhatikan interior cafe yang sangat indie kalau kata orang-orang. Ia suka sekali dengan suasananya. Ia terus memperhatikan setiap sudut ruangan sambil tersenyum.

Sedangkan Kiara, ia terus terfokus pada ponsel. Bahkan walau mereka sudah duduk berhadapan.

“Ki, kamu lagi ngechat Jana, Sharen, sama Cella?”

Kiara yang terkejut menjawab dengan gelagapan, “E-eh iya, Nin. Lagi aku marahin nih abisnya lama banget.”

Anindya mengangguk-angguk dan kembali memperhatikan cafe yang sepi.

Ting!

Ponsel Anin berbunyi menampilkan sebuah pesan dari Kak Dery yang membuat Anin luar biasa kaget, mulutnya sampai terbuka lebar.

Anin segera membalas pesan itu, namun setelahnya listrik cafe tiba-tiba padam.

“Kiara!!”

“Tenang, Nin. Gue disini kok!” seru Kiara sambil menggenggam tangan Anin.

Tidak, bukannya Anindya takut gelap. Ia hanya memastikan Kiara tetap ditempatnya karena takut ia kenapa-napa.

Anin meruntuk didalam hati, kemana sebenarnya ketiga temannya itu? Mana listrik di cafe ini tak kunjung juga nyala.

Terdengar suara lonceng dari pintu cafe yang menandakan ada orang masuk. Orang itu langsung mendapat atensi Anin karena wajahnya yang menjadi warna kekuningan karena sebuah lilin.

Tangan Kiara terlepas dari Anin, ia pergi dengan sangat perlahan agar tidak ketahuan gadis itu.

Sedangkan Anin, pandangannya masih terpaku pada orang itu tadi. Ia tersenyum hangat, berjalan menuju Anindya,

“Selamat ulang tahun..

Selamat ulang tahun..”

Anin berdiri dari duduknya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Selamat ulang tahun Anindya..”

Haksa berhenti dihadapan Anin.

“Selamat ulang tahun.” Haksa mengakhiri nyanyiannya.

Anindya tak kuasa menahan senyuman lebarnya. Anin masih sulit percaya bahwa yang berdiri didepannya ini adalah Haksa, lelaki yang belakangan ini hadir di hidup Anin.

Bahkan ia tidak ingat hari ini hari ulang tahunnya kalau tidak di chat oleh Kak Dery barusan tadi.

“Haksa..”

Make a wish dulu, Nin. Habis itu baru peluk.”

Haksa menatap Anindya lembut, bahkan hanya dengan cahaya lilin, wajah cantik Anindya tetap tak tertandingi.

Si gadis menutup matanya damai, mengucapkan semua harapannya dalam hati yang semoga mau didengarkan tuhan.

“Ayo tiup lilinnya!” seru Haksa.

Dengan hati yang berdebar Anindya maju lalu meniup lilin itu.

Lilin mati, dan lampu kembali nyala.

“HAPPY BIRTHDAY ANIN!!!”

Semua orang keluar dari persembunyiannya, lagu selamat ulang tahun dari Jamrud pun terputar dari sound cafe yang diikuti nyanyian dari kawanannya.

“Hari ini hari yang kau tunggu..

Bertambah satu tahun..”

Airmatanya menetes. Ia tidak pernah mendapat kejutan ulang tahun seperti ini. Biasanya hanya merayakan bertiga bersama Lintang dan budenya. Kali ini ia memiliki lebih banyak teman.

Di tengah-tengah lagu yang masih berputar, ada Renald yang memegang mic sambil bernyanyi, Nalendra yang juga ikut-ikutan tapi pakai sapu, Jevan yang asik mencolekkan krim kue pada wajah Sharen, juga Jana, Cella, dan Kiara yang bernyanyi dengan teriak-teriak sambil membuat insta story.

Lalu Haksa? Tentu saja ia asik memandangi wajah Anindya yang ketara sekali sedang bahagia. Ia terus mengucap syukur dalam hati karena senyum Anin yang tidak luntur daritadi.

“Nin,” panggil Haksa sambil merentangkan tangan.

Detik selanjutnya Anindya sudah berada di dekapan Haksa.

“Selamat 18, Nin. Selamat bertumbuh, selamat menyambut hari-hari bahagia.”

“Terimakasih Haksa,” Anindya tersenyum didalam peluk, “Tapi hari sedihnya?”

“Gausah disebut, ga diundang.”

Keduanya terkekeh, berpelukan seakan dunia hanya milik berdua.

“EKHEM!”

Anindya segera melepas pelukan mereka. Wajahnya juga sudah memerah, kalau Haksa sih malah suka lihat wajah Anin yang begitu.

“Nanti dilanjut lagi ya. Sekarang ayo makan-makan!” ajak Cella.

Mereka duduk di kursi dan meja café yang sudah disatukan sehingga jadi panjang.

“Nin ayo potong kuenya, bikinan Haksa loh!” kata Sharen yang mendapat tatapan tajam dari Haksa.

“Hahaha bener Nin! Haksa seharian ini udah 3x bikin kue tau dan cuma ini yang berhasil,” jelas Jana sambil memberi pisau pada Anin.

Semuanya tertawa mengingat bagaimana perjuangan Haksa membuat kue di rumah Cella dari tadi pagi hingga baru selesai tadi sore.

“Lo tuh sok-sokan Sa, katanya pernah nonton orang bikin kue langsung taunya cuma liat youtube, anjirlah!” protes Nalendra yang membuat mereka tertawa.

Mereka semua berkumpul di rumah Cella dari tadi pagi demi membantu Haksa melancarkan misi kejutan ulang tahun Anin. Pokoknya Haksa tidak mau sekali ada yang membantunya dalam membuat kue, mereka cuma boleh mengoreksi saja kalau ada yang salah.

Teman-teman yang lain sih maklum saja, tapi kalau Cella ya gregetan sekali. Kan yang dipakai itu dapur rumah dia.

Haksa benar-benar try and error. Walau godaannya diajak main ps 5 sama Jevan, Renald, dan Nalendra, ia tetap diam di dapur sambil diawasi para teman perempuannya.

Emang keren Haksa ini.

“Enak kok ini kuenya!” seru Anin menatap Haksa meyakinkan.

“Serius?”

“Serius Sa, nih cobain deh,” kata Anin sambil memberi sepiring kue pada Haksa.

Ya, Haksa tentunya merasa pesimis. Plating kuenya memang bagus, tapi kalau rasanya ia tidak yakin.

Haksa menyendokkan kue itu ke mulutnya dan, “WOY INIMAH ENAK NJIR! COBAIN DAH CEPET!”

Semuanya menatap tak percaya, apalagi ketiga teman Haksa itu. Wajah mereka yang paling menaruh curiga.

“LOH ENAK?” kejut Jana.

“Hahaha yang ini berhasil untung gak gosong,” kata Cella.

“Sa jujur deh, lo beli 'kan?” tanya Renald.

Mata Haksa membulat, “HEH GUE SEHARIAN DI DAPUR BIKIN NI KUE JING! ENAK AJA SINI LO SINI.”

Haksa mengejar Renald, keduanya terus berdebat karena Renald yang tidak percaya kalau itu adalah kue bikinan Haksa. Mereka jadi adu mulut, tidak ada yang mau ngalah. Pokoknya ada saja yang bikin ketawa.

“Tadi pas sebelum masuk sini, Haksa overthinking banget Nin takut kuenya gak enak,” tambah Jevan yang membuat mereka tertawa.

“WOI JANGAN CEPU!” teriak Haksa dari sudut ruangan.

Tawa terus keluar dari bibir Anin dan semua orang yang ada disana. Rasa bahagia benar-benar membuncah di hati Anin.

Hari yang tidak terduga.

Sekarang mereka semua sudah benar-benar duduk, memakan makanan yang sudah di pesan Haksa dari tadi maghrib dari sebuah restoran, sambil bercanda juga mengusili satu sama lain.

Saat sedang asik bercerita dengan mereka, tiba-tiba ponsel Anin berbunyi menampilkan nama ibunya Kak Dery disana. Anin segera pamit sedikit menjauh untuk mengangkat telpon, dan itu tidak lepas dari mata Haksa.

Anin berbicara sangat kecil, lebih ke berbisik. Tapi masih bisa Haksa tebak kata-katanya dari gerak bibir.

“Hah, pindah ke Bogor?” kejut Anin tertahan.

Haksa langsung mematung. Anin diujung sana juga sama.

Anindya menghela nafasnya, “Iya tante terimakasih, sampai ketemu besok.”

Telponnya terputus, menyisakan wajah Anin yang tidak dapat dijelaskan.

Rasanya campur aduk. Anindya berjalan kembali ketempat duduknya, membuat Haksa langsung melakukan kegiatan lain.

Cukup lama sudah telpon itu berakhir dan Anindya jadi lebih diam walau senyum dan tawanya terus mengembang.

Haksa khawatir, ia takut tentang apa yang ia dengar.

