ririwyss

Warung bakso; doa dan bulan.

Kruukk..

Anindya menunduk malu, pasalnya perutnya ini tidak tau diri sekali berbunyi pada saat mereka berhenti dilampu merah. Anin tebak, Haksa pasti sedang tertawa geli.

“Mampir dulu mau, Nin?” tawar Haksa.

“Mampir kemana?” tanya Anin pelan.

“Ketempat favorit gue, mau?”

“Boleh.” Anindya mengangguk setuju sambil menunduk, walau begitu tetap saja masih bisa Haksa lihat dari kaca spion.

Lucu sekali.

Lampu berubah menjadi hijau, dan mereka melanjutkan perjalanan.

Apa kalian pernah jalan berdua naik motor bersama orang yang kalian kagumi? Rasanya sulit dijelaskan, begitu juga isi hati Haksa dan Anindya. Tapi tetap, juara pertamanya adalah rasa bahagia.

Bahkan Haksa tidak bisa berhenti tersenyum sedari tadi.

Motor mereka mulai menepi, berhenti tepat didepan sebuah warung. Warung Bakso Pak Karso namanya.

“Makan dulu, kasian cacing diperut lo pada demo.” Haksa turun dari motor dan berucap dengan nada menggoda yang sialnya menyebalkan.

Kalau kata orang-orang, anindya sedang malu to the bone.

“Mang, bakso 2 ya yang komplit.” Haksa lalu menatap Anindya, “Minum apa Nin?”

“Air putih biasa Sa,” jawab Anin yang diangguki Haksa.

“Minumnya air putih biasa sama es jeruk ya mang.”

“Siap den!”

Haksa mengajak Anin mencari tempat duduk. Saat itu belum terlalu ramai, mungkin karena belum waktu makan siang. Haksa dan Anindya duduk berhadapan, dan memilih meja yang diluar saja supaya bisa sambil melihat jalan, supaya bisa mencari alasan kalau ada pipi atau telinga yang memerah.

“Weh, makasih mang!” Haksa membantunya menyajikan makanan mereka.

“Sama pacar nih den Haksa?” tanya mamang tersebut penasaran dengan senyum jahil.

Haksa tersenyum sampai terkekeh kecil, “Doain aja mang, moga sukses.”

“Ya Allah seperti biasa,” mamang itu menengadahkan tangannya.

“Aamiin..” ucap Haksa dan mamang bakso bersamaan.

Keduanya terkekeh, sedang Anindya memerah malu.

Gawat, jantungnya berdegup kencang lagi. Pipinya pun ikut memanas, Anin benar-benar gugup sekarang.

Menyadari pipi Anin yang memerah membuat Haksa tertawa dan tersenyum senang, “Yuk makan Nin, jangan lupa doa dulu.”

Anin mengangguk karena tak sanggup menjawab.

Semesta, Haksa bilang baru kali ini ia merasakan jatuh yang seperti ini. Jatuh yang membuatnya ingin jatuh sedalam-dalamnya. Apa Haksa berlebihan?

Tidak semesta, tidak.

Nyatanya Anindya juga merasakan hal yang serupa. Jantungnya terus berdegup tak beraturan, apalagi saat tau kalau Haksa sedang mencuri pandang padanya sambil mengaduk mangkok bakso itu.

Ah, mereka ini terlalu polos. Semesta tolong bantu ya?

“WOYYY!!”

“Uhuk uhukk!!”

Haksa dan Anindya sama-sama tersedak. Anin segera mengambil minumnya, sedang Haksa menepuk-nepuk dadanya yang ikut dibantu orang tadi sambil tertawa geli.

“Minum dulu, Sa. Keknya kaget amat tadi hahaha,” ia tertawa sambil memberikan tatapan menggoda.

Ya siapa lagi kalau bukan Nalendra. Di dalam hati Haksa menyumpah serapahi kehadiran Nalendra yang mengganggu mereka berdua.

“Eh? Sama Anin ternyata? Halo Nin!”

“Halo Nalen,” sapa Anindya dengan senyum hangat.

Tidak, bukannya Nalendra tidak tau. Tapi itu juga termasuk bentuk godaan untuk Haksa. Nalendra tebak pasti Haksa tengah menatapnya dengan sinis.

Dan, betul! Hahaha.

“Yang, udah nih!” teriak seorang gadis yang berjalan mendekati meja mereka. “Yuk- EH, HAKSA? HAKSA KAN INI?”

“Iya Cella, masa barongsai? Gue ganteng gini.”

Cella tertawa, Nalendra juga, Anindya sedikit.

“Dasar ane- LOH, INI YANG NAMANYA ANIN?”

Haksa sampai memejamkan matanya karena Cella yang terus heboh. Sedang Nalendra memberikan tatapan memohon pada gadisnya itu.

Ayolah, tentu saja dirinya yang menceritakan kedekatan Haksa dan Anin beberapa waktu lalu.

“Hehehe aduh maaf ya heboh,” kata Cella. “Oh iya kenalin, aku Marcella tapi panggil aja Cella!”

Cella menyodorkan tangan untuk berkenalan padanya.

“Aku Anindya panggil Anin juga boleh, salam kenal Cella.” Anin tersenyum sambil menjabat telapak tangan Cella.

“Lo pada makan disini?” tanya Haksa.

“Enggak, mau makan dirumah gue, nih udah siap.” Cella menunjukkan kantong plastik yang berisi bakso itu.

“Gue gabakal ganggu momen lu kok Sa, hahaha.” Nalendra menautkan jemarinya dengan jemari Cella yang kosong. “Dah ya, gue sama Cella duluan, have fun!” kata Nalendra dengan tatapan menggoda untuk Haksa.

“Anin gue duluan ya!” teriak Cella.

“Iya Cella, hati-hati!” balas Anin.

Mereka menatap kepergian pasangan itu, dan saat kembali, malah mereka berdua yang saling bertatapan.

Haksa dan Anin sama-sama terkekeh, entah karena apa, tapi rasanya ingin tertawa saja.

“Lanjut Nin, makannya,” kata Haksa. “Ceweknya si Nalen emang heboh, mana cemburuan lagi. Masa gue pernah dikira selingkuhan Nalen gegara tu anak nyimpen nomor gue cuma pake huruf H.”

Anin terkejut, “Serius? Hahaha, jadi gimana?”

“Ya.. si Cella terus nyerocos ditelpon karena gue gak punya kesempatan ngomong. Pas dia lagi diem baru gue bilang ‘Udah La?’ Eh dia malah neriakin gue banci.” Haksa bercerita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau diingat lagi saat itu, rasanya frustasi sekali.

Anin tertawa geli mendengar cerita Haksa, ada-ada saja ternyata lingkungan pertemanannya itu.

Haksa memperhatikan Anin yang sedang tertawa, “Nin, lo tau?”

Anindya berhenti tertawa sambil menggelengkan kepalanya bingung.

Sial, begitu saja tapi terlihat gemas.

“Gue suka banget sama bulan sabit akhir-akhir ini.”

