ririwyss

Sore itu, dipentas pamit.


Sekolah kala sore itu sangat ramai. Banyak sekali yang tidak sabar melihat hasil latihan paskib selama berbulan-bulan ini yang akan mereka bawa untuk lomba.

LKBB atau Lomba Ketangkasan Baris Berbaris sudah seperti agenda wajib untuk anak-anak paskib ikuti. Kali ini mereka hanya mengirim 1 tim dengan anggota tiga belas orang. Haje dan Shirin ada di dalamnya, dan ini akan menjadi lomba terakhir mereka karena sudah kelas akhir SMA.

Lapangan sekolah sudah tertata rapi sekali, bahkan penonton disediakan kursi untuk duduk. Walau Dena dan Putri sudah datang sebelum waktunya, tapi ternyata semua kursi penonton sudah hampir penuh.

Dan kalian tau? Untuk pentas pamit ini saja eskul paskib sampai mengundang bapak bupati untuk datang menonton sebagai pelepasan mereka. Wajar saja sih, kali ini mereka lomba di tingkat nasional. Mereka membawa nama kota dan daerah ini, makanya untuk sekelas pentas pamit saja, ini sudah sangat luar biasa.

“Na! Disana kosong tuh!” tunjuk Putri saat mereka sedang mencari tempat duduk.

“Harus banget disana, Put?”

“Yaaa mau dimana lagi? Ayoo kesana.”

Tadi Sakha yang memanggil Putri untuk duduk didekatnya. Barisan kursi itu memang rata-rata diisi anak-anak MB. Mungkin memang disiapkan kursi penonton sesuai eskul? Entahlah. Tapi masalahnya, dua kursi kosong itu ada diantara Sakha dan Dava.

Haduh.

“Apa lo senyam-senyum?” ketus Dena saat hendak duduk.

“Sedekah,” balas Dava santai.

Terkejut mendengar itu, Dena langsung menginjak kaki Dava, “Rasain!”

Bukannya amarah, justru tawa gemas yang keluar dari bibir si lelaki, “Jangan marah-marah hei.”

“Terserah gue dong, emang kenapa?”

“Ntar cepat jompo.”

“Dav..” desis Dena. “Lo tuh.. Erghh!”

Kali ini tidak hanya Dava, tapi semua yang duduk didekat mereka ikut tertawa. Kalian harus tau, Dena itu kalau sedang kesal, wajahnya berubah jadi lucu sekali. Bibirnya dikerucutkan ditambah desisan yang dibuat untuk mengintimidasi, walau nyatanya, orang yang melihat itu malah menganggapnya gemas.

Dena sengaja mengehela nafasnya kasar agar orang di sampingnya ini mendengar. Entahlah, ingin saja. Lalu tak lama setelahnya ia baru sadar, kenapa dia begitu? Tiba-tiba kesal dan tidak mau berada di dekat Dava. Aneh.

Padahal jawabannya sederhana. Dena sedang salah tingkah. Mencoba menjadikan rasa kesal sebagai alibi supaya tidak ketahuan si lelaki, bahwa jantungnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi kalau harus duduk bersebelahan seperti ini.

Terserah mereka saja, lah.

Acara dimulai dengan diawali pembacaan doa serta sambutan-sambutan dari berbagai pihak. Sambutan terakhir dari bapak bupati menjadi awal untuk masuk ke acara inti, yaitu penampilan dari Tim Garuda 13, nama tim dari mereka-mereka yang akan melakukan pentas pamit hari ini.

Sorak-sorakan serta tepuk tangan menjadi penyambut saat Tim Garuda 13 memasuki lapangan. Para anak laki-laki dari tim itu memasang wajah tegas nan sangar, sedangkan para gadisnya tersenyum teramat manis.

Keadaan penonton mulai senyap saat penampilan dimulai dan tergantikan oleh tatapan kagum. Kerja keras Tim Garuda 13 selama beberapa bulan belakangan benar-benar terbayar. Katanya mereka selalu latihan dari habis isha sampai jam dua dini hari. Dena akhirnya mengerti, pantas saja Haje selalu tertidur di kelas.

Ada banyak variasi serta visual effect yang mereka tampilkan. Semua yang menonton benar-benar puas, bahkan pelatih, Pembina paskib, serta beberapa guru sampai menitihkan air mata. Tim Garuda 13 sungguh sudah bekerja keras.

Dena mengulum senyum, menatap bangga pada mereka-mereka yang tampil itu.

Saat variasi terakhir, terdapat gerakan balik kanan yang membuat barisan paling belakang menjadi barisan paling depan. Shirin ada disana, dibarisan itu, tengah tersenyum manis sambil tatapannya lurus pada satu orang.

Dava.

Sungguh, orang-orang pasti menyadari apa yang dilakukan Shirin. Bahkan terdengar banyak suara bisik-bisik.

“Cantik ya,” ucap Dena yang membuat Dava menoleh menatapnya. “Cieee ditatap Shirin, tuh.”

“Iya,” katanya.

“Yaudah, sana liat kedepan,” suruh Dena. “Kok malah ngeliat ke gue.”

Tapi Dava hanya mengedikkan bahu dan tetap menoleh ke samping, menatap Dena.

“Dav.. kenapa?” ucap Dena pelan.

Dan tetap tidak ada jawaban. Dava terus menatap si gadis tenang, dengan mata yang sulit diartikan, sampai penampilan selesai.

Assan, Dena, dan UKS.


Dena yang menyadari kepergian Dava tetap dalam posisi awalnya. Sesekali ia mengintip kecil apakah si lelaki akan kembali atau tidak, sampai tiba-tiba terdengar langkah seseorang yang datang ke dalam UKS membuatnya kembali memejamkan mata.

Sepertinya itu Dava, pikir Dena, karena ia duduk kembali di kursi yang tadi di tempati.

Dena memikirkan berbagai cara bagaimana ia harus membuka mata. Langsung buka saja? Atau buka pelan-pelan? Atau sebelah mata dulu baru mata lainnya lagi?

Ah, pusing! Akhirnya Dena memilih untuk langsung membuka kedua matanya dan langsung berjenggit kaget saat tau ternyata Assan yang duduk di kursi itu.

“Kaget..” ucap Dena sambil mengelus dada yang membuat Assan tertawa.

“Dava lagi dipanggil Miss Ani,” tuturnya. “Jadi sama gue dulu, ya, sementara?”

Dena mengangguk tersenyum sambil mencoba untuk duduk di dinding ranjang. Seketika suasana dikeduanya jadi sunyi, padahal orang-orang yang mengisi UKS pada banyak yang bicara.

Mungkin, karena teringat yang kemarin?

“Gue minta maaf.”

“Kok minta maaf sih, San? Engga, lo ga salah.”

Assan menarik nafas, “Dena, gue dan perasaan gue ini pasti ngebuat jadi beban pikiran lo, kan?

“San.. bukan gitu..”

“Jangan ngejauh, Na. Gue bahkan gak berharap milikin lo. Gue, cuma pengen jujur kemarin. Setidaknya sama diri gue sendiri,” jelas Assan.

“Gue, gamau kita jadi canggung gini,” lanjut Assan.

“Gue yang seharusnya minta maaf..” cicit Dena.

Assan tertawa kecil, “Ya engga lah, Dena. Lo gak bertanggung jawab apa-apa atas perasaan gue.”

Mendengar jawaban Assan membuat Dena dirundung perasaan tidak enak. Ternyata ini yang selama ini Dava rasakan saat si gadis menjelaskan perasaannya.

“Jangan canggung sama gue, ya? Kita temenan udah lama brooo.. masa nanti kita gak ngumpul bareng cuma karena perasaan gue?” tanya Assan dengan senyum tulus. “Untuk yang kemarin, biar disana aja, gausah diungkit lagi. Kita harus terus ngeliat ke depan, kan?”

Assan tetap tersenyum, dan sialnya malah Dena yang ingin menangis.

“Heh anjir! Lo jangan nangis dong!” panik Assan.

