Malam ajaib; waktu selama-lamanya.
Haksa kalut malam itu. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang gila-gilaan untuk segera mencapai rumah Anindya, sebelum ia nekat pergi ke Bogor tanpa arah tujuan.
Anin dimana, gue khawatir.
Ia mendesah kecewa saat terhenti di lampu merah. Tangannya kembali berkutik pada ponsel untuk menelpon Anindya namun tidak diangkat. Haksa mengacak rambutnya asal, terlalu banyak rasa takut di relung hatinya.
Haksa bahkan belum memiliki, apakah ia harus duluan merasakan kehilangan?
Mobil Haksa memasuki kawasan rumah Anin. Ia memarkirkan mobil dengan harapan yang penuh karena melihat lampu teras depan rumah Anindya menyala.
Saat Haksa memasuki pekarangan rumah, tetiba keluar seorang gadis yang membawa kantung plastik lalu membuangnya di tempat sampah.
“Anindya!!!”
Haksa langsung berlari dan membawa Anindya kedekapannya.
“Anin kemana aja? Gue kalut, Nin.”
Sang gadis tersentak karena pelukan tiba-tiba itu. Jantung Haksa berdegup cepat, dadanya juga naik turun sehingga membuat Anin memberikan usapan yang menenangkan.
“Disini Haksa,” ucap Anindya. “Aku gak kemana-mana.”
Sang gadis menepuk-nepuk pundak si lelaki, memberikan ketenangan ditengah banyaknya rasa campur aduk didalam diri Haksa.
“Kamu takut aku pergi?”
“Mau tau kebohongan?” tanya Haksa. “Gak, Nin. Gue gak takut lo pergi, dan itu kebohongan.”
Anindya tersenyum didalam pelukan, “Maaf hari ini aku menghilang, aku ketemu sama keluargaku.”
Peluk mereka terlepas, mereka saling tatap, dengan mata Haksa yang terasa lega dan senyum Anindya yang terus mengembang.
“Gue kira lo pindah Bogor, Nin.”
“Engga, Sa. Kak Dery yang pindah kesana, aku sama bude tetap di Bandung.”
Keduanya saling memperhatikan satu sama lain, sampai tiba-tiba Haksa menyampingkan tubuhnya sambil menyeka pipi.
“Hey, kenapa nangis?” tanya Anindya sambil maju mendekat.
Haksa menengadah keatas sambil tertawa kecil, “Maaf, Nin. Gak seharusnya lo liat gue nangis.”
“Kenapa enggak?” balas Anindya. “Sini aku peluk lagi, nangisnya dipelukan aku aja ya?”
Haksa tertawa namun tidak menolak. Hey, siapa yang mengajari gadis ini menggombal?
Tentu dia belajar dari kamu, Haksa.
“Gak ada yang salah sama nangis, Sa.” Anindya memeluk Haksa. “Semua orang punya hak yang sama untuk nangis, mau cewe atau cowo, kalau mau nangis ya nangis aja.”
Merasakan pundaknya mulai basah membuat mata Anindya ikut berair. Ada apa dengan Haksa?
“Seharian ini gue takut, Nin. Tentang lo yang mau pindah kota selalu ngehantuin pikiran gue, lo yang menghilang, lo yang gada kabar.” Haksa mengeratkan pelukannya sesaat. “Gue takut kehilangan lo, Nin.”
“Maaf sudah bikin kamu khawatir hari ini,” ucap Anindya yang airmatanya ikut keluar. “Jangan takut Haksa, aku gak pergi, tetap di Bandung, tetap di rumah ini sama bude, tetap sama kamu juga kalau kamu mau.”
Haksa mengusak rambut Anindya, “Mau, Nin. Apapun kalo sama lo, gue akan selalu mau.”
“Haksa tau? Kalau ngomongnya kayak gini, kayak orang lagi pacaran.”
“Mau?” tanya Haksa. “Ayo kalau gitu!”
Anindya tertawa kecil, “Ada masa percobaannya?”
“Ga ada, kalo sama gue, berarti harus dalam waktu selama-lamanya.”
Anindya tertawa, Haksa juga.
“Yaudah ayo!” kata Anin.
“Serius Nin?!” tanya Haksa dengan mata membulat, “Ah, bentar dulu!”
Ia berjalan ke pinggir pekarangan rumah Anindya. Diambilnya buah mangga yang sudah jatuh didalam kantung kresek yang diikat didahan pohon. Itu pohon mangga punya bude, lagi musimnya makanya pada dipakain kantung kresek.
Haksa berjalan kembali menuju hadapan Anindya.
“Anindya, ayo pacaran sama gue,” kata Haksa sambil menyodorkan mangga didalam kantung kresek. “Gue emang gak bisa janjiin semua hari bahagia, tapi kalo lo lagi gak baik-baik aja, gue siap disana nemenin lo.”
Si gadis tersenyum amat lebar sampai matanya kembali berair. “Diterima!” kata Anindya sambil menerima mangga itu.
“Haaaaahhh!!” Haksa berteriak seperti hilang akal.
Ia dan Anindya, resmi berpacaran? Akh, Haksa pasti menjadi gila sekarang.