Anindya ikut tertarik dengan pembicaraan bulan ini, “Oh iya? Emangnya dulu gak suka?”

“Suka, tapi gak pernah sesuka ini.”

“Oh gitu, kenapa?” tanya Anindya.

Haksa menatap lamat mata Anin, “Mungkin, karena mata lo pas ketawa juga ngebentuk bulan sabit?”

Ah, sial.

Rooftop; Haksa dan Anindya

Terdengar suara pintu terbuka dari arah samping, ia pun tersadar dari lamunannya.

“Haksa? Ooo Haksa?” Anindya memanggil menggunakan nada Upin-Ipin dan sukses membuat Haksa tersenyum kecil.

“Sini Nin.”

Anindya langsung menengok kesamping kiri dan tersenyum lega saat melihat ada Haksa disana.

Anin berjalan mendekat ke Haksa yang tengah duduk diatas beton yang menjadi vas raksasa untuk tanaman hias.

Haksa menepuk-nepuk bagian disebelahnya, “Duduk sini.”

Anindya pun mengikutinya, ah kalau dipikir-pikir lagi Anin patut diberi 10 jempol. Pasalnya ia berani sekali bertindak sejauh ini. Menyusul Haksa ke rooftop? Tidak pernah terbayangkan olehnya.

Anin mengeluarkan minuman yang ia bawa dari kantung plastik, “Nih nutriboost-nya.”

Haksa tersenyum, “Makasih Anindya,” lalu menerimanya.

Mereka sama-sama membuka minuman itu dan meminum beberapa teguk. Anin tidak pernah tau kalau pemandangan dari atas rooftop ternyata cukup bagus.

Ada cukup banyak murid yang sedang bermain dilapangan dengan riuh suara teriakan juga tawa. Walau tadi sudah diperingatkan untuk tetap dikelas, tapi namanya anak SMA tentu saja mereka hanya ingin melakukan apa yang mereka mau.

“Kenapa gak dikelas aja?” tanya Haksa memecah keheningan.

“Em.. bosen? Iya aku bosen sih soalnya mereka dikelas main kejar-kejaran mulu, aku capek ketawanya.”

Anindya terkekeh, Haksa juga.

“Lo gak mau ngomelin gue lagi kek di uks waktu itu? Liat nih muka gue pada biru,” adu Haksa sambil menunjuki bagian wajahnya yang membiru.

“Mau banget Sa! Tapi udah sih..”

“Kapan?”

“Tadi pagi, didalam hati. Pas di aula.”

“Kenapa gak langsung?”

Anin tersenyum, “Gapapa. Kalo didalam hati aku bisa omelin sepuasnya tanpa perlu kamu tau.”

Katakan Haksa bolot, ia benar-benar tidak mengerti maksud Anin. Kenapa ia tidak perlu tau?

“Emangnya muka gue nyeremin ya?” tanya Haksa penasaran.

“Em.. engga kok eh atau iya ya? Ah gatau, bingung,” kata Anin dengan ekspresi seperti orang yang benar-benar bingung.

Ah, lucu sekali. Haksa tidak bisa terus menahan senyumnya sampai-sampai tenggorokannya terasa mengering. Ia kembali meminum nutriboost yang dibawa Anin tadi.

“Udah?”

Haksa hampir saja tersedak, ia lalu menutup botolnya sambil menaikkan alis seperti bertanya, ada apa?

“Nanyanya udah? Daritadi kamu serbu pertanyaan terus.”

Haksa yang sadar pun tertawa, “Hahaha maaf, sekarang giliran lo deh,” tawar Haksa.

Keduanya kembali terdiam sambil menatap arah lapangan yang terdapat siswa lain tengah seru bermain. Angin-angin siang itu membawa terbang rambut Anin, juga Haksa yang poninya kini cukup panjang.

“Mau cerita sama aku?” Haksa menatap Anin bingung. “kalau kata budeku, ga bagus mendem sesuatu didalam hati. Cari seseorang dan ceritain, walau orang itu gak bisa bantu kamu, setidaknya kamu lega karena sedikit bebanmu berkurang.

Haksa menepuk-nepuk kepala Anindya sambil tersenyum tenang, “Beban gue gak berat kok Nin.”

Ah gila, kenapa jantung Anin berdegup kencang? Ah tunggu, wajahnya juga memanas.

Anin mencoba menetralkan diri, “Iya Haksa, gapapa aku gak maksa. Aku cuma nawarin aja.”

“Tapi gue mau cerita ke lo, mau denger?” tanya Haksa dengan tatapan teduhnya.

Anindya terkejut, sangat. Ia tidak pernah merasa seperti ini tapi kenapa ia menyukai situasi ini?

Sebuah senyum terbit dari bibirnya, “Iya mau.”

Senyum itu, senyum yang membuat mata Anindya membentuk bulan sabit, senyum yang Haksa suka.

Rasanya amarah Haksa bisa menghilang jika hanya melihat senyuman itu. Tapi saat ia sadar kalau ia ingin menceritakan resahnya pada Anin, rasa itu datang lagi. Rasa marah, kesal, kecewa yang berapi-api.

Haksa menghela napasnya, “Seharusnya gue bisa cegah si Supriyadi sebelum dia mukul mereka tadi.”

“Pak Supriyadi, Sa,” ucap Anin lembut.

“Ya itulah. Gue marah Nin, kelakuan tu orang ditonton 1 sekolah, dan yang dia pukul itu cewek. Mereka emang salah tapi apa harus dikepala?” protes Haksa.

Ah jika saja Haksa tidak memandang umur bisa saja perkelahian tadi berlanjut karena Haksa yang membalas.

Anindya diam memperhatikan Haksa yang amarahnya sangat tampak namun ia tahan. Ia juga mengangguk setuju dengan perkataan Haksa.

“Kamu juga dipukul Sa, kamu gak marah?”

Haksa tertawa kecil, “Gue udah sering digituin sama dia Nin. Gue biasa aja kalo yang dia hajar itu gue, tapi kalo cewek? Itumah dia yang gila.”

Haksa menghela napas kasar menjeda, “Gue gak kebayang kalo yang ada diposisi itu adek gue, atau bahkan bunda.” Haksa mengacak rambutnya asal. “Perempuan gak pantas digituin.”

Anindya tersenyum mendengar pemikiran Haksa.

Haksa kembali meneguk botol nutriboost yang ada ditangannya, dan Anin kembali teringat dengan perkataan Pak Supriyadi tadi.

“Haksa, perkataan Pak Supriyadi tadi jangan diambil hati, ya?”

Haksa kembali tertawa, tawa remeh, “Hah, si Supriyadi dah sering ngomong gitu ke gue Nin. Ralat, teriak bukan ngomong.”

“Bapak Sa,” lagi, tegur Anin lembut. “Dan kamu gak marah?”

“Marah Nin, gue selalu marah tiap dengar itu.”

Anindya memperhatikan air wajah Haksa, anak ini sudah terlalu banyak memendam ternyata, pikir Anin.