“Gue.. jahat ya, San?”

“Kaga, siapa yang bilang? Lo kaga jahat.”

Tapi perasaan itu yang saat ini muncul di hati Dena, San. Dena merasa jahat, ia merasa sudah egois sekali selama ini. Kenapa ia begini?

Terkesan seperti memaksa masuk ke dalam hati Dava saat sebenarnya tau dia tidak nyaman. Kenapa perasaannya dengan Dava malah berkembang pesat? Bukankah seharusnya ia bisa mengikhlaskan seperti Assan?

“Dena, lo jangan nyalahin diri lo ya, gue geprek lu nanti!” ancam Assan. “Yang sayang sama lo tuh banyak, jangan malah lo yang kaga sayang sama diri sendiri.”

“Iya Assan,” jawab Dena dengan senyum tipis.

“Tuh,” tunjuk Assan. “Teh kotak titipan Haje. Dia cari lo tadi, tapi gabisa lama juga karena mau siap-siap pentas pamit ceunah.”

Dena melihat teh kotak itu dan senyumnya semakin mengembang. Haje itu, teman yang sangat loyal. Dia juga selalu menepati janji, teh kotak ini salah satu buktinya.

Dena menatap Assan sambil menyodorkan jari kelingking, “Janji.”

“Janji apaan?” bingung Assan tapi tetap menyodorkan kelingkingnya untuk bertaut dengan milik Dena.

“Gue janji gak canggung atau ngejauh dari lo lagi. Pokoknya pertemanan kita gak boleh kandas!” seru Dena.

Assan tersenyum, “Janji!”

“Janji!” ikut sahut Dena.

Setelahnya, keduanya malah tertawa geli. Apa yang mereka lakukan tadi seperti anak kecil sekali. Tapi terkadang, kita akan selalu ingin kembali ke masa kecil untuk menyembuhkan luka, kan?

“Lo jangan berhenti, Na.”

Dena mengernyit, “Berhenti apaan?”

“Sama Dava, jangan berhenti. Itu laki satu cuma perlu dorongan doang.” Jelas Assan. “Lo udah berhasil dorong pintu dia, tinggal nunggu dipersilahkan masuk.”

Pawai, Panas, dan Kita.


Matahari mulai muncul, sepanjang jalan raya depan kantor bupati yang ditutup juga mulai diisi barisan orang-orang dari berbagai sekolah. Tapi tentu, Neo berada di barisan paling depan sekaligus yang memulai pawai. Sudah bukan rahasia lagi karena setiap tahun selalu seperti ini.

MB baru saja selesai briefing bersama Coach Dimas juga Miss Ani sebagai Pembina. Setelah berdoa bersama dan meneriakkan jargon, mereka semua mulai berbaris.

Ah, saat selesai briefing tadi, Dena tak sadar kalau dia disenggol Shirin. Shirin cantik sekali hari ini, memakai baju khas daerah mereka yang indah, ditambah sebuah selempang yang menjadi pertanda bahwa ialah pemenang Duta Neo tahun lalu.

Tapi entah apa alasannya menyenggol Dena, Dena tidak ambil pusing, sih.

Coach Dimas tadi datang bersama beberapa kawanannya yang sering datang saat mereka latihan. Bantu mengiringi katanya, takut ada yang tumbang di tengah jalan. Banyak anak-anak MB yang duduk di pinggir trotoar karena menunggu lamanya acara ini di mulai. Clara saja sampai meneduh dulu, takut-takut make up nya luntur.

Dan sial, Assan tiba-tiba datang untuk duduk di sebelah Dena yang masih kosong.

Sebenarnya tidak ada yang aneh. Assan datang dan bercanda tawa bersama anak brass yang lain, tapi hanya Dena yang tersenyum kikuk. Apalagi saat tau kalau Laras dari jauh sedang menatapnya sinis.

Semuanya serba salah.

Tapi beruntung, tidak ada kecanggungan di MB setelah kejadian kemarin, membuat Dena sedikit menghela nafas lega. Buktinya mereka semua bisa bercanda seperti biasanya.

“Gak nyaman sama gue ya?” ucapnya pelan.

Dena langsung berjenggit, “Hah? E-engga kok, San.”

Assan hanya tersenyum yang entah mengapa membuat Dena merasa bersalah, sangat.

“Ayo semua balik ke barisan, pawainya mau mulai! Clara ambil alih!” seru Coach Dimas membuat semua anggota MB langsung bersiap kembali ke tempat.

Seperti ditarik kenyataan, Dena langsung berlari ke posisi barisannya. Bendera start diangkat, pawai sudah dimulai. MB membawakan intro sebentar dari anak-anak drumline lalu setelahnya mulai memainkan lagu pertama.

Banyak yang menonton mereka di samping jalan, karena ini memang pawai untuk perayaan ulang tahun kota mereka, jadi tidak heran kalau semua masyarakat berdatangan untuk meramaikan acara ini.

Banyak juga anak-anak Neo yang tidak ikut pawai, datang menonton sambil meneriakkan nama teman-teman mereka yang sedang lewat.

Termasuk Haje yang kini meneriakkan nama Dena.

Serius, ini akan jadi pawai yang panjang. Coach Dimas bilang perkiraan pawai ini selesai adalah sekitar jam 11 siang. Waktu yang jelas akan sangat panas.

Rasanya tangan Dena akan patah saat harus mengangkat Mellophone ini sekian jam, mana sambil berjalan. Tapi tidak papa, Dena tidak terlalu keberatan. Musik itu hal yang dia suka, apalagi mereka bersama seperti ini. Rasanya kerjasama tim dan kekeluargaan mereka semakin mengerat.


3 jam berlalu, akhirnya barisan pawai dari MB mencapai garis finish. Tapi belum selesai sampai disitu. Di garis finish, mereka harus menampilkan penampilan dulu di depan panggung kehormatan yang mana ada para pejabat kota dan bapak bupati disana.

MB memainkan lagu-lagu mereka dengan mereka yang membentuk barisan pola curva.

Saat itu rasanya dekat sekali dengan penonton. Dena bisa merasakan orang-orang yang berteriak sampai dorong-dorongan untuk melihat penampilan mereka. Sejujurnya, Dena merasa sesak. Semua orang disana terlalu berkerumun.

Selesai Clara hormat pada bapak bupati, MB langsung march out dan barisan pun bubar.

Selesai dari penampilan MB masih ada penampilan dari eskul-eskul lain di panggung kehormatan. Tapi masa bodoh, anak-anak MB langsung jalan duluan untuk kembali ke sekolah. Sedikit tidak teratur, tapi tidak papa, karena jalan raya yang mereka lewati ini sudah ditutup sehingga tidak ada kendaraan yang lewat.

Semuanya terpisah, bahkan Dena tidak tahu Putri ada di depan atau belakangnya. Yang ia tahu sekarang hanyalah mataharinya terlalu menyengat. Belum lagi kepala si gadis sangat pening karena memakai topi uniform terlalu lama. Dena berjalan pelan di pinggir jalan menuju sekolah sambil terus meringis.

Tiba-tiba saja ada tangan yang mengambil Mellophone-nya yang membuat Dena tersentak kaget.

“Hah! Kirain..” ucap Dena pelan saat tau siapa dia. “Siniin, gue bisa bawa kok.”

“Gua aja.”

“Dav, lo udah berat itu bawa snare! Ngapain bawa Mello gue lagi?” erang Dena merasa tak enak.

“Udah, mending lo buka dulu tu topi,” kata Dava sambil mengikuti tempo langkah kaki Dena. “Tahan, bentar lagi sampai sekolah.”

Jujur saja, Dena merasa tubuhnya tidak cukup kuat sekarang. Keduanya berada di rombongan paling belakang jika di bandingkan dengan yang lain. Dava sedari tadi memang sudah memperhatikan Dena yang tampak lesu. Itu ketara sekali pada saat penampilan tadi di panggung kehormatan.

