Telepon; akhir dan awal hari.
Anindya menyimpuni soal latihannya sambil membersihkan meja belajar, juga menunggu telpon dari Haksa.
Tut tutut~~~
Anin menoleh keponselnya, ada nama ‘Haksa kapten bola’ disana yang langsung membuatnya tersenyum. Ia menerima panggilan itu.
“Hey, selamat malam. Tutup dulu bukunya.”
Anin tertawa kecil, “Malam juga, Sa. Iya udah nih.”
“Gimana hari ini?”
Ah, rasanya hati Anin menghangat.
“Lumayan seru! Soalnya banyak ketawanya,” ujar Anindya semangat.
Haksa tersenyum tenang, sambil bersandar didinding ranjang, ia mendengarkan suara lembut Anindya yang tengah menceritakan harinya.
“Tadi bimbingannya cuma 1 jam aja, 2 jam sisanya diajak main game sama Bu Arum. Biar gak tegang menjelang hari-h katanya. Bu Arum emang keren!”
Anindya terkekeh di kamarnya, Haksa juga.
“Pantes perpus tadi kek orang lagi demo.”
“Keliatan?”
“Iya, dari lapangan belakang. Gue juga liat lo sama Jana yang kaget waktu balonnya meledak.”
Anin menepuk jidatnya sambil tertawa malu, “Haksa jangan diingetin.. duh, malu banget.”
Tadi Anin dan Jana menjadi pasangan saat game joget balon. Saat balonnya disuruh dipindahkan ke depan wajah, perasaan Anin sudah tidak enak.
Dan benar saja, balon mereka berdua tiba-tiba meletus, membuat Anin latah menyebut, “Ayam Bebek Kambing!” juga Jana yang berteriak heboh sambil memeluk Bu Arum.
Yang jelas, seisi perpus pada tertawa ngakak sampai ada yang baring di lantai.
“Muka lo lucu banget Nin hahaha.”
Anin merengut di ujung sana, “Kamu perhatiin terus?”
“Iyalah.”
Hah, Haksa ini orangnya cukup blak-blakan. Haksa tidak tau saja kalau Anindya sedang menutup matanya rapat sambil tersenyum lebar.
Haksa memperhatikannya, dan fakta itu membuatnya ingin melompat senang.
“Oiya Sa, aku mau apresiasi kamu dulu.”
Anin menaruh ponselnya di atas meja belajar dan mengubah telpon itu menjadi loudspeaker.
Anindya bertepuk tangan sambil berkata, “Wooo!! Haksa hebat! Keren banget! Haksa paling mantep deh!”
Itu membuat Haksa tak kuasa menahan senyum lebar, juga tawa senang sekaligus heran di kamarnya.
“Kamu tadi nge-gol 2 kali kan? Wah keren banget sih. Apalagi kamu yang nge-gol tapi Nalen sama Renald yang selebrasi,” jelas Anin sambil tertawa mengingat itu tadi.
“Em, makasih Anindya,” kata Haksa lembut. “Kalo soal Nalen gue udah gak kaget, tu anak emang ajaib, yang bikin kaget tadi tuh si Renald hahaha.”
mereka tertawa bersama, lalu diam bersama. Bukan karena tidak tau harus bicara apa, tapi karena menikmati suasana, juga suara napas dari telpon masing-masing yang menenangkan.
“Untuk hari ini, hari besok, dan hari seterusnya, lo hebat Nin.”
Anindya tersenyum.
“H-2 kan? Santai aja jangan terlalu berlebihan belajarnya, Nin. Kalo gue sih yakin lo bisa menang, lo percaya?”
Anin mengangguk walau tak bisa dilihat Haksa, “Iya percaya.”
Percaya adalah kata yang sebenarnya tidak Anin ambil serius, juga masih abu-abu.
Tapi waktu kata itu keluar dari bibir Haksa, rasanya Anindya ingin mempercayai itu sepenuhnya.
“Kamu juga, Sa. Tim bola sekolah kita sudah terkenal hebat, aku yakin kaptennya punya andil besar. H-3 turnamen kan? Semangat Haksa dan tim!”
Haksa tersenyum mendengar itu, hatinya menghangat.
“Lo percaya sama kata usaha gak akan khianatin hasil, Nin?”
“Percaya, Sa. Walau kadang hasilnya suka kepleset dikit, tapi kalo udah takdirnya, pasti sampai.”
Senyum itu masih tetap dibibir Haksa, “Gue juga. Untuk apapun yang lagi kita usahain, semoga sampai ya, Nin.”
“Aamiin, Sa. Aamiin.”
Jam di kamar Anindya berbunyi mengeluarkan jingle lagu. Sudah jam 12 malam ternyata, cepat sekali. Sepertinya ia terlalu banyak mengulang materi, juga terlalu asik mendengarkan suara Haksa.
“Dah, tidur Nin. Makasih udah mau telponan sama gue hahaha,” ia tertawa.
“Istirahatin tubuh lo, kalo lo mimpi buruk bilang gue, biar gue usir.”
Anindya tertawa heran mendengarnya, ada-ada saja.
“Kamu juga, Sa. Tarik nafas, istirahat, kamu sudah bekerja keras hari ini.”
Dan aku, bangga.
Tidak, kata ini tidak sampai pada Haksa. Ia hanya ada di dalam hati Anindya. Biarlah Anin saja yang tau, sudah cukup.
Mendengar perkataan Anin selalu berhasil membuat Haksa merasa tenang. Anindya ini emang gadis ajaib, pikirnya.
“Malam Anindya, senang gue bisa ngeakhirin dan ngawalin hari sama lo.”
“Selamat malam juga, Haksa.”
TUT!
Telpon mereka terputus.
Ada Anindya yang menatap dirinya dari cermin kecil dimeja belajarnya. Senyumnya terus mengembang, wajahnya juga memanas. Ah, Anindya langsung berlari menghambur ke kasurnya sambil meracau tidak jelas.
Ada juga Haksa, yang masih memandangi ponselnya walau sudah 5 menit yang lalu mengakhiri telpon dengan Anin. Apa ya? Pokoknya Haksa merasa bahagia, dan ia harap rasa itu bisa bertahan lama.
“Ya Allah, tolong bantu. Anindya kalo gak jadi milik Haksa keknya percuma banget.”
Haksa menutup kalimatnya malam itu dengan kata, aamiin.