“Kalau gitu ungkapin Sa.” Haksa menatap Anin yang tampak menegapkan tubuhnya. “Teriak kek gini. AAAAA!! AKU ITU PUNYA MASA DEPAN TAU!!!”

Anindya sedikit ngos-ngosan setelah mencoba berteriak sekencang mungkin. Sudah lama Anin tidak berteriak, ada rasa sedikit lega.

Sedangkan Haksa, ah apakah tidak ada kata lain selain kata nyaman? Iya Haksa merasa nyaman bersama Anindya sampai-sampai tawa senang terkeluar dari bibirnya.

Haksa menarik napasnya dengan tubuh yang sudah tegap, “AAAAAARGH!!! HEH SUPRIYADI LO DENGER YA. GUE HAKSA BAGASKARA PUNYA MASA DEPAN. LO BUKAN TUHAN. GAUSAH SOK NGERAMAL KEHIDUPAN GUE JING. AH ANJINGGGGGG!!!”

Bahunya naik turun karena napasnya yang ngos-ngosan. Wajahnya memerah padam karena amarahnya yang sudah lama berhasil ia keluarkan. Tatapannya mungkin tajam, tapi hatinya merasa tenang.

“Sedikit lega?” tanya Anin.

Haksa mengangguk lalu tersenyum, “Iya, makasih Nin.”

Anindya menepuk pundak Haksa beberapa kali, entah keberanian darimana, “Mendem sesuatu yang buruk supaya semuanya baik-baik aja itu gak selamanya betul, Sa. Lebih baik dilepasin, toh hasilnya juga sama kan? Baik-baik aja.”

“Gue gak mau nantinya orang kasihan sama gue, Nin.” Haksa berucap sambil menatap lurus lapangan yang kini jumlah manusianya semakin sedikit.

Anindya mengikuti arah pandang Haksa, suara napas mereka terdengar samar karena angin kembali datang menggoyangkan rambut juga tanaman hias yang ada diatas sana.

“Haksa, kita gak bisa ngontrol apa aja yang terjadi didalam hidup. Karena bukan kita aja pemeran utamanya, ada berjuta-juta manusia lain yang juga berusaha menjalankan cerita mereka. Tentang orang lain pada kamu pun gak bisa sepenuhnya kamu batasin.” Anindya berucap lembut, sedang Haksa sudah memperhatikannya daritadi.

“Tapi ingat, diri kamu itu punya kamu, Sa.” Anin menoleh menghadap Haksa yang ternyata tengah menatapnya dalam. “Jangan sampai hilang arah, Sa.”

Anindya tersenyum lembut, Haksa tersenyum tulus.

Hah semesta, andai keduanya tau isi masing-masing hati. Anindya yang sedang menahan gejolak aneh didalam tubuhnya, juga Haksa yang mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk Anindya dengan erat.

Keduanya sangat lucu, tapi apakah mereka tau apa arti dari semua itu?

“Aku suka cara pandang kamu tentang menghargai perempuan,” Anin menatap langit yang kini bersih dari awan. “Pemikiran yang cerdas.”

Haksa mengikuti arah pandang Anin, “Gue juga suka cara pandang lo tentang hidup, sederhana, persis kek lo, Nin.”

Haksa kembali menatap Anindya, “…dan gue, suka.”

Aula; pendidik yang tidak terdidik.

Para murid SMA Neo berlari berhamburan menuju aula di pagi itu. Ada Anindya dan Renjana yang memilih belakangan saja daripada berdesakan. Mereka berdua berjalan santai sambil melemparkan candaan yang selalu Jana balas dengan tawa heboh.

Di aula, para murid sudah mulai berbaris rapi. Lintang yang menyadari Anin belum datang pun terus mencari keberadaannya. Iya, dan kegiatan Lintang itu terus diperhatikan Haksa. Pasalnya sama, ia juga mencari keberadaan gadis itu.

Tiba-tiba saja suara tawa terdengar dari arah pintu, dan saat wujudnya terlihat, itu membuat Lintang juga Haksa menghela nafas lega. Jana dan Anin sampai di aula dan membuat mereka diperhatikan hampir semua orang karena Jana yang kata orang-orang receh.

Anindya menunduk beberapa kali seperti tanda “Maaf sekali, mohon dimaklumi.”

Ah, Anin ingin sekali menyuruh Jana berhenti, tapi dia tidak punya hak untuk membuat orang berhenti bahagia kan?

Saat berjalan menuju barisan kelasnya, tatapan Anindya malah teralih kepada seseorang yang kini memalingkan tatapannya.

Haksa ketahuan memperhatikan Anin.

Sepertinya mood Haksa sedang tidak bagus? Wajahnya terlalu dingin sekarang, ditambah dengan luka diujung bibir juga memar biru diwajahnya. Anin tebak, dia habis berantem. Walau entah kapan.

Berdiri didalam barisan, Anindya tetap mencuri pandang pada Haksa.

Haduh mukanya biru lagi! Haksa kamu gak capek berantem terus? Ya, mungkin enggak sih, tapi, ah udahlah. Itu juga kenapa matanya tajem liatin orang? Eh, KETAHUAN!

Anindya langsung gelagapan saat Haksa menangkap basah dirinya yang terus memandangi lelaki itu. Sedangkan Haksa, tentu saja dia tersenyum menang. Hatinya terasa lebih baik, sangat.

“Liatin terus, gak bakalan hilang Sa.” Renald datang dari belakang sambil menepuk pundaknya.

Oh Jevan dan Nalendra juga ada dan langsung berbaris disamping Haksa. Mereka tidak sekelas sih, tapi terserah mereka ajalah.

“Shuutt.. dah pegang mic noh,” ucap Nalendra yang membuat tidak hanya mereka, namun seluruh murid diam memperhatikan kearah depan.

“Selamat pagi semua, salam sejahtera untuk kita semua. Tanpa basa-basi lagi saya akan mengumumkan, hari ini kita tidak akan belajar seperti biasa. Ada kepentingan yang mengharuskan para dewan guru untuk mengadakan rapat bersama OSIS. Kalian akan belajar masing-masing dikelas, dan jam pulang hari ini dimajukan 2 jam lebih awal..”

Belum selesai Pak Supriyadi berbicara namun sudah terpotong dengan sorak gembira para murid Neo. Siapa sih yang tidak senang dengan jam kosong?

Aula yang awalnya senyap menjadi sedikit bising dengan gemuruh orang yang berbicara. Ada yang bisik-bisik ada juga yang terang-terangan.

Anindya merasa senang sekaligus khawatir dengan jam kosong ini. Bisa-bisa hari ini suaranya habis karena terus tertawa. Anak-anak dikelasnya itu unik, bahkan hanya karena bersin saja bisa membuat seisi kelas tertawa. Unik.

“HAHAHAHA! iya emang ganteng banget! Aku paling suka Taeyong sih pas itu.”

“IH BENER! Tapi tetep Jaehyun di tahta paling atas.”