“Sini stik lo gue pegangin,” kata Dena sambil memberi tangan.

Tangan Dava memang penuh. Satu dengan mellophone Dena, satu lagi dengan stik miliknya. Belum lagi snare dan carrier yang masih bertengger di bahunya. Karena memang daritadi stik Dava ingin jatuh, jadi ia setuju untuk memberikan stik itu pada Dena, dengan ganti tangan kiri Dava memegang lengan atas si gadis.

Dava memegangi lengan atas Dena.

Si gadis tertawa kecil, “Apa nihhh?”

Dava mendengus, “Setidaknya kalo lo pingsan, jatuhnya gak ke got.”

“Oh, berarti jatuhnya kepelukkan lo dong?” tanya Dena menggoda.

Mendengar itu Dava menggeleng-gelengkan kepalanya, “Udah sekarat masih aja gombal.”

Perkataan Dava dihadiahi tawa renyah dari Dena. Seru juga menggoda Dava, pikir si gadis.

Perjalanan itu sebenarnya cukup memakan jarak, tapi sayang kali ini terasa singkat, karena Dena dan Dava terlalu asik. Terlalu asik berdua.

Halaman sekolah sudah tampak. Jemari Dava pada lengan Dena semakin mengerat karena si gadis tampak lebih pucat dari yang tadi.

Melihat Dava dengan wajah yang sedikit paniknya langsung membuat Galen datang membantu membawakan alat Dena. Putri juga ikut berlari dan memegangi Dena yang tatapannya mulai tidak jelas, padahal mereka masih di halaman depan sekolah yang mana matahari masih terik sekali disini.

Baru saja Dava melepaskan alatnya dari bahu tiba-tiba-

Brak!

“Dena!”

Dava langsung menuju Dena yang terbaring makin pucat. Diangkatnya si gadis untuk masuk ke dalam gendongannya dengan rasa panik tak karuan. Dava akan membawanya ke UKS sampai tiba-tiba datang suara menginterupsi yang masih bisa samar Dena dengar.

“Dav! Shirin pingsan!” teriak entah siapa.

“Dena juga pingsan, Lo aja.”

Kalimat terakhir Dava menjadi penutup kesadaran Dena.

Permainan sial.


Ruang alat yang tadinya dipenuhi orang kini mulai lenggang. Mereka-mereka yang sudah selesai membersihkan alat dan mengambil uniform sudah pada pulang, menyisakan anak-anak colorguard yang saat ini masih mengganti bendera, juga orang-orang yang malas pulang kerumah.

Gerimis datang lagi, membuat dena yang baru datang ke ruang alat sehabis membeli telur gulung mendesah kecewa. Baru jam setengah lima, sih. Tapi dia kan pulang sama Dava naik motor.

Wah, fakta ini masih saja membuat Dena mengerang tak percaya. Atau, apa dia pulang ikut putri saja ya? Soalnya bahaya, kalau di dekat Dava, jantung si gadis gak bisa diajak kompromi.

“Main yang lain yok!” seru Ale. “Bosen uno terus daritadi.”

“Main masak-masak sana kalo bosen,” dengus Clara.

“Loh, kok ibu fielco kita masih disini?” tanya Dena sambil duduk di sebelah Clara. “Kirain udah pulang tadi.”

“Tanya noh ke dancorp lo!” *Dancorp; sebutan lain untuk ketua MB.

Mendengar kalimat Clara, semua orang disana langsung tersenyum jahil. Bahkan Diky, Ale, dan Sakha kencang sekali meneriakkan “Ciee ciee.” sambil menatap Clara dan Galen.

Berangkat bersama ternyata mereka. Lucu sekali, apalagi sekarang Clara sedang menahan semburat merah dan Galen yang salah tingkah.

“Dah udah! Main aja sana barudak!” sergah Galen yang masih sibuk mengganti carrier quarto-nya.

“TOD gas TOD!” seru Diky.

“Ayo bang ikutan!” ajak Ale. “Kakak-kakak cantik juga ayo!”

Mereka-mereka yang tertarik ikut langsung mendekat membentuk lingkaran. Clara juga langsung bangkit dan duduk di dalam lingkaran itu, tangannya melambai mengajak Dena tapi si gadis tidak tertarik. Dena memilih kembali memakan telur gulungnya sambil memperhatikan permainan mereka.

Ada Ale, Diky, Sakha, Galen, Assan, Rendra, dan Clara yang ikut bermain.

Kalau Dava, dia ada sih. Sedang terbaring diatas sofa panjang bekas ruang guru yang diberikan pada ruangan MB. Matanya tak lepas dari ponsel yang sedang miring itu, wajahnya datar seperti biasa, terkadang ia menggeram kalau melewatkan sesuatu di permainannya.

“Dav, ikut sini!” ajak Rendra yang baru saja kena dare.

Dare-nya dari Clara : Ngajak Dava ikutan main ini.

“Ogah.”

Ya pasti di tolak lah!

Dena tertawa kecil melihat Rendra yang masih terus membujuk Dava untuk bergabung dengan mereka.

“Weh, gue ikutan dong!” kata Putri yang baru selesai mengganti bendera-nya. “Ayo Na ikutan!”

“Males putttttt.”

“Ayoo ah, enak bener lo cuma nonton.”

Putri menarik tangan Dena untuk bangkit dan bergabung dengan lingkaran mereka. Aduh, si putri mengajaknya untuk duduk tepat di samping Assan, karena disana masih ada tempat tersisa.

Dena yang masih berdiri meyakinkan diri langsung mengucap syukur saat Laras tiba-tiba datang dan duduk disebelah Assan.

“Eh lo disini, Ras?” tanya Putri sedikit tidak enak. “Masih muat gak? Dena juga mau duduk tuh.”

“Gak muat, Put. Lo duduk disana aja, Na. Di samping Clara itu,” tunjuk Laras ke arah Clara.

Dapat terlihat wajah kecewa dari Assan, apalagi itu sangat nampak dari Dena yang kini sudah duduk diseberangnya.

Maaf Assan, gue takut canggung. Gue tau gak seharusnya begini, tapi Dava juga ada dibelakang kita kalau gue duduk disana.

“Putar stik-nya!”

Sakha pun memutar stik miliknya untuk menentukan siapa yang kali ini mendapatkan kesempatan. Stik itu terus berputar hingga akhirnya terhenti pada diri Sakha sendiri.

Sorakan serta tawa geli mengudara oleh orang-orang disana dengan Sakha yang menggaruk belakang kepalanya malu.

“Hahaha pulang ke dia sendiri,” tawa Rendra.

Truth or dare?” tanya Ale.

Truth.”

“Ih kok truth sih, dare lah!” seru Clara tak terima.

Dibalik orang-orang yang tidak terima itu, Sakha senyum-senyum sendiri seperti sedang memikirkan sesuatu. Dena memperhatikan itu hingga akhirnya dia mengangkat tangan siap untuk memberikan pertanyaan.

“Satu doang ya,” kata Sakha. “Kak Dena!”

“Na, kasih pertanyaan sulit!” kata Galen. “Songong ni anak satu.”

“Pertanyaan lo jangan bikin orang kecewa ya, awas lo,” sahut Rendra mengancam.

“Hahaha tenang-tenang,” si gadis menarik nafas. “Oke, truth kan? Kalau gitu jujur, siapa orang yang lo suka, kalau dia ada disini confess sekalian.”

“WOHOHOHO!!!”

“HOOO RASAIN LO SAK!”

Semuanya langsung berteriak heboh sedangkan Dena tersenyum menang.

Sakha terlihat kaget sampai matanya membola besar. Ia tidak menyangka kalau Dena akan memberinya challenge ini. Sakha menarik nafasnya dengan teratur, mencoba mencari kepercayaan diri diantara sorak-sorakan orang yang ada disana.

Sekarang ya, waktunya ia untuk jujur?

Sakha berdehem sejenak, “Ehm, orang yang gue suka itu.. Kak Putri.”