“Woi makan! malah melamun,” suruh Renald pada Haksa.

“Cih, sok perhatian,” sewot Haksa sambil diakhiri dengan lidah yang dijulurkan mengejek.

Ruangan itu kembali dipenuhi tawa, seperti sudah hal yang biasa.

Tidak papa begini. Setidaknya Haksa mendengar lagi suara tawa Anin.

Walau ada ketakutan dalam hatinya, setidaknya Anindya ada disampingnya.

Untuk malam ini.

Turnamen; kebanggaan Anindya.

ㅤ tw // harsh word


“BANGSAT LO NGAPAIN?!” teriak Aresh pada Nalendra yang berada dikandangnya.

“Nyingkirin yang seharusnya disingkirin. Kita liat kekuatan Antares tanpa bantuan gaib,” balas Nalendra santai sambil kembali pada kandangnya.

“Babak kedua akan dilaksanakan, wasit lapangan silahkan ambil alih.”

Nalendra datang lalu melakukan handshake dengan Haksa.

“Lo gapapa? Gak ada yang aneh?” tanya Haksa.

“Tenang, gue masih sehat wal'afiat soalnya gue baca ayat kursi terus,” kata Nalendra sambil memberikan jempol.

Pritttt…

Pertandingan kembali berjalan.

Kali ini tim Neo sudah menunjukkan taring mereka yang tadi tertutupi. Haksa yang dengan lincahnya mempermainkan Aresh dengan mengoper bola kesana kemari, sampai-sampai membuat Aresh berteriak kesal dilapangan.

Tim Antares kewalahan, bahkan mereka tidak pernah berhasil mendekati gawang karena sudah ada Yazid dan Tantra yang menghadang.

Dan,

“GOLLL!!”

Gol pertama untuk Neo di menit 50. Semua supporter Neo berteriak heboh, melompat senang, bertepuk riuh, bahkan mengelu-elukan nama Haksa.

Gol pertama untuk Neo, dan diberikan oleh Haksa. Mereka melakukan selebrasi dibawah sana. Semua bahagia, kecuali pihak sebaliknya.

Dan kalian tau? Anindya bahkan tidak sanggup berteriak. Ia hanya menutup mulutnya yang terus menganga karena tidak menyangka Haksa bisa mencetak gol.

“KASIH PAHAM SA!” teriak Kiara.

“HAKSA KATA ANIN SEMANGAT!!!” teriak Jana, yang membuatnya mendapat pukulan dari Anin.

Mata Anin sampai ingin keluar, “Jana jangan gitu nanti diliatin orang!”

Para gadis itu tertawa, sedang Anin mendengus sebal.

“GOLLL!!!”

Mereka terkejut. Neo kembali melakukan selebrasi karena kini Diky yang berhasil mencetak gol. Padahal mereka baru saja menertawakan Anin.

Kursi penonton kembali bergemuruh. Mereka berteriak gembira lalu menyanyikan yel-yel yang biasanya ada di pertandingan bola.

Semakin seru, begitu juga dilapangan sana.

Aresh menatap lawannya itu dengan marah, kesal, dan tidak terima.

Ia menatap kearah pelatihnya di tepi lapangan yang tampak mengangguk karena mengerti tujuan Aresh.

Aresh tersenyum mendapatkan izin, “Main brutal, kalo perlu kaki mereka patah.”

Para anggota tim Antares mengangguk paham.

Tepat setelah itu, pluit kembali dibunyikan.

Permainan berlanjut, dan kini Antares tampak agresif.

Sangat. Bahkan Haksa dan Nalendra sudah beberapa kali disenggol oleh Antares.

“AKHH SAKIT!!” ㅤ

Kartu kuning terangkat diatas. Tim Neo berlarian menuju Renald yang sekarang mengaduh kesakitan.

“Wasit, saya lihat dia menjegal kaki teman saya!!” teriak Haksa membela.

“Gak sumpah, saya cuma mau ngambil bola dari si Renald,” bela seseorang dari Antares.

Ah, mereka terus beradu argumen. Renald kini dibawa mendekat pada Jevan menggunakan tandu.

Kiara diatas sana sudah ingin menangis. Ia melihat betul bagaimana Renald kesakitan dibawah sana.

“WOI WASIT! ITU PELANGGARAN LOH JANGAN SAMPAI LO TUTUP MATA!” teriak Jana tidak terima.

Pertandingan menjadi tidak terkendali, apalagi saat wasit menyatakan Antares tidak bersalah.

Semua orang kesal, mereka para pen-support Neo.

“Haksa, tolong jangan balik sama luka. Gapapa kalah, tapi jangan luka.” Ucap Anin kecil yang hanya ia yang dapat mendengar.


3 menit lagi waktu pertandingan berakhir, namun tidak ada diantara keduanya yang menciptakan gol.

Hingga waktu habis pun, tetap tidak ada. skor mereka sama, 2;2.

“Ah anjing malah adu Pinalti,” umpat Haksa.

Masalahnya kalau adu pinalti itu hoki-hokian. Usahanya tidak sebesar saat pertandingan.

“Yazid, lo maju.”

“Lo yakin, Sa?” tanya Yazid meyakinkan.

Haksa tersenyum, “Gue selalu percaya sama tim gue.”

Yazid maju didepan sana. Ia menendang bola itu dan,

berhasil dihadang.

Ia kembali dengan wajah kecewa, “Sorry Sa.”

“Apaan njir, lo dah keren gitu.” Ucap Haksa tenang sambil tersenyum pada kawanannya. “Diky habis ini lo ya?”

“Serius bang?” tanya Diky dengan mata berbinar.

Haksa mengangguk, “Iya, soalnya gue yakin Calvin bisa block mereka.”

Dan benar saja, bola dari Antares berhasil Calvin tangkap, membuat wajah kesal terlihat dari Aresh karena itu tadi dia yang menendang.

Kini Diky berdiri didepan bola itu.

Ia menendangnya, dan lagi,

berhasil dihadang.

Penonton berteriak kecewa, kelima gadis itu juga. Karena jika setelah ini Antares berhasil, maka mereka yang akan mendapatkan piala bergilir itu.

Tapi sepertinya semesta memang sedang mempermainkan mereka. Karena kini sudah giliran Antares pun mereka tetap tidak berhasil membobol gawang karena Calvin yang dengan sigap menghadang.

“Sa, lo maju sana.”

Itu Nalendra, membuat semua anggota tim Neo menatap Haksa.

“Bang gue yakin lo bisa,” ucap Calvin.

“Lo pada percaya gue?” tanya Haksa.

“Selalu bang, kita semua selalu percaya sama lo. Our captain,” ujar Diky dengan senyuman yakin.

Haksa menatap mata para anggotanya yang penuh harap.

“Oke gue maju,” ucap Haksa teramat yakin.

Kali ini stadion di penuhi suara teriakan karena Haksa yang berjalan maju menuju bola. Tatapan Haksa sudah sangat tajam, ia juga memikirkan segala kemungkinan dari hasil tendangannya.

“Haksa, aku percaya sama kamu.”

Anindya berucap lirih. Matanya tidak lepas dari sosok Haksa.

Tuhan tolong bantu.

Semesta ayo kerjasama.

Priiittt..

Peluit berbunyi tanda Haksa boleh memulai tendangan pinaltinya.

“Bismillah,” ucap Haksa lalu menendang bola itu.

ㅤ Riuh suara teriakan terdengar setelah Haksa menendang bola tadi.

ㅤ ㅤ

“GOLLLL!!”

Haksa menganga tak percaya. Semua tim Neo berhambur menghampirinya dengan teriakan bahagia.

“BANG, KITA MENANG BANG!” teriak Diky, si paling kecil di tim mereka.

“NEO MENANG?! NEO MENANGGG!!!” teriak Tantra sambil memeluk rekan se-timnya.

Nalendra menaikkan Haksa keatas pundaknya sambil berteriak, “KAPTEN NEO NIH! JANGAN MAIN-MAIN LO SEMUA!!”

Haksa melihat wajah para anggota timnya dari atas, wajah pelatihnya, juga kawanannya yang terluka di bangku sana. Semuanya tersenyum cerah, saling berpelukan, menyelamati satu sama lain.

“Usaha gak akan khianatin hasil, Sa.”

Haksa tersenyum sampai airmatanya turun setelah mengucap kalimat itu. Kata yang ajaib, bahkan setelah Neo mendapat kejadian seperti itu.

“Habis ini ayo kita turun!” ajak Cella.

Kini waktunya pembagian piala bergilir. Haksa berdiri di podium paling tinggi, membuatnya menjadi sorotan.

Anin tersenyum diatas sana, “Hebat, Haksa. Kamu hebat banget.”

Semua supporter berhambur turun kelapangan. Saling bersuka cita akan kemenangan, meneriakkan nama sekolah kebanggaan, atau sekedar ingin berkenalan.

Ya, ada yang moduslah. Namanya juga anak muda hahaha.

