Malam rabu; Lintang dan rasa.


Belakangan ini semuanya tidak baik-baik saja. Baik hari yang berganti maupun lintang yang patah hati, rasanya gak ada yang membantu.

Kalau dulu Lintang pernah menertawakan lelaki yang sedang galau, sekarang ia yakin bahwa orang itu juga sedang menertawakannya.

Patah hati itu rasanya enggak enak ternyata.

Dan itu yang lintang rasakan sekarang.

“Halo bunda? Jadi kapan pulangnya?” tanya Lintang yang sedang bertelponan dengan ibunya.

“2 hari lagi ya, dek,” jawab bunda lembut. “Kamu lagi ngapain?”

“Rebahan doang bun, ntar lagi tidur kayaknya.”

Lintang menatap langit-langit kamarnya. Rumah jadi sangat sepi karena bundanya yang sedang pergi keluar kota untuk mengunjungi kakaknya yang sedang ngekost kuliah.

Kalau Ayah Lintang, dia kerjanya di pulau Kalimantan. Ketemunya cuma setahun 4 kali, tapi tetap dia ayah yang baik kata Lintang. Walau rumahnya kadang tidak terasa seperti rumah.

“Kenapa, Lintang? Ada yang mau diceritain sama bunda?”

“Gapapa bun, capek aja.”

Bunda tersenyum diujung sana, “Dek, bunda tau, bunda dengerin kok.”

Napas berat terhela dari Lintang. Bundanya itu memang selalu tau dan bisa membujuknya.

“Anin punya pacar, bun.”

“Anindya?”

“Iya,” jawab Lintang pelan.

“Lintang belum sempat bilang, ya?”

“Belum bun,” kata Lintang. “Lagian walau Lintang bilang pun belum tentu Anin mau, karena dari awal dia sukanya sama Haksa, bukan sama Lintang.”

“Kok bisa tau gitu?”

“Keliatan, bunda. Anin nganggap Lintang cuma sahabat, temen dia dari kecil. Beda kalau sama Haksa.”

“Anak bunda lagi ngerasain patah hati, ya? Gapapa kok kalau sedih deeekkk,” Kata bunda lembut. “Andai bunda disana, mau bunda pelukkkk yang lama.”

Lintang tertawa kecil, “Gak sedih, bunda. Cuma, kecewa?”

“Sedih, kecewa, marah, nangis, atau bahkan teriak sekalipun gapapa, Lintang.”

“Lintang laki-laki, bun.”

“Berarti laki-laki gak boleh nangis, ya?”

“Gak gitu..”

Bunda tertawa, “Tau gak dek, ayah dulu pas tau bunda pacaran sama cowo lain nangis loh, mana kata temen-temennya sampai sedih gitu kalau dikelas hahaha.”

“Loh, ayah?” tanya Lintang tak percaya.

“Hahaha iya! Ayahmu itu tampangnya aja sangar, tapi kalau udah sayang, kamu bakal liat sisi lain dari dia.”

“Terus, dulu bunda gimana?”

“Yaaaa, gak gimana-gimana,” jujur bunda. “Bunda kan gak tau kalau ternyata ayah kamu suka sama bunda hahaha.”

Lintang dan bundanya sama-sama tertawa. Gak pernah terbayangkan dipikiran Lintang, kalau ayahnya yang ia segani itu bisa menangis juga karena masalah percintaan.

“Lintang, dengerin bunda. Menyuarakan emosi yang adek rasakan bukan berarti kamu lemah,” ujar bunda. “Itu namanya adek manusiawi.”

“Iya, bunda.”

“Adek sama Anin tetep temenan?”

“Tetap, bunda. Lagian gak ada alasan untuk mutusin hubungan pertemanan kan?”

Bunda tersenyum lagi dan lagi, anak terakhirnya itu sedang belajar menjadi dewasa ternyata.

“Iya bener, adek hebat udah milih itu.” kata bunda. “Dek, jangan benci sama Haksa, ya?”

“Engga, bunda. Tapi kalau Haksa nyakitin Anindya, Lintang bakal marah.”

“Iyaaaa,” kata bunda paham. “Kalau Renjana?”

“Jana?”

“Iya, si Jana. Adek gimana sama dia?”

“gak gimana-gimana bun, kan kita temenan dari dulu.”

“Iya bunda tau kalian temenan,” potong bunda. “Tapi adek juga pasti tau kan tentang perasaan Jana?”

Lintang terdiam sebentar, “Tau, bunda.”

“Jangan benci Jana karena perasaan dia ke kamu, ya dek? Bukan salah Jana, bisa jadi dia juga bingung kenapa sukanya malah sama kamu.”

“Tapi Lintang juga bingung,” katanya. “Lintang udah bilang gak bisa tapi Jana selalu bilang gapapa, Jana pernah nangis karena Lintang, bunda. Rasanya gak enak banget untuk Lintang.”

“Iyaaaaa adek bunda paham,” kata bunda lembut. “Tapi kamu sudah minta maaf?”

“Sudah, tapi habis itu dia malah minta traktir.”

Bunda tertawa geli diujung telpon, “Renjana itu orangnya emang susah ketebak ya? Dulu bunda pernah bilang kalau sukanya cheesecake di café dia, eh besokannya dia bawain chiffon matcha terus kerumah kita hahaha.”

Lintang sedikit tersenyum, “Oh, jadi kue yang waktu itu dari Jana?”

“Iyaaaaa, dia bawain terus selama seminggu kerumah, katanya supaya bunda tau kalau banyak lagi kue-kue enak di café dia hahaha.”

“Hahaha Jana emang gitu.”

“Strategi marketingnya bagus.”

“Iya.”

“Sulit ketebak juga.”

“Iya bunda.”

“Adek jangan sampai nyesel ya?”

“Kenapa?”

“Apa yang ada sekarang harus adek hargain, biar nanti kalau udah pergi gak ada penyesalan.”

Lintang diam sejenak, lagi. Entah kenapa perkataan bundanya itu menimbulkan perasaan tidak enak dihatinya.

“Iya bunda sayang.”