Anin dan Jana sama-sama menoleh kearah samping kiri. Itu adalah pembicaraan 2 anak perempuan dari kelasnya Lintang, tapi suara mereka sangat nyaring sampai membuat kami memperhatikan mereka, juga hampir semua murid di aula, dan..

Pak supriyadi di depan yang sampai menjauhkan micnya memperhatikan mereka.

Tanpa diduga dalam sekejap, pak Supriyadi turun dari mimbar dan berjalan cepat menuju 2 perempuan tadi. Kejadianya terlalu cepat hingga membuat para murid seperti tersihir membeku.

PLAK!

PLAK!

Ini tidak benar, begitu pikir Anindya. Bagaimana bisa Pak Supriyadi memukul 2 perempuan tadi dibagian kepala? Liatlah dada guru itu yang naik turun, dia benar-benar emosi.

Pak supriyadi mengomeli kedua murid perempuan itu yang sekarang tertunduk menangis. Katanya mereka tidak memiliki sopan santun dan tidak memiliki ahklak yang baik.

Saat tangan Pak Supriyadi kembali melayang diudara, dengan cepat tangan lain mencegahnya.

Itu Haksa.

“Mereka perempuan pak! Jangan gila!” Haksa berteriak marah.

“Beraninya kamu teriak sama saya.”

PLAK!

Anindya tersentak, Haksa juga mendapatkan pukulan dikepalanya.

Jevan, Renald, dan Nalendra langsung bergerak mendekati Haksa.

Semua murid Neo sudah tau kalau ini tidak akan menjadi mudah kalau urusannya dengan Pak Supriyadi. Guru yang sangat mengedepankan ego dan menghukum dengan cara kekerasan.

Haksa memandang sinis guru dihadapannya, dibelakangnya ada 2 murid perempuan tadi yang masih menangis.

“Mau jadi pahlawan kesiangan kamu lindungin mereka?”

“Sadar diri Haksa Bagaskara, kamu itu berandalan, tidak punya masa depan. sopan santun kamu saja harus dipertanyakan.”

Andai Pak Supriyadi tahu, kalau sekarang semua orang didalam hati tengah menyumpah serapahinya.

Anindya, jemarinya berpegang erat pada Jana. Mendengar perkataan gurunya itu sangat membuatnya sakit, apalagi Haksa?

“Lihat wajah kamu. Habis kelahi sama preman mana? Dasar tidak punya etika, saya ini yang memberi kamu ilmu!”

Sebelum pak Supriyadi memberi kata-kata jahatnya lagi pada Haksa, Jevan dan Renald memberanikan diri membawa beliau mundur dari sana, walau ikut terkena semprotan tidak berdasarnya.

Setelah dibawa mundur, pak Supriyadi meninggalkan aula begitu saja.

Hah, kenapa bisa mereka mempunyai guru seperti itu.

“Ren, La, bisa bantu tenangin mereka?” tanya Haksa pada Sharen dan Cella.

Keduanya mengangguk cepat lalu membawa mundur 2 perempuan itu dari barisan. Suasana di aula sangat tidak mengenakkan, ditambah mata Haksa yang semakin menggelap.

Ngingg..

Suara mic berdenging sukses mengalihkan atensi para murid di aula menuju mimbar didepan sana.

“Permisi, Candra bicara disini. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, ada informasi yang belum sempat diberitahu tadi yaitu, akan ada sumbangan yang wajib setiap orang berikan untuk membantu berjalannya HUT SMA Neo. Untuk semuanya bisa kembali ke kelas masing-masing dengan tertib. Dan nanti jam 11 gerbang akan dibuka, ketua kelas mohon untuk menjaga ketertiban dikelas masing-masing, terima kasih.”

Aula menjadi riuh diisi dengan desahan kecewa juga marah. Sumbangan yang wajib? Tentu saja itu pungli!

Selesai dari pemberitahuan singkat oleh ketua OSIS itu para murid perlahan mulai meninggalkan aula.

Ditengah banyaknya murid yang berjalan pergi, ada Anin ditengah-tengah yang tetap memperhatikan Haksa, sedari tadi.

“Nin kantin yuk?” ajak Jana dengan beberapa anak perempuan lain dikelasnya.

“Duluan aja Na, nanti aku nyusul.”

Jana melihat arah pandang Anin, dan akhirnya berakhir mengiyakan lalu pergi bersama yang lain.

Pikiran Haksa kalut, ia marah, ia kesal.

Dengan pandangan yang bahkan ia sendiri tidak yakin apa yang ia pandang, Haksa berjalan dengan cepat keluar dari aula, melewati Anindya yang bahkan tidak ia sadari keberadaannya.

Anin menghela nafas melihat kepergian Haksa.

“Nanti juga baik lagi.” Anin langsung menghadap belakang melihat siapa yang bicara. “Haksa kalo marah emang gitu, diem aja sambil menyendiri, 2 jam kemudian ntar baik lagi.”

“Betul kata Nalen, gak usah khawatir Nin,” kata Renald.

Anindya tersenyum sambil mengangguk menanggapi kawanan Haksa.

Dibelakang ada Jevan dengan 4 orang perempuan yang berjalan mendekati mereka.

“Gila, gue aduin ke menteri pendidikan kena tuh si pak supriyadi,” omelnya sambil merangkul salah satu perempuan yang menjadi korban gurunya tadi.

“Ga bakal mempan by, dah dari sono bentukannya.” itu Jevan, ucapnya sambil mencubit ujung hidung perempuan itu.

“Mau dibawa kemana?” tanya Nalendra pada mereka.

“Bawa ke uks, kasian mereka masih shock. Yang, tolong panggilin anak pmr dong siapatau mereka butuh obat pusing.”

Setelahnya Nalendra langsung pergi mencari diikuti para perempuan tadi dan Jevan ke uks.

Anindya tidak mengenal mereka siapa, tapi bisa diasumsikan kalau sepertinya itu pacarnya Jevan dan Nalendra. Ya sepertinya benar.

“Gak pergi juga Ren?” tanya Anin pada Renald.

“Pergi, tapi ntar lagi,” jawab Renald sambil melihat kebelakang.

Anin ikut melihat kebelakang namun hanya ada anak OSIS, perasaan Renald bukan anak OSIS? Ah, biarlah bukan urusanku, pikir Anin.

“Ya udah, aku duluan kalau gitu,” pamit Anin.

Renald berdehem, “Soal Haksa gausah khawatir, dia baik-baik aja.”

Anindya tersenyum mengiyakan, lalu pamit pergi dengan perasaan yang masih tidak nyaman, yang ada diotaknya saat ini adalah,

dimana Haksa sekarang?

Angkringan; kawan lama.

Acara makan-makan Haksa dan kawanannya malam itu terpaksa terhenti sebentar. Pasalnya, ada kawan lama yang ternyata ikut datang dengan wajah menyebalkan, juga sapaan tidak hangatnya.

“Kenyang gak lo pada?” Tanyanya.

Kalau kalian bertanya dia siapa, dia adalah Aresh.