Tim bola Neo sedang mengambil foto bersama pak bupati. Semuanya ikut, Jevan dan Renald tadi juga sudah dibantu untuk jalan kelapangan.

Anindya yang sudah dilapangan memperhatikan Haksa. Senyumnya sangat cerah, semua orang juga terus membanggakan namanya.

Bagaskara, nama itu cocok bersanding dengan Haksa. Matahari, disukai banyak orang, didepan terlihat jutek tapi didalamnya dapat menghangatkan, senyumnya cerah, secerah mentari.

“Anindya!!” teriak Haksa menyadarkan lamunan Anin.

Anin baru sadar kawanannya tadi sudah tidak ada disampingnya karena sudah berlari ketengah lapangan sana.

Haksa dengan cepat berjalan dari tengah lapangan menuju Anin, membuat Anin juga segera melangkah hingga mereka bertemu di tengah-tengah.

“Nin, gue menang, Neo menang Nin!” adu Haksa dengan wajah sumringah.

Anindya bertepuk tangan dihadapan Haksa, “Hebat, Sa. Kamu sama semua tim Neo hebat banget. aku bangga!”

Haksa tersenyum lebar mendengarkan Anin, hatinya benar-benar senang, sebelum ia sadar.

“Nin, lo nangis?”

Haksa langsung menghapus airmata Anin.

“Ini namanya nangis bangga, Sa. Aku bahagia, seneng, sama bangga banget sama kamu,” kata Anindya lembut.

Wah, apa-apaan ini? Kenapa kini malah mata Haksa yang juga ikut berair?

“Nin, gue pengen banget dapat hadiah dari lo.”

Anindya merentangkan tangannya, “Sini aku peluk.”

“Gak Nin,” tolak Haksa membuat Anin memundurkan tangannya lesu.

“Badan gue keringatan banget, Nin.”

“Tapi, aku juga?” bela Anin.

Mendengar itu membuat Haksa menatap Anindya dengan tatapan menggoda sambil jarinya menunjuk Anin.

“Oooh, lo emang mau meluk gue ya? Yaudah sini, tapi badan gue bau, tapi gapapa sini,” kata Haksa menggoda.

“Ih Haksa kenapa mukanya gitu? Serem ah gajadiiii,” racau Anin sambil berjalan menjauh.

Haksa terus mendekatinya membuat mereka berdua malah jadi kejar-kejaran yang di tonton 1 stadion.

“ANIN SINI GUE PELUK!”

“GAJADI, MUKA KAMU SEREM!!!”

Ya, keduanya tak peduli dengan orang lain. Serasa di stadion ini hanya ada mereka berdua.

Tawa senang dan geli terlantur dari bibir keduanya. Mungkin mengusili Anindya kini akan masuk dalam daftar list favorit Haksa.

Kawanan Haksa dan anggota tim Neo menjadi penonton setia aksi kejar-kejaran Haksa dan Anin. Mereka tertawa geli bahkan banyak yang menggoda dengan kata, “Ciee cieeee.”

Kapten bola Neo akhirnya jatuh cinta, lagi.

“Bang Haksa kalo kasmaran suka lupa kalo dunia gak cuma mereka berdua ternyata,” kata Diky, membuat semua kawanan Haksa tertawa mendengarnya.

Turnamen; melewati batas.

ㅤ tw // harsh word, mention of horror.


Final turnamen bola yang memperebutkan piala bupati. Iya, itu hari ini.

Kemarin adalah babak penyisihan dan SMA Neo berhasil masuk kedalam babak semi final.

Sialnya kemarin Anindya tidak bisa menonton pertandingan, juga menonton Haksa. Para pemenang olimpiade mendapatkan reward jalan-jalan seharian penuh, dari pagi sampai malam, mengelilingi kota sebelah yang fasilitasnya lebih maju dari kota mereka.

Anindya sedikit kecewa, Haksa juga tetapi ia tau tak mungkin juga gadis itu tiba-tiba kabur dari rombongan bis. Hahaha bisa hilang Anindya nanti.

Tapi kemarin, saat Anin mendapat kabar live report dari Cella kalau Neo lolos ke final, Ia langsung melompat senang sambil memeluk Jana dengan gembira.

Yang dipikirannya hanyalah rasa terimakasih pada Tuhan karena mau menerima doanya dan membuat usaha tim bola neo tidak sia-sia.

Walau Anin mendapat tatapan aneh dari para peserta olim lain, walau anin tidak sadar kalau ada Lintang yang tatapannya tidak dapat dijelaskan sedari tadi.

Ada 2 kabar, baik dan buruk.

Kabar baiknya, tim bola Neo berhasil lolos lagi dibabak semi final, membuat mereka maju selangkah pada babak final yang menentukan siapa sang juara.

Kabar buruknya, lawan Neo adalah SMA Antares. Sekolah yang ditempati oleh Aresh, kawan lama sekaligus musuh Haksa.

Haksa tau, pertandingan terakhir ini tidak akan berjalan dengan mudah. Tim Antares mempunyai banyak strategi yang sebenarnya sebagian besar hasil mencuri. Mereka bermain sedikit diluar aturan, jadi mereka harus fokus pada tujuan.

“Pertandingan final dari SMA Antares melawan SMA Neo segera dilaksanakan! Kedua tim berjalan memasuki lapangan, berikan tepuk tangan yang meriah!”

Riuh suara teriakan hingga tepuk tangan mengisi stadion itu. Ada Haksa dan Aresh dibaris paling depan sebagai kapten, juga para anggota mereka dibelakang, termasuk seorang wasit.

Disaat semua orang berteriak heboh, ada Anindya diatas sana yang sibuk berdoa pada Tuhan untuk melancarkan permainan ini. Bukannya apa, tapi perasaannya sedikit tidak enak.

“Kenapa Anin? Kok muka lo kek gitu?” tanya Cella.

Semuanya menoleh pada Anindya. Maksudnya Sharen, Kiara, juga Renjana.

“Perasaanku engga enak, La. Tapi semoga bukan apa-apa,” jawab Anin sambil tersenyum.

Cella mengangguk, “Semoga ya.”

Dan pertandingan pun dimulai.


Permainan sudah berjalan 40 menit, dan..

“GOLLL!!”

“AKHHH!!”

Para penonton berteriak senang diatas sana, namun tidak dengan di lapangan. Para tim Neo dengan cepat berlari kearah gawang mereka.

“Jevan lurusin badan lo! MEDIS TOLONG KESINI!!!” itu Haksa, ia berteriak frustasi karena tim medis yang lambat sekali sampai pada mereka.

“Bisa-bisanya lo Jev nabrak tiang gawang,” kata Tantra sambil memberi pijatan pada kaki Jevan.

“Gak tau jing, tiba-tiba tadi pandangan gue gelap habis itu langsung nabrak,” jelas Jevan.

Tim medis datang dan langsung memberikan pertolongan pertama. Pak Roby yang juga turun ke lapangan memutuskan untuk Jevan dibawa ke tempat duduk dan posisi keeper digantikan oleh Calvin.

“Tetap fokus, kita sudah ketinggalan 2:0 jadi jangan lengah,” ucap Pak Roby sambil menepuk pundak mereka dan kembali ketepi lapangan.

Haksa melihat Aresh diujung sana yang sedang tersenyum menang.

“Hah, kenapa bisa susah nembus Antares? Bahkan dekat gawang aja kaga,” Haksa meracau frustasi.

Ini aneh. Walaupun tim Antares sudah mengetahui strategi mereka, tapi mereka tidak menggunakannya.

“Gue ngerasa kek hilang kesadaran tiap peluit ditiup,” adu Renald.

“Setuju bang, makanya gue bingung kok bisa tadi bolanya malah gue oper ke tim lawan,” itu Diky yang juga ikut mengadu.

Nalendra menatap penjuru lapangan, ia merasa ada yang tidak beres namun tidak tahu juga itu apa.

“Perasaan gue gak enak,” kata Nalendra.

Wasit lapangan tiba-tiba menyuruh mereka untuk kembali pada formasi karena pertandingan akan dilanjutkan.

Peluit ditiup dan, mulai.

Di bawah sana, kedua tim itu kembali memperebutkan bola. Sedangkan para gadis diatas sibuk menenangkan Sharen yang tengah panik karena Jevan yang terluka.

“Dia tadi jelas-jelas jalan lurus ke tiang gawang terus nabrakin diri,” racau Sharen. “Aduh mana tadi kepeleset.. gimana ini..”

Cella membawa Sharen kepelukannya, “Jevan kuat, Ren. Jevan kuat.”

Anindya ikut menepuki pundak sharen. Mereka yang terlalu asik menenangkan Sharen hingga tidak sadar dengan pertandingan dibawah sana yang semakin memanas.

Teriakan heboh kembali terdengar dari para penonton, membuat para gadis itu segera mengalihkan atensi.

Calvin berhasil menggagalkan tim lawan membobol gawang mereka. Para supporter dari Neo meneriakkan nama Calvin dengan tepuk tangan heboh karena berhasil menggagalkan kejadian itu.

Priiiitttt..

