Momen; nyaman bersamamu.
Entahlah ini malam apa, entah juga sudah berapa hari sejak Haksa dan Anindya resmi berpacaran, entah sudah berapa banyak gombalan dan kata manis yang Haksa berikan pada Anindya.
Tidak terasa, berdua saja, tapi dunia sudah seakan jadi tempat paling indah.
Pasangan baru, bener-bener lagi dimabuk cinta!
Tadi, mereka habis dari angkringan Pak Mo. Tempat biasa Haksa dan kawanannya berkumpul kalau malam. Tadi, Haksa dan Anindya makan-makan disana bersama kawan-kawan yang lain. Jevan dan Sharen, Nalendra dan Cella, Renald dan Kiara, dan Jana yang sendiri.
Gak kok, Jana gak merasa risih. Toh, mereka semua berteman. Tapi tak lama setelahnya, ada Tantra yang datang ikut bergabung bersama mereka. Alhasil jadi tambah rame!
“Woy PBJ Haksa sama Anin full seminggu ini!” seru Nalendra. “Kenyang kita everybodehhhh!”
Semua yang disana berteriak menyoraki Haksa dan Anin. Pada senang karena agenda traktiran ini bakal terjadi selama seminggu full, kata Nalendra sih.
Perkataan Nalen itu membuat Haksa menggelengkan kepala tidak percaya dan Anindya yang tertawa sedari tadi.
“Iya traktirannya hari ini, sisanya makan angin,” kata Haksa.
Begitulah tadi pada saat di angkringan Pak Mo. Semuanya senang dan banyak tawa yang mengembang. Acara makan-makan itu memang Haksa yang merencanakan, anggap aja syukuran kata Haksa supaya hubungan dia dan Anindya menjadi langgeng.
Ada-ada aja tapi ada benernya juga, pikir Anin.
“Ayo nyanyi, Sa,” pinta Anindya.
Haksa yang memang sedari tadi sedang memainkan gitarnya itu tersenyum mengiyakan. Tatapan si gadis tidak lepas darinya yang mulai memetik gitar.
Dinginnya malam, hembusan angin malam, di atas kap mobil keduanya duduk, menghadap kearah cahaya dari pemukiman warga.
Mereka berdua lagi ada di daerah Bandung atas. Sedang city light kalau kata orang-orang.
Aku ingin kau selalu ada disini
Tuk temani, hari yang terus berganti
Karena aku tak pernah mau tuk sendiri
Raga dan jiwaku nyaman, bersamamu.
Antara pagi dan kau, itu judul lagu yang dinyanyikan Haksa untuk Anindya. Nama bandnya Daun Jatuh, band kesukaan Haksa karena lagu mereka yang mempunyai lirik sederhana, tidak neko-neko.
Haksa memang selalu suka sama sesuatu yang sederhana, Anindya contohnya.
“Bagus banget!” seru Anindya. “Lagunya udah bagus, dinyanyiin kamu jadi tambah bagus!”
Si lelaki tersenyum malu, “Aelah bisa aja nih ngasih pujiannya, si manis.”
Walau sudah sering bernyanyi dihadapan Anindya, Haksa tetap saja merasa malu kalau dipujinya. Apa ya? Pokoknya beda aja kalau yang memuji itu adalah orang yang kamu sukai, orang yang kamu sayang. Pujiannya bukan masuk ke telinga tapi masuk ke hati. Kalau kata Haksa sih, hahaha.
“Nin, main sambung kata hayuuuu,” ajak Haksa.
“Ayoo!” setuju Anindya. “Siapa yang duluan?”
“Kamu aja, kata awalnya ‘aku’.”
Anindya tampak berpikir sebentar sebelum kembali berkata.
“Emm, aku… suka… Haksa!”
“Haksa... suka Anindya, duluan,” sahut si lelaki.
“Duluan..” Anindya tampak berpikir lama. “Duluan apa Haksa? Ah, bentar aku bingung! Kenapa pake ada kata duluan sih?!”
Anindya terus mengoceh dengan gemas, setidaknya itu yang ada dipandangan Haksa. Ia protes karena Haksa tadi memakai kata duluan sebagai akhir kalimat.
“Ada sayang,” kata Haksa. “Contohnya, duluan pak, bu, permisi ya, sayanya jangan dimakan.”
“Ah, maneh mah aya-aya wae!” protes Anindya tapi sambil tertawa ngakak karena mendengar contoh dari Haksa. (Ah, kamu itu ada-ada aja!)
Haksa juga ikut tertawa. Hal yang Haksa sadari setelah pacaran sama Anin adalah, ketika Anindya keceplosan berbicara dengan bahasa sunda, itu adalah hal yang gemas. Karena selama ini Anin selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baku, yang menjadikannya ciri khas Anin.
Sehingga dulu waktu Anin memanggilnya dengan kata ‘kamu’ sudah berhasil membuat Haksa bahagia semalaman.
“Kunaon? Betul kan?” tanya Haksa dengan nada menggoda. (Kenapa?)
“Kumaha maneh we,” jawab Anin dengan sisa ketawa. (gimana kamu aja.)
Malam itu, di atas kap mobil milik Haksa, keduanya seperti menjadi orang yang paling bahagia. Banyaknya kendaraan yang lalu lalang di dekat parkir mobil Haksa sama sekali tidak menganggu tawa mereka.