Renald menatapnya sewot, “Ya namanya makan pasti kenyanglah.”

Angkringan cukup ramai saat itu, tapi tensi panas sangat terasa di meja mereka. Aresh yang datang seorang diri itu mengeluarkan sebatang rokok dan segera menyalakannya. Ia menghisapnya dengan tenang, asapnya ia buang kearah Haksa dan ketiga kawannya, lalu tertawa geli.

“Matiin rokok lo, meja sebelah cewek-cewek liat gak?” Kata Jevan.

Lagi-lagi Aresh tertawa, “Yah gatau gue, oh lo pada juga gak rokok kan? Cih.”

“Apa?”

Aresh menaikkan alisnya.

“Apa mau lo?” Lanjut Haksa.

“Nah gitu dong,” ucap Aresh senang sambil menepuk pundak Haksa. “Depan sono, by one.”

Dan setelahnya Aresh langsung meninggalkan angkringan dengan asap rokoknya yang mengepul, menuju taman yang berada tepat didepan angkringan sana.

“Jangan ikutan,” kata Haksa.

“Enggak, nonton doang,” sahut Jevan.

Nalendra menepuk pundak Haksa, “Jangan kalah, Sa.”

Haksa berjalan duluan ke taman, ada Aresh yang masih berusaha menghabiskan rokoknya dengan cepat disana.

“Eits ngapain rombongan lo ikut?” Tanyanya.

“Nonton.”

“Anjay acara tv kali ah, hahaha.”

Haksa hanya mengangguk-anggukan kepala merespon tawa garing dari Aresh. Apakah dia berusaha menjadi pelawak? Dari awal datang tadi ketawa mulu, pikir Haksa.

“Kasih gue alasan dulu.”

“Hm, Yovan kemarin kalah, jadi kali ini gue yang menangin.”

“Oh, ngaduan?”

“Gak jing, gue inisiatif.”

Haksa tertawa kecil, “Keren juga lo ada rasa inisiatif, gue apresiasi deh.” Ia memberikan tepukan tangan pada Aresh yang dibalas senyum remeh.

“Hahaha thanks, tapi gabutuh.” Aresh mematikan rokoknya. “Dah ah yok mulai, kasian Sonia lama nungguin gue.”

Mendengar nama Sonia entah kenapa haksa menjadi terpancing, dan ya, Aresh tengah tersenyum mengejek melihat haksa yang ekspresinya nampak berubah kala mendengar nama kekasihnya itu.

“Maju sini,” ujar Haksa.

Dan perkelahian diantara mereka pun dimulai. Aresh yang berusaha memberikan tinjuan di tubuh Haksa namun berhasil ditempis. Sedangkan Aresh? Ujung bibirnya sudah duluan mengeluarkan darah hanya dengan sekali bogem dari Haksa.

Hah, sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang. Kedua orang yang dulu bersahabat ini terlihat mengikutsertakan dendam lama mereka. Keduanya tidak ada yang ingin mengalah, karena ini adalah tentang harga diri.

Bugh!

“Bangun jing,” ucap Haksa. “Masa baru segitu lo dah teler.”

“Sialan, sabar sat hidung gue bedarah ni.”

Aresh kembali bangkit dan mereka kembali saling menghantam. Beruntung taman ini sepi, kalau tidak mereka pasti sudah ditangkap satpol pp.

Saat tensi sudah semakin memanas, dan keduanya mulai rakus mencari napas, tiba-tiba ada sebuah panggilan telpon yang berbunyi. Aresh memberikan isyarat pada Haksa dan merogoh saku celananya, lalu mengangkat telpon itu.

“Halo, kenapa Son?” ... “Iyaa ini bentar lagi otw sana.” ... “Iyaa cantik, see you.”

Haksa mendelikkan matanya mendengar pembicaran pasangan itu. Ia pikir setelah Aresh memasukkan ponselnya mereka akan lanjut, ternyata tidak.

“Dah ah,” kata Aresh.

“Lah, lo yang mulai lo juga yang pergi,” sahut Haksa sewot.

“Ya mohon maap aja ni bos, cewe gue lagi nungguin, situ punya cewe ga?” Aresh berucap sarkas sambil memberikan tatapan remeh. “Oh sorry, kan gada hahaha.”

“Tampilan begini lo mau ketemu sonia?”

Aresh mengangguk, “Napa? Iri? Justru dia yang bakal ngobatin gue. Liat noh muka lo mulai biru, pastiin ada yang mau ngobatin.”

Haksa menatap Aresh yang bersiap pergi sehingga ia tidak terlalu memperhatikan dan menghadap lain arah, tapi ternyata..

Bugh!

Sebuah tinjuan dari samping menghantam perut Haksa hingga ia jatuh terlentang.

“Bonus, Sa.”

“Bangsat.” Haksa sekarang berada diatas tanah dengan betis Aresh diatas perutnya.

Aresh tersenyum remeh diatas sana, dan Haksa benci melihat itu.

“Emang gini harusnya dari dulu. Gue diatas dan lo dibawah.” Aresh mengelap-elapkan sepatunya pada baju Haksa seakan itu adalah keset. “Ah, dahlah gue pergi, salam Sonia gak.”

“Assalamu'alaikum,” ucap Haksa.

“Ya ahli kubur.” Lalu diikuti tawa Aresh yang membahana sambil meninggalkan taman.

Haksa duduk dari baringnya, dibersihkannya pakaian yg terdapat banyak pasir juga menyeka sedikit darah yang ada diujung bibir.

“Laki kok curang, cih.” ucap Jevan saat Aresh melewatinya.

“Kalau dengan gitu gue bisa menang, kenapa enggak?” Balas Aresh sambil melewati mereka, berjalan pergi hingga tak terlihat lagi.

“Gila tu bocah,” ucap Nalendra sambil membantu haksa berdiri. Ya benar, Haksa dan kawanannya setuju kalau Aresh memang benar-benar gila.

Mereka berjalan bersama meninggalkan taman dengan topik yang tidak habis pikir dengan tingkah Aresh yang kalau kata Renald seperti anak kecil.

“Lo taruhan apa sama Aresh untuk turnamen nanti?” Tanya Jevan pada Haksa.

“Siapapun yang menang boleh minta apapun sama yang kalah.”

Nalendra menepuk jidatnya, “Hadeh, pantesan sampe cari-cari strategi kita.”

“Tenang Sa, bisa kok. Sama-sama nih kita.” Renald menepuk pundak Haksa memberi ketenangan. “Neo pasti menang, lo percaya gak?”

Haksa mengangguk yakin, “Percaya. Gue percaya sepenuh hati sama tim gue, gak kek si bocah yang trust issue sama timnya.”

Renald terkekeh kecil, “Walaupun basi, tapi kalimat usaha gabakal hianatin hasil itu emang bener kata ajaib.”

Jevan, Nalendra, juga Haksa mengangguk setuju. Perjalanan dari taman kini mengantarkan mereka pada depan angkringan Pak Mo.