Pluit wasit berbunyi, tanda istirahat sebelum ke permainan selanjutnya. Para anggota Neo segera menepi untuk minum juga melihat keadaan Jevan.

“Ah gila gue pengen kesana.”

Mereka dengan cepat menghentikan Sharen.

“Gak boleh sekarang, Ren. Tahan bentar ya?” kata Kiara lembut yang membuat Sharen mendesah kecewa.

“3 orang. 3 orang woy dari Neo yang luka. Antares tuh pemain bola apa pegulat sih? Bingung gue,” protes Jana.

Cella menepuk pundak Anindya, “Bener ternyata, Nin. Tentang perasaan gak enak lo.”

Anin mengangguk, “Ini mah ada yang gak beres, La.”

Disaat para anggota Neo beristirahat sambil mendengar komentar dari Pak Roby, tiba-tiba datang seseorang yang mereka kenal mendekati mereka.

Itu Yovan, wajahnya sedikit gelisah.

“Kenapa Van?” tanya Yazid.

“Si Jevan tolong dibacain ayat kursi sambil pegang dahinya.”

Semuanya terkejut, kaget, tak terkecuali.

Pak Roby sebagai yang tetua langsung mendekati dan membacakan ayat suci pada Jevan dan memegang dahinya. Jevan juga dikelilingi oleh para pendamping Pak Roby.

Terdengar Jevan yang berteriak kesakitan membuat para anggota tim makin bertanya-tanya.

“Ini kenapa?” tanya Haksa to the point.

“Ada yang jagain lo pada, tapi dalam artian gak baik.”

“Anjing,” umpat Nalendra cepat. “Bener firasat gue.”

Mata Haksa membulat, “Ini strategi Antares?” haksa bertanya lagi.

“Gak, ini gak masuk dalam rencana mereka. Bahkan mereka baru ngomong sama orang pintar tadi malam. Mereka pake cara ini karena ngeliat permainan Neo kemarin yang susah ditembus,” Jelas Yovan.

“Wah gila memang si Aresh. Ini bukan masalah curang lagi tapi nyangkut hal gaib njing!” racau Renald sambil mengacak rambut.

“Sebenarnya mereka gak bakal pake cara ini kalo bukan saran dari Jeje,” tambah Yovan.

“Bangsat. Ini baru pengkhianat,” ucap Haksa.

Para anggota tim Neo sudah pusing kepala. Akhirnya terjawab sudah semua kejadian aneh di lapangan tadi. Rasanya ingin marah tapi pertandingan masih berlanjut.

Sedangkan tim Antares, tentu saja sekarang mereka sedang merayakan kemenangan yang bahkan belum ditangan mereka. Aresh terlalu senang sekarang sampai tidak sadar sepupunya, Yovan sedang berada di tim Neo.

“Baca doa dan minta tolong sama Tuhan. Itu jalan keluarnya,” kata Yovan.

Pak Roby pun mengumpulkan mereka hingga membentuk lingkaran. Yovan juga ikut disana. Mereka mulai berdoa dengan kepercayaan masing-masing, meminta perlindungan pada Tuhan untuk pertandingan terakhir ini.

Berdoa selesai.

Kedua tim bersiap kembali ke lapangan karena babak kedua akan dimulai. Namun tim Neo sedikit tertunda, Yovan masih ingin menyampaikan sesuatu.

“Liat tiang gawang mereka,” tunjuk Yovan. “Ada telur di 2 tiang itu. Tendang dua-duanya, kalau bisa keluar dari lapangan. Karena telur itu jadinya lo pada gak bisa nembus gawang mereka.”

Mereka mengangguk paham, dan kini saling bertatapan.

“Gue aja,” tawar Haksa.

“Gak, gue aja. Kalo ada apa-apa seenggaknya bukan lo, karena lo kapten tim,” kata Nalendra lalu langsung berjalan menuju gawang lawan.

“Gak ada tukads-tukadsnya bang Nalen,” Diky menggeleng tak percaya.

Turnamen; melewati batas.

ㅤ tw // harsh word, kinda mention of horror.


Final turnamen bola yang memperebutkan piala bupati. Iya, itu hari ini.

Kemarin adalah babak penyisihan dan SMA Neo berhasil masuk kedalam babak semi final.

Sialnya kemarin Anindya tidak bisa menonton pertandingan, juga menonton Haksa. Para pemenang olimpiade mendapatkan reward jalan-jalan seharian penuh, dari pagi sampai malam, mengelilingi kota sebelah yang fasilitasnya lebih maju dari kota mereka.

Anindya sedikit kecewa, Haksa juga tetapi ia tau tak mungkin juga gadis itu tiba-tiba kabur dari rombongan bis. Hahaha bisa hilang Anindya nanti.

Tapi kemarin, saat Anin mendapat kabar live report dari Cella kalau Neo lolos ke final, Ia langsung melompat senang sambil memeluk Jana dengan gembira.

Yang dipikirannya hanyalah rasa terimakasih pada Tuhan karena mau menerima doanya dan membuat usaha tim bola neo tidak sia-sia.

Walau Anin mendapat tatapan aneh dari para peserta olim lain, walau anin tidak sadar kalau ada Lintang yang tatapannya tidak dapat dijelaskan sedari tadi.

Ada 2 kabar, baik dan buruk.

Kabar baiknya, tim bola Neo berhasil lolos lagi dibabak semi final, membuat mereka maju selangkah pada babak final yang menentukan siapa sang juara.

Kabar buruknya, lawan Neo adalah SMA Antares. Sekolah yang ditempati oleh Aresh, kawan lama sekaligus musuh Haksa.

Haksa tau, pertandingan terakhir ini tidak akan berjalan dengan mudah. Tim Antares mempunyai banyak strategi yang sebenarnya sebagian besar hasil mencuri. Mereka bermain sedikit diluar aturan, jadi mereka harus fokus pada tujuan.

“Pertandingan final dari SMA Antares melawan SMA Neo segera dilaksanakan! Kedua tim berjalan memasuki lapangan, berikan tepuk tangan yang meriah!”

Riuh suara teriakan hingga tepuk tangan mengisi stadion itu. Ada Haksa dan Aresh dibaris paling depan sebagai kapten, juga para anggota mereka dibelakang, termasuk seorang wasit.

Disaat semua orang berteriak heboh, ada Anindya diatas sana yang sibuk berdoa pada Tuhan untuk melancarkan permainan ini. Bukannya apa, tapi perasaannya sedikit tidak enak.

“Kenapa Anin? Kok muka lo kek gitu?” tanya Cella.

Semuanya menoleh pada Anindya. Maksudnya Sharen, Kiara, juga Renjana.

“Perasaanku engga enak, La. Tapi semoga bukan apa-apa,” jawab Anin sambil tersenyum.

Cella mengangguk, “Semoga ya.”

Dan pertandingan pun dimulai.


Permainan sudah berjalan 40 menit, dan..

“GOLLL!!”

“AKHHH!!”

Para penonton berteriak senang diatas sana, namun tidak dengan di lapangan. Para tim Neo dengan cepat berlari kearah gawang mereka.

“Jevan lurusin badan lo! MEDIS TOLONG KESINI!!!” itu Haksa, ia berteriak frustasi karena tim medis yang lambat sekali sampai pada mereka.

“Bisa-bisanya lo Jev nabrak tiang gawang,” kata Tantra sambil memberi pijatan pada kaki Jevan.

“Gak tau jing, tiba-tiba tadi pandangan gue gelap habis itu langsung nabrak,” jelas Jevan.

Tim medis datang dan langsung memberikan pertolongan pertama. Pak Roby yang juga turun ke lapangan memutuskan untuk Jevan dibawa ke tempat duduk dan posisi keeper digantikan oleh Calvin.

“Tetap fokus, kita sudah ketinggalan 2:0 jadi jangan lengah,” ucap Pak Roby sambil menepuk pundak mereka dan kembali ketepi lapangan.

Haksa melihat Aresh diujung sana yang sedang tersenyum menang.

“Hah, kenapa bisa susah nembus Antares? Bahkan dekat gawang aja kaga,” Haksa meracau frustasi.

Ini aneh. Walaupun tim Antares sudah mengetahui strategi mereka, tapi mereka tidak menggunakannya.

“Gue ngerasa kek hilang kesadaran tiap peluit ditiup,” adu Renald.

“Setuju bang, makanya gue bingung kok bisa tadi bolanya malah gue oper ke tim lawan,” itu Diky yang juga ikut mengadu.

Nalendra menatap penjuru lapangan, ia merasa ada yang tidak beres namun tidak tahu juga itu apa.

“Perasaan gue gak enak,” kata Nalendra.

Wasit lapangan tiba-tiba menyuruh mereka untuk kembali pada formasi karena pertandingan akan dilanjutkan.

Peluit ditiup dan, mulai.

Di bawah sana, kedua tim itu kembali memperebutkan bola. Sedangkan para gadis diatas sibuk menenangkan Sharen yang tengah panik karena Jevan yang terluka.