“WOHOOOOO!!”

“TUHKAN! BENER PENGLIHATAN GUE SELAMA INI!” seru Clara.

“Ahahaha Put, Sakha tuh Put,” tunjuk Assan diantara semua sorakan orang yang ada di ruang alat.

Sedangkan Putri seperti membeku mendengar penuturan dari Sakha. Akhirnya ia tahu juga alasan mengapa si adek kelasnya itu selalu ada dan peduli pada dirinya.

“Gue suka lo, Kak Put,” lanjut Sakha. “Sorry kak gue tuh, anu, apatuh, itu –AH TAU AHHHH!!”

Sakha yang menjadi salah tingkah membuat mereka kembali tertawa. Wajah hingga telinga Sakha memerah, belum lagi sekarang ia sedang bersembunyi dibalik Diky berusaha mengubur diri.

Putri tersenyum, “Keren Sak, makasih ya. Tapi gue belum suka sama lo sih, jadi, gue tunggu usaha lo, oke?”

“WOOOO GAS SAK DAH DAPAT LAMPU HIJAU!!” teriak Assan.

Para anak laki-laki mendekati Sakha hanya untuk menyoraki dan memberikan semangat padanya. Bahkan Ale sampai menepuk-nepuk pipi Sakha karena orangnya masih cengo mendengar penuturan dari Putri.

Lucu sekali.

“Lanjut lanjut!” kata Rendra. “Gue putar ya!”

Stik tadi kembali berputar. Mangsa selanjutnya, Dena!

Si gadis langsung menepuk jidat, terlalu cepat untuk dia yang kena selanjutnya. Mana sekarang semua orang sudah mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi agar di pilih Dena.

“Sabar njir, gue aja belum milih truth or dare,” keluh Dena.

Lelaki itu tertarik. Dava mem-pause gamenya sejenak untuk menonton Dena. Ada senyum yang mengembang saat ia melihat wajah Dena yang sudah kepalang frustasi.

Truth, gue pilih truth,” kata Dena sambil memilah pertanyaan siapa yang akan pilih. “Diky!”

Yang namanya disebut langsung mengepalkan tangan senang.

“Awas pertanyaan lo gak bermutu,” ancam Ale.

“Dik jangan bikin kecewa, kasi pertanyaan yang susah!” seru Putri yang mendapat tatapan tajam dari Dena.

“Oke, oke, tenang semuanya. Kak Dena gue mau tanya,” Diky sedikit gugup, “Kapan.. terakhir kali lo makan seblak kak?”

“DIKY LO CARI MASALAH KAH HAH?!”

“Heh! Lo kalo mau liat kapan Dena makan seblak tinggal liat insta storynya aja Dikyyyyyy.”

“Kecewa penonton njerrr.”

Dan semua kata keluhan lain yang keluar dari orang-orang yang kecewa dengan pertanyaan Diky. Pokoknya ruang alat jadi heboh, mereka pada tidak terima, mana pertanyaan yang dipilih hanya satu.

Dena tersenyum menang sambil terus melemparkan flying kiss pada Diky. Sedang lelaki di ujung sana mendengus sambil tertawa kecil, ia melanjutkan lagi game-nya sambil tetap menajamkan telinga tentang apa yang akan Dena jawab.

“Kemarin hehe, kemarin gue terakhir makan seblak,” jawab Dena cengengesan.

“Dah ah! Lanjut ke pertanyaan lain!” cerocos Ale dan langsung memutar stiknya.

Gerimis mulai menipis, hawanya juga sudah tidak sedingin tadi. Stik yang tadi berputar kini berhenti dan langsung mengundang tatapan jahil dari orang-orang.

“Kak Laras!” tunjuk Ale. “Truth or dare?”

Truth,” jawab Laras mengundang senyum jahil dari mereka.

“Kak pilih gue plisss,” pinta Diky. “Kali ini janji waras pertanyaannya.”

Laras menatap Diky ingin menolak sebenarnya, tapi kasian. Mana anak-anak yang lain sudah underestimate pertanyaan Diky. Jadi, okelah, Laras memilihnya saja.

“Yaudah, apaan?”

“Yes!” kata Diky merasa menang. “Oke, Kak Laras kan sering ngode tuh di instastory, ngode siapa sih kak?”

“NAH GINI DONG DIK DARITADI!!”

“MANTAP AYO KAK LARAS JUJUR!!”

Laras terlihat cukup terkejut dengan pertanyaan Diky. Di pikirannya, apakah kentara sekali? Apakah sekarang ini dia harus jujur?

“Ehm.. gue,” Laras menatap kawanannya disana satu persatu hingga tatapan itu jatuh pada satu orang, di sampingnya. “Gue ngode lo, San. Tapi lo gak peka kalo gue suka sama lo.”

Suasana hening sejenak lalu tergantikan dengan sorak-sorakan oleh mereka-mereka yang kagum dengan keberanian Laras.

Tidak disangka, Laras sungguh mengumpulkan keberaniannya tadi. Ia berada di satu kelas yang sama dengan Assan dan Putri. Membuat Putri tersadar kalau selama ini yang sering Laras curhatkan secara anonim itu ternyata Assan-lah oknumnya.

Tapi sayang, Assan terlihat tidak terlalu senang. Buktinya dia hanya diam dan sesekali menanggapi dengan senyuman, lalu kembali menatap Dena. Membuat Dena menggigit bibir bawahnya sambil beralih ke atensi yang lain.

“Untuk bang Assan, semoga sekarang udah peka ya!” ucap Diky. “Yok lanjut putar lagi! Ini terakhir oke, bang Galen yang nyuruh soalnya, habis itu pulang.”

Stik terakhir kembali berputar. Terus berputar, tetap berputar, sampai ia melemah, lalu berhenti pada orang yang paling Dena wanti-wanti.

“Anjer mantap, bang Assan!” seru Ale.

“Ayo bang, truth or dare?” tanya Sakha.

Dare lah,” jawabnya dengan santai.

Jawaban Assan mengundang sorakan kembali. Akhirnya permainan terakhir ada juga yang memilih dare. Bahkan Dava saja menghentikan permainannya lagi untuk melihat apa yang akan Assan lakukan.

“Pilih dah tuh bang,” pinta Diky. “Udah pada angkat tangan semua.”

“San gue San!” seru Clara. “Plisss ya ya ya?”

“Iyadah, cepetan.”

“Yes hahaha!” Clara kelewat senang sampai-sampai tak berhenti tersenyum jahil. “Oke. San, dare-nya.. coba lo telpon orang yang lo suka sekarang juga!”

“WOOOO INI DIA!!”

“WADUUU SIAPA NI CEWENYA.”

“AYO SAN TELPON GAK BOLEH NOLAK.”

Dan semua teriakan-teriakan lain yang terdengar sangat senang karena pertanyaan Clara yang sesuai ekspektasi.

Assan tersenyum tenang, menyuruh semuanya untuk diam sebentar, lalu mulai mengeluarkan ponselnya. Ia terlihat sedang memilih kontak, sampai akhirnya telpon itu berpindah pada telinga si lelaki yang menunggu jawaban.

Dena sedikit bergelinjang saat ponselnya yang dalam mode getar, bergetar di saku celana. Pikiran Dena mengerang kemana-mana saat ia melihat nama itu dan harus mengangkatnya.

“Halo?” sapa Dena.

“Dena.” Ucap Assan. “Gue suka sama lo.”

Hening. Kali ini benar-benar hening. Assan menatap Dena tepat di mata si gadis, membuat Dena terdiam seribu bahasa.

Tak ada yang bersuara sampai akhirnya terdengar suara bantingan ponsel di atas karpet. Itu ponsel Dava.

Berdua di atas motor.


Pintu rumahnya sudah terkunci, si gadis berjalan dengan yakin menuju pagar luar rumah, dimana Dava ada disana yang sedang duduk menunggu diatas motornya.

Hari sudah cukup cerah, gerimis juga sudah berhenti, tapi suasananya masih sepi.