“Woi pohon mangga!” teriak Haksa sambil menunjuk pohon mangga tadi. “Kenalin, gue Haksa, pacarnya Anindya!”
Si gadis membulatkan matanya, “Heh ngapain?!”
Sedangkan si lelaki tersenyum bangga menghadapnya, “Lagi pamer, Nin. Semua mahluk hidup harus tau kalo sekarang lo punya gue.”
“Emang ya, kamu tuh suka pamer!” tukas Anindya.
Ya, dari dulu juga Haksa sudah sering chat yang berujung mau pamer pada semua orang. Mau pamer kalau gadis yang namanya Anindya itu ada di dekat dia karena memang Haksa yang mau. Haksa mau Anindya selalu berada didekatnya. Dan Anindya juga sama.
“Sayang, Anindya,” kata Haksa. “Dunia kalo gak tau kamu, sayang banget. Dunia harus tau, tapi yang milikin cuma aku.”
Anindya tertegun mendengarnya. Haksa tiba-tiba mengubah bahasa menjadi aku-kamu. Rasanya sedikit menggelitik mendengarnya. Haksa dengan kata baku seperti itu, tidak baik untuk jantung Anin.
“Iya, Haksa, dunia kalau gak kenal sama kamu juga sayang banget,” jelas Anindya dengan senyum hangat.
“Iya sayang banget, Nin. Tapi aku sayangnya cuma sama kamu,” jujur Haksa. “Dari dulu.”
“Aaaaaa ini kenapa jadi gombal gini?!”
Anindya tidak tahan, bukan karena merasa jijik. Tapi, ah wajahnya sudah memerah, sangat! Kalau begini terus, ia pasti akan berubah jadi kepiting rebus.
Stop Haksa! Jangan buat aku semakin jatuh!
“Wah, naha ieu anu bobogohan raket pisan?” (Wah, kenapa ini yang pacaran pada mesra banget?)
Anindya dan Haksa sama-sama menoleh ke teras. Ada bude disana yang sedang menonton keduanya dengan tangan terlipat dan senyum yang penuh menggoda.
“Aaaaa bude kenapa disanaaaa? Anin maluuuuuu.”
Haksa dan bude tertawa melihat Anin yang kehilangan pertahanannya sampai berjalan-jalan memutari pekarangan rumah. Anindya kalau sedang salah tingkah, lucu, itu yang Haksa pikirkan.
Haksa berjalan mendekat ke bude Anin, “Selamat malam sabtu bude, kenalin, Haksa.”
“Meni kasep pisan si Haksa,” kata bude sambil menepuk pundak Haksa. “Anin ayo sini, ngapain masih mutar-mutar gitu?” (Ganteng banget si Haksa)
Anindya yang merasa namanya dipanggil berjalan menuju keduanya dengan kepala tertunduk. Ah, lucu sekali! Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sangat merah itu.
“Loh kok ada mangga?” tanya bude melihat tangan Anindya.
“Tuh, tanya ke dia bude!” seru Anin sambil menunjuk Haksa.
“Maaf bude, Haksa belum izin ngambil mangganya,” kata Haksa sambil membungkuk meminta maaf. “Tadi mau nembak Anin, tapi masa ga ada seserahannya? Yaudah Haksa nembak Aninnya pake mangga bude yang udah mateng aja.”
Semuanya ketawa, apalagi bude yang mendengar.
“Aya-aya wae si Haksa nembak pakai mangga segala!” kata bude sambil terus tertawa. “Terus itu seserahan, kayak orang mau lamaran!”
“Tadi juga pamer sama pohon mangga bude!” adu Anindya.
Haksa menatap Anindya, seperti mengatakan, yang itu jangan dikasih tau sayang! Biar kita berdua aja.
Malam sabtu itu, rumah Anindya dan bude jadi ramai hanya karena kedatangan Haksa. Malam sabtu itu, ada banyak kekhawatiran dan rasa senang yang melebur. Malam sabtu itu, Haksa dan Anindya resmi berpacaran.
“Ayo masuk kedalam,” ajak bude. “Mangganya siniin, Nin. Biar bude potongin.”
Semuanya masuk kedalam rumah. Bude, Anindya, dan Haksa. Kalau malam sabtu itu ada peringkat orang terbahagia, Haksa dan Anindya ada diurutan pertama.
Semuanya berjalan dengan tidak terduga. Rasa khawatir itu berubah jadi bahagia yang belum berujung. Setidaknya untuk malam ini, untuk mereka.
Walau nyatanya, ada hati yang kecewa menyaksikan semua kejadian tadi dengan lapang dada. Lintang, ia menonton semua kejadian tadi dari balik mobil Haksa. Rencananya gagal, kue yang sudah ia pesan terpaksa berakhir di tempat sampah.
Lintang dan Anindya memang mempunyai rencana ingin bertemu malam ini. Tapi semua sudah berakhir, untuk Lintang.
Semua rasa yang ia pupuk selama ini mendapat balasan pahit. Patah hati pertama Lintang, dan sakitnya luar biasa.
Ia kembali kerumahnya dengan airmata yang sesekali menetes.
Anindya bahagia, tapi bukan dengannya, dan Lintang dipaksa untuk ikhlas.
Malam sabtu yang tak terduga untuk semua orang.