“Dia tadi jelas-jelas jalan lurus ke tiang gawang terus nabrakin diri,” racau Sharen. “Aduh mana tadi kepeleset.. gimana ini..”

Cella membawa Sharen kepelukannya, “Jevan kuat, Ren. Jevan kuat.”

Anindya ikut menepuki pundak sharen. Mereka yang terlalu asik menenangkan Sharen hingga tidak sadar dengan pertandingan dibawah sana yang semakin memanas.

Teriakan heboh kembali terdengar dari para penonton, membuat para gadis itu segera mengalihkan atensi.

Calvin berhasil menggagalkan tim lawan membobol gawang mereka. Para supporter dari Neo meneriakkan nama Calvin dengan tepuk tangan heboh karena berhasil menggagalkan kejadian itu.

Priiiitttt..

Pluit wasit berbunyi, tanda istirahat sebelum ke permainan selanjutnya. Para anggota Neo segera menepi untuk minum juga melihat keadaan Jevan.

“Ah gila gue pengen kesana.”

Mereka dengan cepat menghentikan Sharen.

“Gak boleh sekarang, Ren. Tahan bentar ya?” kata Kiara lembut yang membuat Sharen mendesah kecewa.

“3 orang. 3 orang woy dari Neo yang luka. Antares tuh pemain bola apa pegulat sih? Bingung gue,” protes Jana.

Cella menepuk pundak Anindya, “Bener ternyata, Nin. Tentang perasaan gak enak lo.”

Anin mengangguk, “Ini mah ada yang gak beres, La.”

Disaat para anggota Neo beristirahat sambil mendengar komentar dari Pak Roby, tiba-tiba datang seseorang yang mereka kenal mendekati mereka.

Itu Yovan, wajahnya sedikit gelisah.

“Kenapa Van?” tanya Yazid.

“Si Jevan tolong dibacain ayat kursi sambil pegang dahinya.”

Semuanya terkejut, kaget, tak terkecuali.

Pak Roby sebagai yang tetua langsung mendekati dan membacakan ayat suci pada Jevan dan memegang dahinya. Jevan juga dikelilingi oleh para pendamping Pak Roby.

Terdengar Jevan yang berteriak kesakitan membuat para anggota tim makin bertanya-tanya.

“Ini kenapa?” tanya Haksa to the point.

“Ada yang jagain lo pada, tapi dalam artian gak baik.”

“Anjing,” umpat Nalendra cepat. “Bener firasat gue.”

Mata Haksa membulat, “Ini strategi Antares?” haksa bertanya lagi.

“Gak, ini gak masuk dalam rencana mereka. Bahkan mereka baru ngomong sama orang pintar tadi malam. Mereka pake cara ini karena ngeliat permainan Neo kemarin yang susah ditembus,” Jelas Yovan.

“Wah gila memang si Aresh. Ini bukan masalah curang lagi tapi nyangkut hal gaib njing!” racau Renald sambil mengacak rambut.

“Sebenarnya mereka gak bakal pake cara ini kalo bukan saran dari Jeje,” tambah Yovan.

“Bangsat. Ini baru pengkhianat,” ucap Haksa.

Para anggota tim Neo sudah pusing kepala. Akhirnya terjawab sudah semua kejadian aneh di lapangan tadi. Rasanya ingin marah tapi pertandingan masih berlanjut.

Sedangkan tim Antares, tentu saja sekarang mereka sedang merayakan kemenangan yang bahkan belum ditangan mereka. Aresh terlalu senang sekarang sampai tidak sadar sepupunya, Yovan sedang berada di tim Neo.

“Baca doa dan minta tolong sama Tuhan. Itu jalan keluarnya,” kata Yovan.

Pak Roby pun mengumpulkan mereka hingga membentuk lingkaran. Yovan juga ikut disana. Mereka mulai berdoa dengan kepercayaan masing-masing, meminta perlindungan pada Tuhan untuk pertandingan terakhir ini.

Berdoa selesai.

Kedua tim bersiap kembali ke lapangan karena babak kedua akan dimulai. Namun tim Neo sedikit tertunda, Yovan masih ingin menyampaikan sesuatu.

“Liat tiang gawang mereka,” tunjuk Yovan. “Ada telur di 2 tiang itu. Tendang dua-duanya, kalau bisa keluar dari lapangan. Karena telur itu jadinya lo pada gak bisa nembus gawang mereka.”

Mereka mengangguk paham, dan kini saling bertatapan.

“Gue aja,” tawar Haksa.

“Gak, gue aja. Kalo ada apa-apa seenggaknya bukan lo, karena lo kapten tim,” kata Nalendra lalu langsung berjalan menuju gawang lawan.

“Gak ada tukads-tukadsnya bang Nalen,” Diky menggeleng tak percaya.

Olimpiade; kebanggaan Haksa.


Pukul 06.30 pagi.

Anindya tersenyum melihat isi pesan yang dikirimkan Haksa. Rasanya ingin berteriak lagi didalam selimutnya seperti malam itu.

“Nin, nih ambil.”

Ia mendongak dan ada Jana disana yang memberinya sepotong roti.

“Terimakasih Jana,” ucap Anin sambil memakan roti itu, juga Jana yang duduk disampingnya.

Pukul 06.30 pagi. Dan tempat ini sudah ramai.

Tentu saja, karena banyak murid dari berbagai sekolah dari kota ini yang sudah siap mengikuti olimpiade. Oh iya, mereka berada di kantor dinas pendidikan.

Untuk pengerjaan soalnya nanti katanya sudah disiapkan 2 aula besar untuk menampung para peserta yang ada sekitar 216 orang.

“Ayo pakai ID Card kalian, setelah ini daftar ulang baru kalian masuk untuk diberi arahan.”

Itu Bu Arum. Para murid dari Neo bersiap, Anin dan Jana langsung memasukkan sisa roti mereka ke dalam mulut.

“Rileks, jangan dijadikan beban, anggap seperti biasanya kalian mengerjakan soal latihan,” terang Bu Arum sambil menepuk pundak mereka satu persatu.

“Jangan kejar juaranya, itu tidak wajib. Karena apapun hasilnya, Neo sudah bangga mempunyai kalian.”

Mereka membentuk lingkaran dengan Bu Arum ditengah-tengah. Menundukkan kepala, berdoa pada Tuhan mereka agar hari ini dilancarkan dan semuanya di mudahkan.

“Selesai,” ucap Bu Arum membuat mereka semua mengangkat kepala.

Anindya sedikit lambat, dan saat ia mengangkat kepalanya, matanya dan mata milik Lintang bertemu.

Anindya tersenyum tenang, sedang Lintang masih terus mencoba masuk menyelam mata Anin yang dari dulu ia suka.

Lintang tersenyum, Renjana juga ikut disebelah sana, walau itu senyum kecut.

Bu Arum mengajak mereka mengumpulkan tangan ditengah untuk meneriakkan yel-yel andalan mereka. Wanita paruh baya itu menatap para muridnya dengan tatapan yang campur aduk.

“Saya minta teriak sekencang-kencangnya,” pinta Bu Arum yang mereka angguki.

“1,2,3, WHO WE ARE?!”

“NEO’S PRIDE!!!”


“Cepetan woi ah lambat bener.”

“Coba sabar, gue masih telpon Kia,” kata Renald. “Lo masuk aja duluan ke mobil.”

Setelah mendengus, akhirnya ia memilih masuk dan menunggu dikemudi mobil.

Ia mengetuk-ngetuk jemarinya pada stang mobil sambil sebelah tangannya sibuk membuka akun di aplikasi instagram yang mempunyai update tentang olimpiade hari ini.

Ia mendesah pasrah saat wajah Anindya tidak muncul sama sekali pada tayangan story itu.

Lo emang harus nemuin langsung, Sa. Katanya dalam hati.

BLAM!

Nafas Kiara sedikit tidak teratur dibelakang sana, “Maaf lambat, Sa. OSIS lagi rese tadi.”

“Yoi, dah kan? Jalan gas?” tanya Haksa.

“Gas dah, mobilnya Jevan keknya dah sampai,” kata Renald.

Haksa segera menancapkan gasnya, ia seperti dikejar waktu. Sesekali ia lihat jam digital di mobilnya yang menunjukkan pukul 16.48 sore. Jam 17.00 nanti adalah waktu pengumuman para juara olimpiade hari ini.

Sedikit lagi, 2 kali belokan lagi mereka kan sampai di kantor dinas pendidikan.

Sampai, mobil mereka sudah terparkir. Dengan langkah tergesa ketiganya masuk mencari ruangan besar yang memang biasa digunakan untuk acara disana.

“WOI SINI!!” teriak Nalendra sambil melambaikan tangan pada mereka.

Haksa dengan cepat membelah keramaian itu hingga berada di barisan paling depan, bersama kawanannya yang lain, juga para guru-guru dari Neo.

“Anin dimana?” tanya Haksa.

“Tuh.”

Tunjuk Nalendra pada kumpulan anak-anak yang sedang duduk tegang dibawah samping panggung.