“Kucing lo gapapa?” tanya Dava saat Dena berada dihadapannya.

“Kayaknya sih,” jawab Dena. “Soalnya pas gue tanya, dianya meow-meow doang.”

Ujung bibir Dava terangkat, “Ketawa gak nih?”

“Ketawalah! Beramal kek lo sekali-kali buat gue seneng,” kata Dena sambil memakai helm-nya.

“Ha ha ha,” tawa Dava seperti tidak niat.

“Yang ikhlas dong. Kalo kek gitu ketawanya kek bapak-bapak.”

“Nanti aja.”

“Kapan?”

“Kapan-kapan.”

Geregetan. Rasanya Dena ingin mengacak-acak rambut Dava untuk menyalurkan kekesalannya. Untung dia ditarik kenyataan.

Tangan si gadis hanya mengepal kuat dengan bibir yang tak berhenti mendesis. Tatapannya sedikit disipitkan untuk membuat si lelaki terintimidasi, tapi faktanya berlainan.

Dava justru tertawa, tawa tanpa paksaan, dan ini pertama kalinya.

“Loh, kok malah ketawa?” kaget Dena. “Beneran kerasukan reog ya?!”

Ia hanya tersenyum tipis, “Ayo naik, coach Dimas udah nunggu.”

Sore itu, salah satu kemustahilan bagi Dena berhasil terwujud. Dena naik motor berdua dengan Dava. Dulu, memikirkannya saja sudah membuat si gadis menepuk jidat. TIDAK MUNGKIN.

Motor PCX putih yang sudah sangat melekat dengan image Dava, ditambah berdua menyusuri jalanan yang masih menyimpan aroma hujan, keduanya sesekali melempar candaan supaya tidak canggung.

Tapi sungguh, berada di jarak sedekat ini dengan Dava benar-benar bukan ide yang bagus. Dena bisa dengan mudah mencium aroma khas parfum yang selalu Dava pakai. Ia juga takut tak sengaja menabrak bahu lebar Dava nanti saat datang lampu merah.

Oh iya, jangan lupakan tentang tawa Dava yang luwes terkeluar dari mulutnya hari ini. Dena terus membatin, sepertinya Dava emang benar kerasukan.

Duk!

“Dav coba jangan dadakan ish!!” kesal Dena yang mana Dava tiba-tiba menghentikan motornya saat lampu merah tiba.

“Sengaja,” katanya.

“Sengaja? Wah, bener-bener lo dari kemarin bikin gue pengen ngejitak!”

Suara tawa kecil terdengar seperti nyanyian merdu di telinga Dena. Si gadis mendengus kesal sekaligus berkelumit perasaan bingung di dalam hatinya.

Dena biasanya memang sok asik dengan Dava, tapi tidak pernah ditanggapi. Tapi kenapa sekarang kebalikannya?

Dena itu sudah sering diabaikan.

Keduanya kembali berjalan hingga motor Dava berbelok masuk ke sebuah gang yang menjadi penghubung ke rumah coach Dimas. Oh, bukan rumahnya sih, itu sebuah kontrakan.

Rumah coach Dimas ada di kota sebelah yang mana ia akan kesana sore ini untuk bertemu dengan ibunya, lalu kembali lagi kesini besok pagi untuk mengiringi mereka pawai.

“Akhirnya sampai juga,” kata coach Dimas sambil membawa sekantung kresek besar yang diisi bulu topi uniform.

“Hehehe maaf coach, si Dava lambat banget tadi,” ujar Dena sambil turun dari motor.

Dava yang berjalan di belakang gadis itu langsung melebarkan matanya, “Ngada-ngada. Lo yang lambat, Na.”

Dena memberikan isyarat untuk diam pada Dava dengan mimik wajah yang seakan mengatakan, lo jangan cepu dong!

Ya, bagaimana pun juga hal itu disaksikan oleh coach Dimas yang merespon dengan tawa pelan, juga Dava yang mendengus sambil berusaha menymbunyikan bibirnya yang terangkat.

“Satu kresek doang coach?” tanya Dava.

“Iya, isinya ada 52. Adena penanggung jawab bulu topi kan kemarin? Nanti dicatat ya, Na. Kalau sampai ada yang hilang, kamu coach sembeleh.”

Dena tertawa mendengarnya, “Jangan disembeleh dong coach, daging Dena ga enak!”

“Hahaha tergantung,” katanya. “Udah sana kesekolah! Kasian tuh banyak yang nungguin. Oh, Dava, coach nitip MB ya hari ini. Tadi sudah bilang juga sama Galen, jangan sampai maghrib di ruang alat. Bilangin istirahat yang cukup, besok perjalanannya jauh.”

“Siap coach.”

Keduanya berpamitan pergi dengan hari yang entah kenapa kembali mendung. Angin dingin pun kembali datang, Dena prediksi hujan akan datang lagi.

Dava juga terlihat sedang menambah kecepatannya. Kali ini Dena tidak akan menabrak bahu Dava lagi karena ada sekantung kresek besar yang menjadi pembatas keduanya.

Tak ada pembicaraan seperti tadi, sampai mereka sampai ke sekolah. Motor Dava terparkir di halaman depan sekolah yang menampilkan anak-anak paskib dan eskul tari yang berlalu lalang. Keduanya langsung menjadi pusat perhatian dan bahan bisik-bisik, apalagi seusai kejadian kemarin.

“Kenapa gak nyerocos tadi?” tanya Dava sambil melepas helm-nya dan turun dari motor.

“Mau ngomong apa juga gue udah bingung,” jawab Dena. “Gak biasanya kek gini.”

Dahi Dava berkerut, “Maksudnya?”

Dena tersenyum, “Kita ngomong kek gini aja, itu bukan hal biasa, Dav. Gue biasanya diabain, tapi kali ini lo mau bicara banyak sama gue. Seneng rasanya, makasih ya. Makasih karena akhirnya gue bisa ngerasain bicara sama lo kek orang lain, walau mungkin lo gak ingin.”

Senyumnya masih disana hingga gadis itu berbalik dan berjalan duluan, meninggalkan Dava yang masih termenung dengan ucapan Dena barusan.

Lo udah jahat banget, Dav, kalo Dena udah sampai ngerasa begitu.

Padahal bukan begitu. Dava ingin, ia tidak terpaksa berbicara dengan Dena.

Si lelaki mendengus sambil berjalan menuju ruang alat. Dahinya ia urut agar bisa berpikir tenang saat ini. Baru kemarin ia menyadari sesuatu yang aneh pada dirinya.

Aneh, karena belakangan ini Dena selalu ada dipikirannya namun baru kemarin ia sadar, kalau itu bukan hal yang biasa.

Bahkan nama Shirin tak datang saat ia sedang termenung atau berbaring di kamar.

Apa mungkin itu karena hanya ada Dena, Dena, dan Dena yang mengisi?

Bicara hati.


Dena datang dengan pocari sweat dan susu ultramilk dikedua tangannya. Kedatangan si gadis disadari oleh Dava yang tengah duduk dikursi panjang depan ruang alat, sampai Dena berdiri didepannya sambil menyodorkan tangan.

“Nih pocari,” kata Dena memberikannya pada Dava.

Ya, tidak ada alasan untuk menolak sih, jadi Dava terima.

Dena ikut duduk dikursi itu namun dengan jarak yang cukup terpaut. Keadaan yang sepi membuat suasana berkali lipat menjadi canggung.

“Seneng bisa langsung ngasih ke lo.”

Dava langsung menoleh pada Dena. Apa maksud si gadis? Apa tentang pocari sweat ini? Dava yang akhirnya paham cukup tersentak karena sadar bahwa pocari yang selama ini ia dapat selama latihan adalah dari Dena.

“Jangan kaget, lo bener kok. Pocari yang dikasih Sakha itu dari gue semua,” jelas Dena membenarkan pikiran Dava. “Hahaha maaf ya kalo awal-awal gue gatau lo gasuka mizone.”