“Bubar atau lanjut nongki?” Tanya Nalendra.

“Bubar ajalah daripada diinterogasi Pak Mo,” kata Haksa, karena kalau Pak Mo yang interogasi pasti disertakan ayat suci tentang Tuhan yang benci akan perkelahian. Malah tambah pusing mereka nantinya.

Mereka pun tertawa karena mengerti maksud Haksa.

“Konvoi gas,” ajak Haksa yang diangguki kawanannya.

“Singgah warung nasgor dulu, Sharen nitip,” ujar Jevan.

Renald menatap sipit Jevan, “Jeez, si bucin.”

“Lo belum aja Ren,” kekeh Nalendra.

Ya, Nalendra benar. Semua akan dapat giliran bucin pada waktunya hahaha. Mungkin malam ini adalah Jevan. Besok bisa saja Nalendra, atau mungkin Renald sendiri? Atau malah Haksa?

Mobil; kisah manis lainnya.

Anindya dan Haksa dibawah payung yang sama. Ditemani bau hujan dan dingin yang menerpa. Pipi Anin sedikit memerah, sedang Haksa, jantungnya sedikit terpacu. Keduanya sama-sama bertanya dalam hati. Kenapasih?

Jika saja rintik hujan itu bisa bicara, pasti dia akan berkata, “Dasar muda-mudi, apa mereka tidak pernah jatuh cinta?”

Entahlah, bahkan dari lobby sekolah menuju parkiran terasa panjang.

“Pake motor Sa?” Tanya Anin.

“Lo mau naik motor?”

Anin tertawa kecil, “Engga, gak gitu maksudnya.”

Dibalik tampangnya yang biasa, ada rasa yg ingin membludak. Itu yang haksa rasakan. Mata Anindya selalu membentuk bulan sabit saat tertawa. Manis, cantik, juga tidak baik untuk hatinya.

Haksa tersenyum tipis, “Naik mobil Nin. Tapi kalo lo mau naik motor, gue bisa lain hari.” Katanya sambil membukakan pintu mobil untuk Anin.

Sambutan dari AC mobil tidak cukup meredakan merah rona di wajah Anin. Lain hari kata Haksa, apa dia sedang memikirkan kesempatan selanjutnya? Entah mengapa Anin sedikit bersemangat mendengar kalimat itu.

“Mau dengarin lagu?” Tanya Haksa.

“Boleh.” Jawab Anin.

Sebelah tangan Haksa menjalankan mobil, sedangkan yang sebelah lagi sibuk mencari lagu dari ponsel yang sudah tersambung di radio. Haksa bingung harus memilih lagu apa hingga akhirnya ia random memilih playlist yang terdapat di paling atas.

Sial, yang terputar adalah lagu Berawal dari Tatap yang dinyanyikan Yura Yunita.

Andai kalian melihat betapa lucunya wajah terkejut Haksa, juga tatapan membeku Anin menghadap jalanan saat yang terputar adalah lagu itu. Kedua manusia ini benar-benar lucu.

Kalau boleh jujur, lagu ini bisa dikatakan sangat menggambarkan kisah Haksa yang akhirnya jatuh pada seorang Anindya. Tapi sayang, Haksa masih belum cukup berani. Terlalu banyak kenangan buruk tentang menjalin asmara dikehidupan Haksa dahulu.

Itulah mengapa teman-teman disekitarnya sangat heboh saat tau Haksa kembali jatuh cinta, ah apa terlalu berlebihan? Baiklah, jatuh pada pesona seorang wanita. Itu seperti keajaiban karena Haksa Bagaskara selalu menolak untuk berada didekat perempuan setelah kisahnya dahulu.

“Kau membuatku bahagia Di saat hati ini terluka..”

Haksa langsung menoleh kesamping, ada Anin dengan suara yang sangat kecil mencoba mengikuti lantunan lagu. Tanpa sadar sebuah senyum mengembang dari bibir Haksa.

“Kau membuatku tertawa Di saat hati ini terbawa..”

Ia Kembali menghadap depan, fokus kejalan raya yang basah, ditemani suara manis Anin yang menenangkan suasana.

“Terbawa oleh cintamu untukku Untuk kita..”

Didalam hati Anin merasa puas dengan nyanyiannya.

“Bagus, Anindya suara lo bagus banget.” Puji Haksa.

Anin yang tersadar langsung salah tingkah, “Eh kedengaran ya sa, hahaha terimakasih.”

“Nanti kalo ada waktu biar gue yang gitarin.”

“Wah! serius sa?” Kejut Anin dengan tawaran Haksa tiba-tiba.

“Iya serius Anin, masa main-main aja.”

Untuk kesekian kalinya Anin dibuat terdiam karena kata-kata Haksa.

“Tunggu ya Nin.”

“Iya Haksa.”

Aqua; cemburu.

Selesai dari toilet, Nalendra berjalan menuju kantin yang searah. Ditujunya kulkas dingin itu dan langsung ia borong semua air mineral yang tersisa, juga frestea rasa apel kesukaannya.

Saat ingin menutup pintu kulkas, ada suara yang membuatnya berbalik.

“Yah aquanya habis.”

Nalendra sempat terdiam, orang yang dihadapannya pun terlihat berpikir mengganti pilihannya.

“Ini, ambil aja.” Kata Nalen menyodorkan satu botol aqua.

“Eh gapapa gausah, kalian habis latihan jadi kalian yang lebih perlu.”

“Lo juga habis latihan soal, nih ambil.” Nalendra memegangi botol itu cukup lama, “Ambil Nin, nanti gue diamuk singa gegara lo kehausan.”

“Hah? Oke terimakasih Nalen. Bayar ke kamu?”

“Anjir jangan aku kamu Nin.”

Anin tertawa kecil, “Udah kebiasa len, jadi ini dibayar gak?”

“Gausah Nin gausah, ikhlas gue mah. Nih tambah 1 lagi, dah gue duluan ye.”

“Iyaa, sekali lagi terimakasih Nalendra.”

Nalendra pergi meninggalkan kantin, Anin juga. Namun tanpa Nalendra sadari saat ia berjalan di koridor dekat kantin, sudah ada seorang gadis yang menunggunya dengan tangan terlipat juga mata yang penuh curiga.

“Yang, lagi istirahat juga?” Tanya Nalendra lembut sambil mengusap kepalanya.

“Iya.”

“Hey kenapa jutek gini? Ada yang bikin kamu kesel di padus?”

“Kamu yang bikin kesel Len.”

Nalendra langsung terkejut, “Cella.. aku salah apa sayang?”

“Nin Anin tuh siapa? Kamu beneran niat nambah cewe ya? Len aku kurang apa.. ?” Serbu Cella dengan banyak pertanyaan.

Nalendra tersenyum melihat gadisnya yang kedapatan tengah cemburu, selangkah lebih dekat Nalendra langsung membawa Cella kedalam rengkuhannya.