Ah ralat, tidak semuanya tegang, karena sekarang ada Anindya yang tersenyum lebar saat Haksa berhasil mendapatkan dirinya.

Setidaknya dengan melihat Haksa, Anin merasa tenang disana, walau tangannya sudah sangat basah karena gugup.

“Lo hebat, semangat!” ucap Haksa tak bersuara dengan tangannya yang mengepal sebagai isyarat dari semangat.

Anindya terkekeh kecil lalu mengikuti tangan Haksa. Keduanya tersenyum, mata Anin sampai hilang karena membentuk bulan sabit.

“Nin, jam berapa sih? Kok belum mulai juga?” tanya Jana karena Anin memakai Jam tangan.

Anin yang gelagapan langsung mengecek jamnya, “Em, udah jam 5 pas sih Jan.”

ㅤ ㅤ Ngingg...

Suara mic berdenging dari arah panggung membuat atensi semua orang teralih. Termasuk semua para peserta olimpiade, juga Anindya dan Renjana yang tatapan mereka sampai membeku.

Bukan berlebihan, tapi keduanya memang sedikit takut karena ini adalah terakhir kalinya para anak kelas 12 mengikuti lomba olimpiade seperti ini.

“Nin ya ampun dah mau pengumuman aja,” kata Jana sedikit gelisah.


Suara tepuk tangan riuh memenuhi ruangan itu. Kresna, salah satu murid dari Neo berhasil meraih juara 1 untuk mata pelajaran ekonomi. Kresna menuruni panggung dan langsung disambut peluk oleh kawanan neo’s pride yang lain.

“Kresna, asli dah lo kece banget!” ucap Salma yang membuatnya tertawa malu.

Para peserta dari Neo asik berkumpul untuk menyelamati Kresna, sampai-sampai tidak sadar dengan MC yang terus mengumumkan mata pelajaran selanjutnya.

Tidak hanya Kresna, tapi ada banyak murid dari Neo yang lain yang juga masuk 3 besar di setiap mata pelajaran.

ㅤ ㅤ “Juara 1 Olimpiade Sains Biologi jatuh kepada,

Lintang Angkasa dari SMA Neo!!!”

Tatapan mereka yang awalnya pada Kresna, kini berpindah pada Lintang. Mata Lintang sampai mau keluar. 5 detik setelahnya mereka berteriak heboh.

Anindya sampai menutup mulutnya tak percaya, Renjana menatap Lintang dengan mata yang hampir berair.

Lintang didorong oleh Kresna dan Zidan agar segera naik kepanggung.

Diatas sana, Lintang melihat ratusan orang lebih. Ada Bu Arum dan guru-guru lain yang menatapnya dengan bangga. Namanya yang dielu-elukan, dan namanya yang ada dipiala juga dikertas sertifikat.

Lintang turun dari panggung dengan wajah yang ketara sangat bahagia.

Anindya berdiri dipaling depan menyambutnya.

“Lintang selamat!!!” ucap Anin semangat dengan wajah yang bangga.

Lintang kelewat senang, hingga tanpa sadar ia langsung memeluk Anindya.

“Makasih, Nin. Makasih banget,” kata Lintang ditelinga Anindya.

Kelakuan Lintang itu membuat Anin terdiam kaget, Haksa menatapnya dengan tajam, juga Jana yang kini air matanya keluar.

“Weh bro mantap!!” teriak Zidan membuat Lintang melepaskan peluk mereka.

Lintang bergabung dengan kawanannya, sedangkan Anin masih terdiam. Rasa kejut masih ada disekujur tubuhnya.

Anin menaikkan pandangannya dan menatap Haksa dari jauh.

Haksa tersenyum.

ㅤ ㅤ ㅤ

“Juara 3 Olimpiade Sains Fisika jatuh kepada,

Anindya Nabastala dari SMA Neo!! Silahkan naik keatas panggung!”

ㅤ ㅤ

Baik Haksa maupun Anindya, mata mereka membola menatap satu sama lain.

“Anindya, lo menang!” ucap Haksa tanpa suara.

Rasanya air mata Anin ingin keluar. Kawanan olimnya berdatangan memberinya selamat, semuanya berteriak senang, bahkan kini airmata Jana semakin keluar banyak. Kawan seperjuangannya berhasil dan ia bahagia.

Haksa menatap bangga Anindya yang menaiki panggung. Senyumnya terus mengembang, semua keyakinanannya benar terjadi.

“ANIN LO PALING KECE SUWER DAH!” teriak Cella.

“Anin keren Sa,” kata Renald.

Haksa tersenyum mendengarnya, “Selalu, Anindya itu perempuan hebat.”

ㅤ ㅤ ㅤ “Dan untuk juara 1 Olimpiade Sains Fisika jatuh kepada..

Dari SMA Neo, Renjana Sarasvati!!!”

ㅤ ㅤ

Dan kalian tau, rasanya Jana ingin jatuh kelantai kalau bukan Lintang yang segera menahannya.

Semua bersorak bahagia. Bahkan para guru-guru dari Neo saling berpelukan.

Jana naik keatas panggung dan langsung disambut peluk hangat dari Anindya.

“Jana, kita hebat banget!” ucap Anin berurai airmata.

“Nin, asli. Ini mah harus kita rayain sambil mukbang bakso 10 bungkus!” kata Jana bercanda sambil terisak.

Ada-ada saja.

Hari itu adalah hari kemenangan bagi Neo. Selalu ada nama SMA Neo disetiap kategori. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, itu benar adanya.

Anindya tidak pernah lepas dari netra Haksa. Si gadis yang sedang berjalan lurus kearahnya. Oh tidak, jangan percaya diri dulu.

Anindya sedang menemui bu Arum juga guru-guru lain dari Neo yang memang berada dibaris yang sama. Mereka menangis bahagia dan saling berpelukan.

Anin tidak pernah berharap juara. Namun karena Haksa punya keyakinan padanya, membuat rasa itu muncul sedikit. Ia tidak menyangka kalau akan masuk 3 besar, karena biasanya Anindya hanya masuk sampai juara harapan.

Anindya segera mencari Haksa. Ia disana menatapnya masih dengan senyuman bangga.

Ia berlari menemui Haksa.

“Haksa kamu bener, aku menang!” ucap Anindya bersemangat dihadapan Haksa.

Tangan Haksa terangkat menepuk-bepuk kepala Anin, “Iya Anindya, lo pantes dapatin itu. Selamat ya,” ucap Haksa sambil tersenyum tulus.

“Sekarang mau hadiah apa?”

“Hadiah? Yang tadi di chat kamu?”

Haksa mengangguk sambil mengelus kepala si gadis.

Anindya berpikir sejenak, “Kalau hadiahnya peluk, boleh?”

Haksa terkejut, tanpa aba-aba ia langsung menarik Anindya masuk kedalam peluknya.

“Daritadi gue nahan diri, Nin. Tapi karena ini permintaan lo, gaada alasan untuk gue gak ngabulin.”

Anindya membalas pelukan itu yang membuat Haksa semakin mengeratkannya. Tercium wangi shampoo dari rambut Anin yang Haksa tebak mereknya sama dengan punya bundanya.

“Juara 3, Sa. Aku.. menang..”

Airmata Anin jatuh dipeluk Haksa.

“Selamat Anindya, selamat. Gue bingung rangkai katanya, tapi gue bangga banget. Kelewat bangga, Nin.”

“Gapapa nangis, Nin. Lo bisa bersandar di gue.”

Haksa mengusap-usap kepala Anindya. Nyatanya tidak ada yang ingin melepas pelukan itu. Posisi yang nyaman, dan tidak ada yang protes.

Sampai..

Kruyukkk..

Anindya kaget dan langsung melepas peluk mereka. Setelahnya keduanya malah tertawa, bahkan Anin tak henti-hentinya bilang, “Haksa maluuuu.”

“Habis ini makan sama gue, mau?”

“Ini termasuk hadiah?”

Haksa menggeleng, “Gak, ini maunya gue, lo mau?”

Anindya tersenyum senang, “Iya mau, Sa.”

Ah, Haksa menang. Sudah dipastikan kalau Lintang sedang menatapnya iri sedari tadi.

Tiba-tiba Anindya ditarik oleh kawanannya untuk diajak berfoto bersama semua anak olimpiade. Ada Nalendra yang disuruh Bu Arum untuk mengabadikan momen mereka.

“Cewe lo boleh juga.”

Haksa langsung berbalik melihat siapa yang bicara.

“Kalo gue ambil juga kek Sonia, gimana?”

Haksa tersenyum remeh, “Bisa?”

Aresh tertawa, “Bos, Sonia aja bisa. Masa dia kaga?”

“Dia beda, gue gak akan ngelepasin dia. Lo kalo mau cari cewe lagi ke club sono.”

Haksa dan Aresh sudah berhadap-hadapan, tatapan mereka sudah dingin satu sama lain. Jevan yang sadar dengan cepat langsung mendekat menengahi.