Dava mengangguk asal dan memilih meneguk minuman yang tadi diberikan Dena. Sial, padahal ia yang menyuruh Dena kesini, tapi kenapa kini malah dia yang canggung tak karuan.

Suara siswa siswi yang bergemuruh menjadi spasi mereka. Dena tau, sesuatu yang akan dibicarakan Dava kali ini memaksanya untuk menyiapkan hati yang besar.

“Mau bicara apa?” tanya si gadis.

Helaan nafas terdengar dari dava, “Dena, lo gak capek?”

“Capek kenapa?”

“Suka sama gua,” kata Dava sambil menatap yakin pada Dena. “Suka sama gua ga bikin lo bahagia, Dena.”

Dena justru tersenyum, “Kalau soal bahagia mah tau lo hidup juga udah bikin gue bahagia, Dav.”

Mendengar itu, Dava benar-benar kehilangan kata. Ia tidak pernah tau tekad Dena sekuat ini. Tapi apakah yang dikatakan Dena hanya bualan semata? Dava harap itu iya.

Dava berusaha mencari kata ‘iya’ itu, namun semuanya seakan sulit dimengerti. Semakin dava mencoba membaca mata Dena tuk mencari kebenaran, malah ia yang seperti tersihir.

Tidak beres.

Dava memilih kembali menatap kedepan dengan hembusan nafas yang ia yakin Dena dengar.

“Dava, kata bersama gak pernah ada disaat gue mutusin buat jatuh ke lo. Gue sadar, itu gak mungkin,” jelas Dena membuat Dava menajamkan telinga. “Gue suka sama lo bukan karena obsesi mau pacaran atau apapun itu. Gak seperti yang lo bayangin, bahkan ngeliat lo datang sekolah dan lo baik-baik aja itu udah cukup.”

Dena semenyedihkan ini. Dia sadar tapi memilih untuk tidak berhenti. Padahal ada banyak lelaki diluaran sana, tapi kenapa dava?

Ada banyak pertanyaan yang ingin dava tanyakan tapi ia tahan. Ia tidak mau semakin menjadi jahat. Dia sudah cukup jahat pada si gadis selama ini.

Makanya hari ini, Dava ingin mengakhiri semuanya.

“Kalau boleh, gue izin suka sama lo sedikit lebih lama lagi ya? Karena gue tau, lo pasti paham kalau berhenti suka sama seseorang itu gak semudah ngucapinnya kan? Lo sendiri masih ada ditengah jalan antara move on atau kembali. Kita sama-sama perlu waktu, dav.”

Dava menoleh pada Dena, “Waktu ya?”

Si gadis mengangguk, “Iya waktu. Kita semua punya kesempatan masing-masing, siapa tau habis ini lo balikan sama Shirin kan?”

“Na?” sahut Dava yang terkejut.

Gadis ini, bagaimana bisa ia dengan mudahnya menyebutkan kalimat itu. Dava bertaruh bahwa ada rasa sakit dibalik senyuman dena yang ia pampangkan sehabis menyebut kalimat tadi.

“Hahaha serius deh, Shirin tuh masih suka sama lo Dav, lo kenapa gak ngejar dia sih?”

“Gak semudah itu Dena,” Dava terdiam sebentar. “Gua... Ragu.”

“Tentang kelakuan Shirin yang lalu?”

Dava mengangguk samar. Kejadian-kejadian beberapa bulan kebelakang tanpa permisi langsung terputar dikepalanya. Potongan kejadian Shirin yang selalu ada disetiap harinya, Shirin dengan senyum manisnya, Shirin dengan tawa dan tangisnya, sampai Shirin yang tak ia sangka melukai hatinya.

Dena mendengus, “Ikutin kata hati lo deh, Dav. Disitu ada jawabannya.”

Dena berdiri bersiap pergi karena jam pelajaran yang akan berganti. Tak lupa satu kalimat terakhir menjadi penutup, “Dan soal lo yang berharap gue berhenti, maaf belum bisa. Tapi gue usahain secepatnya.”

Sial, kalimat itu entah mengapa membuat pikiran si lelaki tak karuan.

Dava; perasaan aneh.


Sekarang sebagian kecil anak marching band sedang berada di ruang alat. Ruang alat mereka cukup luas sehingga sisa tempat di ruangan mereka diberi alas karpet dan ditaruh beberapa bantal agar mereka bisa beristirahat atau sekedar berkumpul saat jam istirahat seperti ini.

Ada Galen, Dava, Rendra, Assan, Sakha, Clara, Putri, dan Dena yang baru datang dengan membawa pop mie ditangan. Mereka sedang makan gorengan sama-sama, diiringi canda tawa dan sejenak melupakan apa yang terjadi antara Clara dan Shirin tadi pagi.

Di tengah keramaian itu, ada Dava yang masih saja memainkan stiknya membentuk ketukan-ketukan ritmis seorang diri dengan tatapan kosong.

Ada apa? Dia sedang memikirkan sesuatu? Dava sedang sedih? Itulah yang dipikirkan Dena.

“Heh Dav, sini makan dulu! Main mulu lo.”

“Hm.”

Perkataan Rendra tadi berhasil membuat Dava bergabung dengan mereka untuk makan gorengan bersama. Saat Dava akan mengambil sebilah tempe, saat itu juga tangannya tak sengaja bertabrakan dengan milik Dena, membuat keduanya saling menatap tepat dikedua bola mata.

Tapi setelahnya langsung diputus duluan oleh Dena. Dena memilih kembali untuk memakan pop mie saja, napasnya terhela pelan serta ratusan perasaan tak enak langsung muncul.

“Hah, pasti Dava risih.” pikir Dena dalam hati.

Padahal, jauh didalam lubuk hati Dava, ia merasa bersalah. Entah mengapa perasaan itu timbul.

Galen yang mengetahui kecanggungan antara Dava dan Dena langsung mengalihkan perhatian, “H-4 woy ga kerasa,” katanya.

“Kerasa ya anjir! Kita loh latihan setiap hari, lo doang tuh!” sahut Clara dengan tidak santai.

Semuanya langsung tertawa, apalagi Rendra dan Assan yang sampai mengejek untuk menggoda Galen. Rumornya, Galen punya perasaan yang lebih untuk Clara, tapi ia ditolak dengan alasan Clara lagi gamau punya hubungan. Lebih asik temenan katanya, biar gak terikat.

Ada-ada aja si Clara.

Tapi dibalik semua itu, semuanya sadar. Mereka bersyukur Galen dan Clara membawa mereka keluar dari kecanggungan tadi.

“Hah, terserah ibu fieldco ajadah,” dengus Galen menyerah.

Dena tersenyum melihat kawanannya hingga ia teringat akan sesuatu, “Eh, hari ini kita latihan di lapangan mana?”

“Kalo sampai di lapangan pemuda, gue mau Dena jalan gendong gue kesana!” kata Putri yang membuat Dena membelalakkan mata.

“Heh apa-apaan?! Aneh-aneh aja lo!”

“Hahaha di lapangan sekolah kok, Na,” ucap Galen menengahi keduanya.

“Widih serius? Siapa yang nego ke Haje? Lo lagi Dav?” tanya Assan.

Pertanyaan Assan hanya dibalas deheman oleh Dava karena ia yang sedang memakan tahu isi. Dava dan Haje memang dekat karena dulu berasal dari SMP yang sama, makanya Galen selalu mempercayakan negosiasi ke paskib pada Dava.

“Mereka latihan apa sih?” tanya Clara. “Mau LKBB?” *Lomba Ketangkasan Baris Berbaris.

Dava mengangguk, “Makanya latihan setiap hari juga.”

Mereka yang di ruang alat menganggukkan kepala paham sambil kembali lanjut makan gorengan. Lapangan pemuda memang tidak jauh sangat sih dari sekolah, yang membedakan adalah panas mataharinya. Di sekolah masih bisa tertutupi oleh gedung, kalau disana langsung disambut.