“Sayang, kamu gak ada kurangnya, kalau ada yang bilang gitu biar aku yang maju. Kamu yang terbaik, gaada pelukan selain mama yang senyaman kamu. Kamu tetap tempat aku pulang Cella.”

“Nalendra, bisa-bisanya kamu bikin aku mau nangis pas aku lagi kesel sama kamu.” Kata Cella sambil membalas pelukan Nalen. “Tapi tetep aja! Anin tuh siapa! Harus jujur kalau enggak aku gelitikin!”

Nalendra tertawa gemas di ceruk leher Cella, “Anin itu gebetan si Haksa yang baru, yang.”

“WHAT?!!” Kejut Cella sampai melepas pelukan mereka. “Haksa.. udah suka sama cewe?!”

“Heh bahasanya.”

“Eh maap maksudnya, JADI HAKSA UDAH BUKA HATI?”

“Hahaha iya.” Jawab Nalen sambil merapikan rambut Cella, “Dan si Anin ini yang berhasil, padahal awalnya si Haksa denial, tapi yang namanya takdir mah gaada yang tau.”

“Wih keren juga si Anin ini.” Kata Cella lalu ia beralih menatap kantung plastik berisi minuman ditangan Nalen. “Kamu tadi ngasih dia minum?”

“Iya, aqua soalnya tadi habis aku borong. Kalau Haksa tau ntar aku di amuk.”

“Terus aku enggak ada?” Sinis Cella.

“Kamu mah special yang. Aku bisa kasih orang lain minuman, tapi kalo frestea apel, aku cuma mau bagi sama kamu.” Kata Nalendra sambil memberikan sebotol minuman favoritnya pada Cella.”

“Frestea apel gak ada lawan pokoknya!” Seru Cella membuat Nalen terkekeh.

“Dah yuk kedepan kita beli cilor.” Kata Nalendra sambil merangkul pundak Cella.

Ruang guru; cukup tau.


Haksa sampai diruang guru. Disana sudah ada Pak Roby sang pembina eskul bola yang duduk di sofa, menunggunya datang. Haksa dipersilahkan duduk dan mereka langsung membicarakan sesuatu.

Kalau kalian ingin tau, yang mereka bicarakan adalah tentang pendaftaran dan administrasi pertandingan bola yang sebentar lagi akan mereka ikuti. Pembicaraan mereka sangat fokus, sampai Haksa tidak tahu bapak atau ibu siapa saja yang berlalu lalang disana.

Tapi ketika ada yang mengetuk pintu ruang guru, atensinya teralih. Bibirnya sedikit terangkat, ada rasa yang sedikit membuncah didalam diri Haksa. Gadis itu, teramat sopan datang dengan permisi dan menanyakan dimana letak meja Pak Huda pada seorang guru yang mejanya berada didekat pintu.

Senyum manisnya terus mengembang, matanya juga sedikit menghilang seperti bulan sabit. Cantik, manis, itu yang Haksa katakan dalam hati.

“Sore ini datang latihan semua 'kan?”

Haksa langsung tersadar dan mengembalikan atensinya, “Hadir semua pak, harus.”

“Bagus, kita harus ujicoba strategi.” Kata Pak Roby sambil membaca berkas pendaftaran.

“Pak, ada kemungkinan kita bisa ganti strategi?”

“Bisa Haksa.” Haksa sedikit mengangkat bibirnya.

“Bisa gila sayanya.” Kata Pak Roby yang membuat sunggingan Haksa jatuh. “Kenapa?”

“Strategi kita bocor pak, dan tim lawan tau.”

Pak Roby tampak terkejut, lalu ia berfikir sejenak. “Kalau begitu kita harus cari cara untuk menutup celah akses lawan mengacau strategi kita. Waktu kita sisa sedikit, daripada strategi baru lebih baik kita yang cari tau celah dan menutupnya.”

Haksa mengangguk yakin, bebannya sedikit terangkat. Saat Pak Roby yang kembali fokus pada berkas pendaftaran, disaat itu juga Haksa mencoba mencuri pandang.

Gadis itu sedang berjalan keluar ruang guru sambil terus membungkukkan tubuhnya, menyapa para guru dengan sopan dengan senyum manis diwajah.

Ah, pribadi yang sangat baik. Haksa suka.

Sampai si gadis sudah keluar dari ruang guru, sampai situ juga Haksa masih betah memperhatikannya. Sayang sekali ia terlambat, pikir Haksa. Haksa bukan lelaki yang tidak tahu malu sampai berani mengganggu hubungan orang lain demi keegoisannya. Tidak.

Cukup tau. Kalau kata Nadin Amizah, biar aku yang mengemban cinta. Hahaha apa sekarang Haksa sedang memakan omongannya sendiri?

Apa Haksa terjatuh?

Ternyata Bagaskara tidak cukup kuat. Nabastala berhasil membuatnya jatuh walau bahkan dia tidak melakukan apa-apa. Perihal bersatu? Ya.. itu dia kekhawatiran Haksa.

Haksa dengan pikirannya, dan Anindya dengan prasangkanya.

Anin sadar betul kalau yang sedang berbicara dengan Pak Roby di ruang guru tadi adalah Haksa. Kenapa? Karena Haksa yang memperhatikan Anin dengan kentara berbuatnya berprasangka yang tidak-tidak.

Bajuku aneh? Diwajahku ada sesuatu? Apa rambutku berantakan?

Dan semua prasangka lainnya, tapi ada sebuah pertanyaan yang paling membuatnya penasaran.

“Kenapa jantungku berdetak lebih cepat pas tau Haksa memperhatikanku?”

Kantin; kisah manis.


“Aelah masih SMA dah lagak banget jadi pembully.” Kata Renald sambil menggelengkan kepala.

“Harusnya tadi lo ceramahin Ren.” Saran Nalen sambil berdiri. “Dah ah gue mau pesen, makan gak lo pada.”

“Makanlah.” Sahut mereka berbarengan.

Ah sampai lupa kalau Anin dan Jana masih saja berdiam diri di konter bakso itu. Ya lagipula tidak mungkin juga mereka tiba-tiba lewat disaat kejadian tadi terjadi.

Anin menghela napasnya pelan. Semangkok bakso sudah ditangan keduanya. “Ayok Nin?” Tanya Jana yang dijawab anggukan oleh Anin.

dan,

“AYAM BEBEK KAMBING!” Teriak Anin. Ia sangat terkejut saat mendapati haksa ada didepannya saat berbalik.

“Hampir aja tumpah Nin.” Kata Haksa sambil membantu memegang mangkok Anin.

Belum ada pergerakan, Anin dan Haksa masih sama-sama menyelam, memandang satu sama lain. Ada sesuatu yang menarik didalam mata lawan mereka, tapi sayang keduanya lupa kalau masih berada dikantin.

“OHOK OHOKK!! Ya Allah gatal tenggorokan gue.” Ya siapa lagi kalo bukan Nalendra? hahaha.

Haksa dan Anin langsung tersadar dan berakhir canggung.

“E-eh iya, aduh maaf Haksa tangan kamu jadi kena kuah panas.”