“Lo pergi, disini kawasan Neo,” ucap Jevan pada Aresh sambil menunjukkan jalan keluar.

Aresh mendecih dengan wajah tak suka, “Tunggu besok lo pada,” katanya lalu berjalan pergi.

“Gue tungguin,” jawab Haksa.

Perpustakaan; tentang jujur.

H-1.

Sore itu para anak-anak yang akan mengikuti olimpiade berkumpul di perpustakaan. Ada rompi yang akan dibagikan pada mereka untuk lomba esok hari.

Rompi itu sebagai pembeda dengan sekolah lain saja, sekaligus hasil dari kebaikan hati kepala sekolah SMA Neo yang katanya anak-anak olim sudah sangat berprestasi, jadi ia beri hadiah kecil.

“Bu, yang ukuran M sudah habis ya?” tanya Anin.

Yang tersisa tinggal ukuran besar semua, dan ditangan Anin ada rompi berukuran XL. Itupun hasil dari rebutan dengan anak lain.

“Aduh, iya Nin. Kata penjahitnya yang ukuran kecil emang sedikit soalnya dia ngira anak SMA itu tubuhnya pada gede-gede,” jelas Bu Arum.

“Buset dah, dikira kita titan apa?” runtuk Kresna yang membuat semuanya tertawa.

Anindya menggeleng memaklumi sambil tertawa kecil.

Ia melipat rompi yang ia dapat dan bersiap memasukkannya kedalam tas, sebelum…

“Nih, sini yang itu.”

Anin sedikit tersentak. Seseorang melempar rompi padanya dan tangannya meminta rompi yang ada ditangan Anin.

“Sini Anin,” ulangnya.

Anindya pun memberikan miliknya pada Lintang. Iya, itu lintang tapi sedikit berbeda.

“Itu L bukan M, tapi seenggaknya gak terlalu kegedean.”

“Makasih Lintang, tapi kamu pakai yang itu gapapa?”

Lintang tersenyum walau sedikit tidak ihlas, “Gue selalu gapapa, Nin.”

Anin seperti terhipnotis mendengarnya. Lintang sudah beranjak, tapi Anin masih memikirkan kata itu.

“Dia, kenapa?” bisik Anin kecil.


“Karena kalian semua sudah dapat rompi, setelah ini boleh pulang ke rumah masing-masing. Malam ini saya mau kalian tidak ada yang belajar, lebih baik kalian dengerin lagu atau nonton film. Otak kalian harus rileks dan kalian juga.”

Semuanya mengangguk dan mendengarkan Bu Arum dengan khidmat.

“Besok sarapan dahulu di rumah, karena konsumsinya masih belum jelas kapan datang. Lalu, ibu kasih saran, daripada mengejar juara lebih baik diubah menjadi kalian harus memberikan yang terbaik, untuk diri kalian sendiri, untuk sekolah, untuk NEO kita tercinta.”

“Saya percaya sama kalian. Kalian adalah anak-anak hebat yang pernah saya temui. Besok ayo berikan yang terbaik, NEO’S PRIDE!!!” teriak Bu Arum.

“NEO’S PRIDE!!!” teriak kami semua semangat.

Setelahnya mereka saling berpelukan, memberikan kekuatan untuk orang-orang yang ada di samping mereka.

Selalu seperti ini, setiap akan lomba pasti pas H-1 rasanya ingin menangis. Gak kerasa waktu cepat berlalu, kata Anindya di dalam hati.

“Yok semangat yok besok!” seru Jana.

“Semangat!” seru Anindya dengan anak-anak lainnya.

Anindya melihat Lintang yang sedang tertawa senang bersama anak olimpiade biologi di ujung sana.

Ia juga ikut tersenyum, lalu berjalan mendekatinya.

“Lintang, semangat besok!” seru Anin sambil menawarkan tos yang biasa mereka lakukan.

Lintang menoleh lalu tersenyum, dan pergi.

Pergi karena ada kawannya yang memanggil untuk berfoto bersama.

Tangan Anindya masih diudara, tidak ada balasan.

Ada apa? Kenapa Lintang, sedikit berubah?

“Anin!”

“Ayam Bebek Kambing!” teriak Anin terkejut sedangkan Jana tertawa geli.

“Kenapasih Janaaaa?”

“Lo serius pulangnya gak ikut gue? Janganlah, kan gue yang jemput.”

“Iya serius Janaaaaaa. Ada yang mau aku lakuin.”

Jana menatap Anin sipit, “Oh jangan-jangan lo mau ngelakuin yang iya iya, ya?”

“Ya ampun Jana, istighfar!”

Jana tertawa kecil, “Astagfirullah..”

Perpustakaan seketika sudah sepi, bahkan Lintang juga tidak ada. Mereka semua sudah pulang, tapi anak-anak Neo belum karena belum jam pulang.

“Gue pulang, Nin. Lo serius?”

Anin mengangguk mantap, “Iya Jana, serius.” Anin mendorong tubuh Jana yang dibalasnya dengan tawa, “Udah sana cepet pulang, terimakasih ya tadi, hati-hati!”

Jana terkekeh sambil membentuk tanda ‘okay’ ditangannya.

Anindya tidak sendiri di perpus, masih ada ibu penjaga yang setia menunggu sampai jam pulang.

Anin pun memilih untuk duduk dikursi yang menghadap langsung ke lapangan belakang.

Kosong, tim bola sudah selesai latihan.

Langit juga ternyata berubah mendung, sepertinya semesta mendukung kegiatan Anindya. Kegiatan yang berisi tentang menenangkan diri sebelum hari esok, memikirkan apa Haksa sudah sampai dirumah, dan juga tentang Lintang yang mulai berubah.


“Anjing ketinggalan!” ia berseru, itu Haksa.

Haksa menatap langit yang ternyata sudah mendung, tapi mau gimana lagi, ia harus balik ke sekolah. Bisa-bisanya ponselnya tertinggal di dalam loker saat tadi ganti baju.

Haksa langsung menjalankan motornya menuju sekolah. Pukul 4 sore dan hari sudah menggelap. Haksa terus melajukan motornya.

Sampai, motornya sudah terparkir di lapangan belakang. Tapi yang menarik perhatiannya malah seorang gadis yang sedang duduk dengan tatapan kosong di perpus atas sana.

Haksa langsung bergegas masuk menuju lokernya. Untung ponselnya masih disana. Tepat saat Haksa menutup lokernya, hujan lebat datang.

Anindya.

Haksa langsung berlari kearah kantin dan membeli 2 gelas teh hangat yang di taruh digelas plastik.

Dengan hati-hati ia berjalan menuju perpustakaan dengan 2 tangan yang penuh.

Krieett!

Pintu perpustakaan terbuka dengan dorongan kaki Haksa. Ia sedikit membungkuk sebagai izin untuk masuk pada Ibu penjaga perpus.

Haksa berjalan lurus, lalu mendudukkan diri dikursi di samping gadis itu.

Keduanya sama-sama menatap kaca besar dihadapan mereka yang menyajikan lapangan belakang sekolah yang sangat basah.

“Jadi teh dingin nanti kalau gak kamu minum sekarang.”

Haksa menoleh, Anindya tersenyum.

Haksa menggeserkan segelas teh tadi pada Anin, “Untuk lo, Nin. Supaya hangat.”

Anin tersenyum, “Terimakasih, Haksa.”

Kedua menyesap teh hangat tadi, beruntung belum menjadi dingin, jadi bisa menghangatkan tubuh.

“Kenapa gak chat gue kalo masih disini?”

“Emang kenapa?”

“Biar gue bisa jemput lebih cepat, Nin.”

Anindya tersenyum, “Enggak perlu, Sa. Emangnya kamu ojek aku? Aku juga gak keberatan kalau pulang naik ojol atau bis kota, seru malah.” Anin menjelaskan dengan senyum yang teramat manis.

“Tapi hujan, Nin,” kata Haksa memelas.

“Kenapa? Kamu gak suka hujan ya?” tanya Anindya penasaran.

Haksa mengangguk sambil menatap kedepan, “Ribut Nin, apalagi kalo ada petir, bikin istighfar terus.”

Ia terkekeh, Anin maksudnya.

“kalau aku sih suka hujan, tapi lebih suka sama langit sih.”

Haksa balik menatap Anin, “Suka langit ya? Gue kira lo lebih suka bulan.”

“Aku lebih suka langit, Sa. Kan namaku artinya juga langit.”

“HAH?!” kejut Haksa yang juga membuat Anin kaget.

“Eh.. kenapa?”

“Nama lo artinya langit?!”

Anin mengangguk, “Iya, Nabastala itu artinya langit, Haksa.”

“ANJIR GUE DITIPU!!” seru Haksa tidak terima.

“Hah? Siapa yang nipu?” tanya Anin bingung.

“NALEN! AH NALENDRA ANJING SEHARUSNYA GUE GAK USAH PERCAYA!”

“Shuutt..”