Dulu, waktu masih pendekatan, kalian pasti tau kan betapa lambatnya pergerakan Haksa? Banyak yang ia pikirkan saat itu. Tentang traumanya sama jatuh cinta, Anindya yang ia kira sudah pacaran sama Lintang, Anindya yang selalu ada didekat Lintang.
Tapi kalau melihat kebelakang, Haksa bersyukur karena ia tidak menyerah. Rasanya Haksa ingin kembali ke masa lalu, pergi menemui dirinya sambil bilang, “Keren euy gak nyerah. Tenang aja, nanti dimasa depan kamu bakal jadi pacarnya Anindya!”
Kalau tentang Anindya, seperti yang kalian baca di cerita ini. Dia itu gadis yang bisa dikatakan polos, belum pernah berpacaran, tapi kalau suka sama orang pernah sekali. Dulu waktu SMP, samar-samar Anindya ingat ia pernah menyukai kakak kelasnya.
Alasannya sangat sederhana, karena dia membantu Anin memberesi buku-buku yang jatuh dari tangan Anin. Ya, tapi itu cuma rasa suka sesaat.
Kemudian di bangku akhir SMA, ada lelaki bernama Haksa Bagaskara yang tiba-tiba mengambil atensinya. Anin kembali samar merasakan perasaan aneh dihati.
Untungnya semesta benar-benar membantu mereka. Mengabulkan semua doa Haksa dan Anindya yang meminta untuk bersatu. Terdengar berlebihan tapi memang begitu adanya.
“Kita baru ada interaksi itu pas kelas 12, ya?” tanya Anin.
“Iya,” Jawab Haksa. “Kamu ingatnya dimana?”
“Waktu dilapangan belakang, yang kamu berantem sama Yovan terus aku obatin kamu di UKS.”
Haksa mengangguk tersenyum, “Tau gak, manis? Sehari sebelumnya kita ketemu.”
Anin kaget mendengarnya, “Serius? Dimana, Sa?”
“Di café, pas sore,” Jelas Haksa sambil mengusak rambut Anin. “Kamu lagi belajar keknya disana. Terus pas mau bayar, kita bayar sama-sama. Ingat gak sama anak kecil yang nangis itu?”
“Oh iya? Iyaaa inget!” seru Anin semangat. “Kamu yang bayar disamping aku ya berarti?”
“Iya sayang, itu aku.”
“Aku gak terlalu merhatiin kamu, Sa,” papar Anin. “Soalnya anak kecil yang nangis itu beneran bikin aku kalang kabut, jadinya gak merhatiin sekitar, hahaha.”
Haksa juga ikut tertawa dengan Anin.
“Aku hampir tau nama kamu sore itu,” kata Haksa yang kini memainkan jemari Anin. “Tapi sayang, si anak kecil nangis lagi, jadi gak dengar nama kamu dari penjaga kasir.”
Anindya tersenyum, “Jadinya, tau nama aku dari mana?”
“Dari Nalendra, pastinya. Kamu beneran gak kelihatan, Nin. Bahkan aku tau ada kamu pas kelas 12.”
Anin tertawa kecil, “Aku sembunyi, Sa.”
“Sengaja ya?”
“Sengaja apa?” tanya Anin.
“Sengaja sembunyi, terus datangnya pas aku udah siap jatuh cinta lagi.”
Anin terus tersenyum, “Iya kayaknya, biar pas kamu sudah siap jatuh cinta, jatuhnya sama aku.”
Haksa mencubit gemas hidung Anin, “Pinter ngegombal euy, si manis!
“Hahaha, belajar dari kamu!”
Sudah mau jam 10 malam. Haksa mengantarkan Anindya pulang, tapi sekarang lagi terjebak lampu merah. Haksa menyetir dengan 1 tangan, tangan satunya lagi untuk menggenggam tangan si gadis.
Anindya sudah bilang agar Haksa menyetir dengan dua tangan, tapi Haksa bilang, kasian tangan Anin kedinginan, jadi biar tangan dia bantu hangatin.
Anindya sampai terperangah, tapi gak nolak juga.
“Nanti,” kata Haksa. “kalau ada yang bilang gak suka sama kamu, bilang sama aku.”
“Kenapa emangnya?”
“Mau aku bilang, makasih, makasiiih banget,” kata Haksa tersenyum. “Makasih, soalnya kalau kamu suka pun belum tentu Anin mau sama kamu.”
Anin tertawa kecil, “Iyaaa, soalnya aku maunya sama kamu!”
“Aku tau, Anin,” kata Haksa sambil mengusak rambut Anin cepat.
“Sok tau terusssss.”
Haksa terkekeh, “Beneran tau, Anin. Pohon mangga rumahmu aja tau, bude tau, Lintang tau, semua teman-temanku tau, Pak Ateng satpam sekolah tau, Pak Mo tau,” Haksa mengambil napas sebentar. “Oh, bakso yang suka kita makan juga tau.”
“Hahaha kok bisa baksonya tau?”
“Udah aku bisikin, sayang,” kata Haksa mengelus tangan Anin. “Kan aku pernah bilang, semua mahluk hidup harus tau tentang kamu.”
“Bakso mah bukan mahluk hidup, Haksa sayang,” kata Anin sambil tertawa.
“Kan dulunya pernah hidup, Anindya sayang.”
“Ah, maneh mah emang dasarnya pengen pamer!”
“Tenang, aku belum pernah pamerin kamu sama setan,” kata Haksa. “Mau coba?”
“JANGAN GAMAUUUUU!!”
Haksa tertawa senang, Anindya juga, sampai-sampai airmatanya mau keluar karena asik ketawa malam itu.