Anak paskib sebenarnya tidak terlalu masalah akan hal itu, tapi ada satu orang yang selalu tidak terima.

“Perasaan tadi si Shirin ngomel gamau latihan disana?” tanya Clara lagi yang langsung membuat keadaan berubah senyap.

Semua mata saling pandang, dan Dava tau, pertanyaan ini memang harus dijawab oleh dia.

“Gua sama Shirin udah bicara tadi,” jawab Dava. “Berdua.”

Sial, rasanya Dena ingin menjadi batu sekarang.

Dava; perasaan aneh.


Sekarang sebagian kecil anak marching band sedang berada di ruang alat. Ruang alat mereka cukup luas sehingga sisa tempat di ruangan mereka diberi alas karpet dan ditaruh beberapa bantal agar mereka bisa beristirahat atau sekedar berkumpul saat jam istirahat seperti ini.

Ada Galen, Dava, Rendra, Assan, Sakha, Clara, Putri, dan Dena yang baru datang dengan membawa pop mie ditangan. Mereka sedang makan gorengan sama-sama, diiringi canda tawa dan sejenak melupakan apa yang terjadi antara Clara dan Shirin tadi pagi.

Di tengah keramaian itu, ada Dava yang masih saja memainkan stiknya membentuk ketukan-ketukan ritmis seorang diri dengan tatapan kosong.

Ada apa? Dia sedang memikirkan sesuatu? Dava sedang sedih? Itulah yang dipikirkan Dena.

“Heh Dav, sini makan dulu! Main mulu lo.”

“Hm.”

Perkataan Rendra tadi berhasil membuat Dava bergabung dengan mereka untuk makan gorengan bersama. Saat Dava akan mengambil sebilah tempe, saat itu juga tangannya tak sengaja bertabrakan dengan milik Dena, membuat keduanya saling menatap tepat dikedua bola mata.

Tapi setelahnya langsung diputus duluan oleh Dena. Dena memilih kembali untuk memakan pop mie saja, napasnya terhela pelan serta ratusan perasaan tak enak langsung muncul.

Hah, pasti Dava risih.” pikir Dena dalam hati.

Padahal, jauh didalam lubuk hati Dava, ia merasa bersalah. Entah mengapa perasaan itu timbul.

Galen yang mengetahui kecanggungan antara Dava dan Dena langsung mengalihkan perhatian, “H-4 woy ga kerasa,” katanya.

“Kerasa ya anjir! Kita loh latihan setiap hari, lo doang tuh!” sahut Clara dengan tidak santai.

Semuanya langsung tertawa, apalagi Rendra dan Assan yang sampai mengejek untuk menggoda Galen. Rumornya, Galen punya perasaan yang lebih untuk Clara, tapi ia ditolak dengan alasan Clara lagi gamau punya hubungan. Lebih asik temenan katanya, biar gak terikat.

Ada-ada aja si Clara.

Tapi dibalik semua itu, semuanya sadar. Mereka bersyukur Galen dan Clara membawa mereka keluar dari kecanggungan tadi.

“Hah, terserah ibu fieldco ajadah,” dengus Galen menyerah.

Dena tersenyum melihat kawanannya hingga ia teringat akan sesuatu, “Eh, hari ini kita latihan di lapangan mana?”

“Kalo sampai di lapangan pemuda, gue mau Dena jalan gendong gue kesana!” kata Putri yang membuat Dena membelalakkan mata.

“Heh apa-apaan?! Aneh-aneh aja lo!”

“Hahaha di lapangan sekolah kok, Na,” ucap Galen menengahi keduanya.

“Widih serius? Siapa yang nego ke Haje? Lo lagi Dav?” tanya Assan.

Pertanyaan Assan hanya dibalas deheman oleh Dava karena ia yang sedang memakan tahu isi. Dava dan Haje memang dekat karena dulu berasal dari SMP yang sama, makanya Galen selalu mempercayakan negosiasi ke paskib pada Dava.

“Mereka latihan apa sih?” tanya Clara. “Mau LKBB?” *Lomba Ketangkasan Baris Berbaris.

Dava mengangguk, “Makanya latihan setiap hari juga.”

Mereka yang di ruang alat menganggukkan kepala paham sambil kembali lanjut makan gorengan. Lapangan pemuda memang tidak jauh sangat sih dari sekolah, yang membedakan adalah panas mataharinya. Di sekolah masih bisa tertutupi oleh gedung, kalau disana langsung disambut.

Anak paskib sebenarnya tidak terlalu masalah akan hal itu, tapi ada satu orang yang selalu tidak terima.

“Perasaan tadi si Shirin ngomel gamau latihan disana?” tanya Clara lagi yang langsung membuat keadaan berubah senyap.

Semua mata saling pandang, dan Dava tau, pertanyaan ini memang harus dijawab oleh dia.

“Gua sama Shirin udah bicara tadi,” jawab Dava. “Berdua.”

Sial, rasanya Dena ingin menjadi batu sekarang.

Adena; jatuh cinta sialan,


Jam tiga kurang dua puluh menit, dan lapangan sekolah sudah terdengar ramai, membuat Dena dan Putri sedikit pesimis. Sepertinya anak-anak paskib sudah datang duluan.

Dena yang memilih berputar berjalan balik langsung ditarik oleh Putri untuk tetap berjalan ke lapangan. Cek dulu katanya, siapa tau bukan manusia.

Ada-ada aja.

Dan, langkah Dena terasa makin berat saat mengetahui kalau penghuni lapangan saat ini ialah si empat lelaki. Galen si ketua MB, Dava sebagai wakil, serta Rendra dan Assan sebagai tim sukses. Seketika Dena meruntuki dirinya karena memaksa datang cepat.

“Buset cepet bener lo bedua,” kata Assan yang melihat kedatangan mereka.

Membuat keempat lelaki yang tadinya asik berbincang itu menoleh menatap dua gadis ini. Dena tersenyum kikuk, apalagi saat tak sengaja bersinggung pandang dengan Dava.

Putri ikut duduk bersama mereka, “Takutnya anak paskib latian, makanya cepet-cepet kesini.”

“Hahaha sama sih,” gelak Assan. “Nih makan, Galen beli keripik banyak banget tadi.”

“Dena, sini duduk,” ajak Rendra diiringi lambaian tangan oleh Galen.

Si gadis mengangguk dan duduk diantara Putri dan Assan. Sialnya, tepat di depan Dena adalah Dava, dengan tatapan tak acuhnya, tanpa memperdulikan angin yang membuat rambutnya terbang sedikit acak.

Dava yang tadinya banyak bicara kini berubah pasif, ia mengasikkan diri sendiri dengan memukulkan stiknya membentuk nada ritmis pada lantai semen lapangan. Ah, semakin dillihat, semakin juga Dena jatuh pada pesona Dava. Walau kenyataannya si lelaki tidak menaruh peduli.

Disaat Dena masih sibuk dengan pikirannya yang penuh mengangumi Dava, disaat itu juga si lelaki tiba-tiba menoleh menatap Dena yang kini sedang kalang kabut karena ketahuan.

“Sial.”

“Kenapa Na?” tanya Putri disela-sela pembicaraan serunya dengan Galen, Rendra dan Assan.

“Hehehe engga, gue kedepan dulu deh mau jajan, lo ikut?”

“Malesss ah,” rengek Putri sambil mengambil lagi keripik tadi.

“Sama gue aja.” ajak Assan.

mata Dena langsung berbinar, “Ihiyyy ayo San!”

Bangkitnya Assan dan Dena membuat ketenangan Dava cukup terusik. Mau kemana mereka? Karena jujur, sedari tadi Dava seolah menulikan telinganya akan pembicaraan kawanannya itu.

“Napa lo ngeliatin? Mau ikut juga?” singgung Assan pada Dava.

“Ogah,” ucapnya tak minat sambil kembali memainkan stik.