“Gapapa, gak kerasa.” Ucap Haksa tenang.

“A-ah oke, kalo gitu aku duluan ya sama Jana. Terimakasih Haksa.”

Kalau kalian tahu, terimakasih yang dimaksud Anin bukan hanya sekedar karena sudah menyelamatkan mangkok baksonya, tapi juga karena sudah menyelamatkan adik kelas lelaki tadi. Terimakasih karena sudah berani membuat keadaan menjadi berbalik.

Haksa tersenyum kecil, “Sama-sama.”

Anin dan Jana sudah berjalan melewati haksa dan kawanannya, namun namanya kembali lagi dipanggil.

“Anin.” Panggil Haksa.

Anin segera berbalik. “Kenapa?”

“Cuma mau ngasih tau kalau yang bener itu ayam bebek angsa, bukan ayam bebek kambing.”

“Pfftt- BWAHAHAHAHA.” Tawa Nalendra besar.

Tidak hanya Nalen, tapi juga Renald, Jevan, Jana, abang tukang bakso, juga beberapa murid yang ada disana.

Sial, Anin sangat malu sampai-sampai pipinya menjadi kemerahan.

“Yaampun iya salah maaf hahaha.” Kata Anin sambil tertawa dan menunduk malu.

ah, matanya membentuk bulan sabit saat tertawa.

Kantin; cerita manis.


“Aelah masih SMA dah lagak banget jadi pembully.” Kata Renald sambil menggelengkan kepala.

“Harusnya tadi lo ceramahin Ren.” Saran Nalen sambil berdiri. “Dah ah gue mau pesen, makan gak lo pada.”

“Makanlah.” sahut mereka berbarengan.

Ah sampai lupa kalau Anin dan Jana masih saja berdiam diri di konter bakso itu. Ya lagipula tidak mungkin juga mereka tiba-tiba lewat disaat kejadian tadi terjadi.

Anin menghela napasnya pelan. Semangkok bakso sudah ditangan keduanya. “Ayok Nin?” Tanya Jana yang dijawab anggukan oleh Anin.

dan,

“AYAM BEBEK KAMBING!” Teriak Anin. Ia sangat terkejut saat mendapati haksa ada didepannya saat berbalik.

“Hampir aja tumpah Nin.” Kata Haksa sambil membantu memegang mangkok Anin.

Belum ada pergerakan, Anin dan Haksa masih sama-sama menyelam, memandang satu sama lain. Ada sesuatu yang menarik didalam mata lawan mereka, tapi sayang keduanya lupa kalau masih berada dikantin.

“OHOK OHOKK!! Ya Allah gatal tenggorokan gue.” Ya siapa lagi kalo bukan Nalendra? hahaha.

Haksa dan Anin langsung tersadar dan berakhir canggung.

“E-eh iya, aduh maaf Haksa tangan kamu jadi kena kuah panas.”

“Gapapa, gak kerasa.” Ucap Haksa tenang.

“A-ah oke, kalo gitu aku duluan ya sama Jana. Terimakasih Haksa.”

Kalau kalian tahu, terimakasih yang dimaksud Anin bukan hanya sekedar karena sudah menyelamatkan mangkok baksonya, tapi juga karena sudah menyelamatkan adik kelas lelaki tadi. Terimakasih karena sudah berani membuat keadaan menjadi berbalik.

Haksa tersenyum kecil, “Sama-sama.”

Anin dan Jana sudah berjalan melewati haksa dan kawanannya, namun namanya kembali lagi dipanggil.

“Anin.” Panggil Haksa.

Anin segera berbalik. “Kenapa?”

“Cuma mau ngasih tau kalau yang bener itu ayam bebek angsa, bukan ayam bebek kambing.”

“Pfftt- BWAHAHAHAHA.” Tawa Nalendra besar.

Tidak hanya Nalen, tapi juga Renald, Jevan, Jana, abang tukang bakso, juga beberapa murid yang ada disana.

Sial, Anin sangat malu sampai-sampai pipinya menjadi kemerahan.

“Yaampun iya salah maaf hahaha.” Kata Anin sambil tertawa dan menunduk malu.

ah, matanya membentuk bulan sabit saat tertawa.

Kantin; kisah manis.


“Aelah masih SMA dah lagak banget jadi pembully.” Kata Renald sambil menggelengkan kepala.

“Harusnya tadi lo ceramahin Ren.” Saran Nalen sambil berdiri. “Dah ah gue mau pesen, makan gak lo pada.”

“Makanlah.” sahut mereka berbarengan.

Ah sampai lupa kalau Anin dan Jana masih saja berdiam diri di konter bakso itu. Ya lagipula tidak mungkin juga mereka tiba-tiba lewat disaat kejadian tadi terjadi.

Anin menghela napasnya pelan. Semangkok bakso sudah ditangan keduanya. “Ayok Nin?” Tanya Jana yang dijawab anggukan oleh Anin.

dan,

“AYAM BEBEK KAMBING!” Teriak Anin. Ia sangat terkejut saat mendapati haksa ada didepannya saat berbalik.

“Hampir aja tumpah Nin.” Kata Haksa sambil membantu memegang mangkok Anin.

Belum ada pergerakan, Anin dan Haksa masih sama-sama menyelam, memandang satu sama lain. Ada sesuatu yang menarik didalam mata lawan mereka, tapi sayang keduanya lupa kalau masih berada dikantin.

“OHOK OHOKK!! Ya Allah gatal tenggorokan gue.” Ya siapa lagi kalo bukan Nalendra? hahaha.

Haksa dan Anin langsung tersadar dan berakhir canggung.

“E-eh iya, aduh maaf Haksa tangan kamu jadi kena kuah panas.”

“Gapapa, gak kerasa.” Ucap Haksa tenang.

“A-ah oke, kalo gitu aku duluan ya sama Jana. Terimakasih Haksa.”

Kalau kalian tahu, terimakasih yang dimaksud Anin bukan hanya sekedar karena sudah menyelamatkan mangkok baksonya, tapi juga karena sudah menyelamatkan adik kelas lelaki tadi. Terimakasih karena sudah berani membuat keadaan menjadi berbalik.

Haksa tersenyum kecil, “Sama-sama.”

Anin dan Jana sudah berjalan melewati haksa dan kawanannya, namun namanya kembali lagi dipanggil.

“Anin.” Panggil Haksa.

Anin segera berbalik. “Kenapa?”

“Cuma mau ngasih tau kalau yang bener itu ayam bebek angsa, bukan ayam bebek kambing.”

“Pfftt- BWAHAHAHAHA.” Tawa Nalendra besar.

Tidak hanya Nalen, tapi juga Renald, Jevan, Jana, abang tukang bakso, juga beberapa murid yang ada disana.

Sial, Anin sangat malu sampai-sampai pipinya menjadi kemerahan.

“Yaampun iya salah maaf hahaha.” Kata Anin sambil tertawa dan menunduk malu.

ah, matanya membentuk bulan sabit saat tertawa.