Baik Anindya dan Haksa langsung terdiam dan menunduk meminta maaf pada Ibu penjaga perpus. Padahal tidak ada orang disini, tapi yasudahlah.

“Kenyaringan, Sa.” Ucap Anin sambil tertawa.

Haksa juga ikut, “Hahaha sorry, Nin. Tapi kalo Nalen tetep Anjing.”

“Kenapa sih?”

“Kata Nalen, Nabastala itu artinya bulan. Mana gue percaya lagi.” Haksa menggelengkan kepala tak percaya.

Anindya mengernyit lalu tertawa lepas, sampai-sampai ia bersandar dikursi.

“Jujur deh, kalian bicarain aku apa aja?” kata Anin.

“Waduh itu rahasia Negara, Nin. Kalo yang lain boleh deh,” tawar Haksa. “Atau lo yang mau jujur sesuatu ke gue?”

Mata mereka saling bertemu, sudah 10 detik lebih tapi rasanya tetap nyaman.

Berdua di perpustakaan, ditemani suara hujan, juga teh hangat yang dibelikan Haksa, rasanya sangat nyaman. Anindya sampai lupa kalau besok ia ada lomba olimpiade.

“Coba kamu dulu deh yang jujur sama aku,” kata Anin.

Haksa sedikit mematung, “Jujur ya..”

Haksa menyandarkan dirinya dikursi, tatapannya tak lepas dari Anindya.

Tangan kanan Haksa membawa jemari cantik milik Anin, dan meletakkannya didada bidang miliknya. Dijantung Haksa.

Anindya sangat terkejut, sampai-sampai matanya ingin keluar.

Dada Haksa berdegup dengan tempo yang tak biasa, apakah ia sedang berdebar?

“Udah belakangan ini detaknya gak karuan, Nin. Setiap liat lo, ingat nama lo, atau mikirin lo.”

Pipi Anin bersemu merah, kontras dengan telinga Haksa yang juga ikut memerah. Kini malah jantung Anindya yang berdegup tidak karuan.

Haksa tersenyum lalu mengembalikan tangan Anin.

Hujan mulai mereda. Walau jalanan masih basah, tapi anak-anak Neo sudah banyak berjalan keluar dari kelas, bahkan pulang menggunakan jas hujan.

Hari yang tak terduga.

“Sekarang aku yang jujur,” kata Anin yang membuat Haksa balik menatapnya.

Anin tersenyum, “Aku gak suka ketoprak, tapi ayo kita makan habis ini, Sa.”

Haksa menatap Anindya bingung, namun tak lama sebuah senyum terbingkai di wajahnya.

Keduanya tersenyum lembut, mata mereka bertemu seperti saling berbicara. Mata turun kehati, kalian percaya itu?

Semesta, terimakasih untuk hari ini.

Telepon; akhir dan awal hari.

Anindya menyimpuni soal latihannya sambil membersihkan meja belajar, juga menunggu telpon dari Haksa.

Tut tutut~~~

Anin menoleh keponselnya, ada nama ‘Haksa kapten bola’ disana yang langsung membuatnya tersenyum. Ia menerima panggilan itu.

“Hey, selamat malam. Tutup dulu bukunya.”

Anin tertawa kecil, “Malam juga, Sa. Iya udah nih.”

“Gimana hari ini?”

Ah, rasanya hati Anin menghangat.

“Lumayan seru! Soalnya banyak ketawanya,” ujar Anindya semangat.

Haksa tersenyum tenang, sambil bersandar didinding ranjang, ia mendengarkan suara lembut Anindya yang tengah menceritakan harinya.

“Tadi bimbingannya cuma 1 jam aja, 2 jam sisanya diajak main game sama Bu Arum. Biar gak tegang menjelang hari-h katanya. Bu Arum emang keren!”

Anindya terkekeh di kamarnya, Haksa juga.

“Pantes perpus tadi kek orang lagi demo.”

“Keliatan?”

“Iya, dari lapangan belakang. Gue juga liat lo sama Jana yang kaget waktu balonnya meledak.”

Anin menepuk jidatnya sambil tertawa malu, “Haksa jangan diingetin.. duh, malu banget.”

Tadi Anin dan Jana menjadi pasangan saat game joget balon. Saat balonnya disuruh dipindahkan ke depan wajah, perasaan Anin sudah tidak enak.

Dan benar saja, balon mereka berdua tiba-tiba meletus, membuat Anin latah menyebut, “Ayam Bebek Kambing!” juga Jana yang berteriak heboh sambil memeluk Bu Arum.

Yang jelas, seisi perpus pada tertawa ngakak sampai ada yang baring di lantai.

“Muka lo lucu banget Nin hahaha.”

Anin merengut di ujung sana, “Kamu perhatiin terus?”

“Iyalah.”

Hah, Haksa ini orangnya cukup blak-blakan. Haksa tidak tau saja kalau Anindya sedang menutup matanya rapat sambil tersenyum lebar.

Haksa memperhatikannya, dan fakta itu membuatnya ingin melompat senang.

“Oiya Sa, aku mau apresiasi kamu dulu.”

Anin menaruh ponselnya di atas meja belajar dan mengubah telpon itu menjadi loudspeaker.

Anindya bertepuk tangan sambil berkata, “Wooo!! Haksa hebat! Keren banget! Haksa paling mantep deh!”

Itu membuat Haksa tak kuasa menahan senyum lebar, juga tawa senang sekaligus heran di kamarnya.

“Kamu tadi nge-gol 2 kali kan? Wah keren banget sih. Apalagi kamu yang nge-gol tapi Nalen sama Renald yang selebrasi,” jelas Anin sambil tertawa mengingat itu tadi.

“Em, makasih Anindya,” kata Haksa lembut. “Kalo soal Nalen gue udah gak kaget, tu anak emang ajaib, yang bikin kaget tadi tuh si Renald hahaha.”

mereka tertawa bersama, lalu diam bersama. Bukan karena tidak tau harus bicara apa, tapi karena menikmati suasana, juga suara napas dari telpon masing-masing yang menenangkan.

“Untuk hari ini, hari besok, dan hari seterusnya, lo hebat Nin.”

Anindya tersenyum.

“H-2 kan? Santai aja jangan terlalu berlebihan belajarnya, Nin. Kalo gue sih yakin lo bisa menang, lo percaya?”

Anin mengangguk walau tak bisa dilihat Haksa, “Iya percaya.”

Percaya adalah kata yang sebenarnya tidak Anin ambil serius, juga masih abu-abu.

Tapi waktu kata itu keluar dari bibir Haksa, rasanya Anindya ingin mempercayai itu sepenuhnya.

“Kamu juga, Sa. Tim bola sekolah kita sudah terkenal hebat, aku yakin kaptennya punya andil besar. H-3 turnamen kan? Semangat Haksa dan tim!”

Haksa tersenyum mendengar itu, hatinya menghangat.

“Lo percaya sama kata usaha gak akan khianatin hasil, Nin?”

“Percaya, Sa. Walau kadang hasilnya suka kepleset dikit, tapi kalo udah takdirnya, pasti sampai.”

Senyum itu masih tetap dibibir Haksa, “Gue juga. Untuk apapun yang lagi kita usahain, semoga sampai ya, Nin.”

“Aamiin, Sa. Aamiin.”

Jam di kamar Anindya berbunyi mengeluarkan jingle lagu. Sudah jam 12 malam ternyata, cepat sekali. Sepertinya ia terlalu banyak mengulang materi, juga terlalu asik mendengarkan suara Haksa.

“Dah, tidur Nin. Makasih udah mau telponan sama gue hahaha,” ia tertawa.

“Istirahatin tubuh lo, kalo lo mimpi buruk bilang gue, biar gue usir.”

Anindya tertawa heran mendengarnya, ada-ada saja.

“Kamu juga, Sa. Tarik nafas, istirahat, kamu sudah bekerja keras hari ini.”

Dan aku, bangga.

Tidak, kata ini tidak sampai pada Haksa. Ia hanya ada di dalam hati Anindya. Biarlah Anin saja yang tau, sudah cukup.

Mendengar perkataan Anin selalu berhasil membuat Haksa merasa tenang. Anindya ini emang gadis ajaib, pikirnya.

“Malam Anindya, senang gue bisa ngeakhirin dan ngawalin hari sama lo.”

“Selamat malam juga, Haksa.”

TUT!

Telpon mereka terputus.

Ada Anindya yang menatap dirinya dari cermin kecil dimeja belajarnya. Senyumnya terus mengembang, wajahnya juga memanas. Ah, Anindya langsung berlari menghambur ke kasurnya sambil meracau tidak jelas.

Ada juga Haksa, yang masih memandangi ponselnya walau sudah 5 menit yang lalu mengakhiri telpon dengan Anin. Apa ya? Pokoknya Haksa merasa bahagia, dan ia harap rasa itu bisa bertahan lama.

“Ya Allah, tolong bantu. Anindya kalo gak jadi milik Haksa keknya percuma banget.”

Haksa menutup kalimatnya malam itu dengan kata, aamiin.