Terserah apa katanya, si gadis sudah biasa dengan semua penolakan itu. Toh, apa yang mau diharapkan? Dava tiba-tiba ikut? Mustahil. Dia tersenyum pada Dena saja tidak pernah. Kalau sampai Dava tersenyum, wah, Dava pasti sedang kerasukan setan.

Meninggalkan situasi tadi, sebenarnya alasan Dena untuk belanja di depan sekolah adalah untuk menjauh. Ia tidak bisa memaksa ada didekat Dava kalau ia tidak mau. Si gadis sadar, inilah konsekuensinya.

Dasar jatuh cinta sialan.

Dena mengambil minuman isotonik sedangkan Assan membeli pop ice rasa mangga.

“San! Gue bilangin Galen ya lo!”

“Ayolah Na, pop ice doang, fisik gue kuat kok.”

Dena mendengus, “Serah lo dah, abisin disini!”

Assan tersenyum lebar lalu kembali menyedot pop icenya. Anak-anak MB memang dilarang oleh Galen dan coach mereka untuk minum es ketika akan mengikuti kegiatan dalam waktu dekat, katanya bisa bikin fisik jadi tidak seimbang. Apalagi nanti pawai, perjalanannya jauh.

Kalau yang pingsan Assan siapa coba yang mau gendong?

“Anjing ada nak paskib.”

Dena menolehkan wajahnya melihat rombongan anak paskib yang mulai berdatangan ke sekolah. Beberapa dari mereka melawati para penjual jajajan dimana Assan dan Dena ada disana, bahkan banyak yg menyapa Assan.

Jangan kaget, Assan dan ketiga temannya itu memang sudah kelewat populer kalau di Neo, jadi tidak heran semua orang mengenal mereka. Beda cerita kalau dengan Dena.

“Heh san,” sapa seorang gadis.

“Paan.”

“MB latihan di lapangan?”

“Hooh,” jawab Assan sekenanya.

“Anjirlah paskib gimana dong.”

Assan mengedikkan bahu, “Kaga tau, ngomong sana sama ketua gue didalem.”

“Ada Dava?”

“Ada noh.”

“Oh okedeh.”

Shirin, dia mantan Dava. Putus sebulan lalu dan entah karena apa. Saat melihat Shirin, Dena semakin yakin untuk hanya sekedar menyukai Dava saja, untuk memimpikan bersama dengannya Dena nampak pesimis.

Shirin si cantik, dewi sekolah, anak paskibra, dan beritanya nanti saat 17an dia yang akan menjadi pembawa baki Bendera Merah Putih. Banyak hal baik di Shirin yang tentunya membuat sulit bagi dava untuk move on. dena mengerti, ia mengerti dengan seluruh hatinya yang berusaha damai.

“Lo kenal Shirin, Na?”

“Tau doang,” jawab Dena jujur. “Cantik ya?”

“Hm, lo juga cantik kali.”

“Kalo itu sih gue juga tau,” sahut si gadis sambil tertawa kecil.

Assan ikut tertawa geli sambil kembali menyedot minumannya.

“Dava masih ngeliat ke Shirin, itu yang gue gak tau alasannya.”

Assan langsung tersedak, perasa mangga memenuhi kepalanya.

## Adena; jatuh cinta sialan.


Jam tiga kurang dua puluh menit, dan lapangan sekolah sudah terdengar ramai, membuat Dena dan Putri sedikit pesimis. Sepertinya anak-anak paskib sudah datang duluan.

Dena yang memilih berjalan balik langsung ditarik oleh Putri untuk tetap berjalan ke lapangan. Cek dulu katanya, siapa tau bukan manusia.

Ada-ada aja.

Dan, langkah Dena terasa makin berat saat mengetahui kalau penghuni lapangan saat ini ialah si empat lelaki. Galen si ketua MB, Dava sebagai wakil, serta Rendra dan Assan sebagai tim sukses. Seketika Dena meruntuki dirinya karena memaksa datang cepat.

“Buset cepet bener lo bedua,” kata Assan yang melihat kedatangan mereka.

Membuat keempat lelaki yang tadinya asik berbincang itu menoleh menatap dua gadis ini. Dena tersenyum kikuk, apalagi saat tak sengaja bersinggung pandang dengan Dava.

Putri ikut duduk bersama mereka, “Takutnya anak paskib latian, makanya cepet-cepet kesini.”

“Hahaha sama sih,” gelak Assan. “Nih makan, Galen beli keripik banyak banget tadi.”

“Dena, sini duduk,” ajak Rendra diiringi lambaian tangan oleh Galen.

Si gadis mengangguk dan duduk diantara Putri dan Assan. Sialnya, tepat di depan Dena adalah Dava, dengan tatapan tak acuhnya, tanpa memperdulikan angin yang membuat rambutnya terbang sedikit acak.

Dava yang tadinya banyak bicara kini berubah pasif, ia mengasikkan diri sendiri dengan memukulkan stiknya membentuk nada ritmis pada lantai semen lapangan. Ah, semakin dillihat, semakin juga Dena jatuh pada pesona Dava. Walau kenyataannya si lelaki tidak menaruh peduli.

Disaat Dena masih sibuk dengan pikirannya yang penuh mengangumi Dava, disaat itu juga si lelaki tiba-tiba menoleh menatap Dena yang kini sedang kalang kabut karena ketahuan.

“Sial.”

“Kenapa Na?” tanya Putri disela-sela pembicaraan serunya dengan Galen, Rendra dan Assan.

“Hehehe engga, gue kedepan dulu deh mau jajan, lo ikut?”

“Malesss ah,” rengek Putri sambil mengambil lagi keripik tadi.

“Sama gue aja.” ajak Assan.

mata Dena langsung berbinar, “Ihiyyy ayo San!”

Bangkitnya Assan dan Dena membuat ketenangan Dava cukup terusik. Mau kemana mereka? Karena jujur, sedari tadi Dava seolah menulikan telinganya akan pembicaraan kawanannya itu.

“Napa lo ngeliatin? Mau ikut juga?” singgung Assan pada Dava.

“Ogah,” ucapnya tak minat sambil kembali memainkan stik.

Terserah apa katanya, si gadis sudah biasa dengan semua penolakan itu. Toh, apa yang mau diharapkan? Dava tiba-tiba ikut? Mustahil. Dia tersenyum pada Dena saja tidak pernah. Kalau sampai Dava tersenyum, wah, Dava pasti sedang kerasukan setan.

Meninggalkan situasi tadi, sebenarnya alasan Dena untuk belanja di depan sekolah adalah untuk menjauh. Ia tidak bisa memaksa ada didekat Dava kalau ia tidak mau. Si gadis sadar, inilah konsekuensinya.

Dasar jatuh cinta sialan.

Dena mengambil minuman isotonik sedangkan Assan membeli pop ice rasa mangga.

“San! Gue bilangin Galen ya lo!”

“Ayolah Na, pop ice doang, fisik gue kuat kok.”

Dena mendengus, “Serah lo dah, abisin disini!”

Assan tersenyum lebar lalu kembali menyedot pop icenya. Anak-anak MB memang dilarang oleh Galen dan coach mereka untuk minum es ketika akan mengikuti kegiatan dalam waktu dekat, katanya bisa bikin fisik jadi tidak seimbang. Apalagi nanti pawai, perjalanannya jauh.

Kalau yang pingsan Assan siapa coba yang mau gendong?

“Anjing ada nak paskib.”

Dena menolehkan wajahnya melihat rombongan anak paskib yang mulai berdatangan ke sekolah. Beberapa dari mereka melawati para penjual jajajan dimana Assan dan Dena ada disana, bahkan banyak yg menyapa Assan.

Jangan kaget, Assan dan ketiga temannya itu memang sudah kelewat populer kalau di Neo, jadi tidak heran semua orang mengenal mereka. Beda cerita kalau dengan Dena.

“Heh san,” sapa seorang gadis.

“Paan.”

“MB latihan di lapangan?”

“Hooh,” jawab Assan sekenanya.

“Anjirlah paskib gimana dong.”

Assan mengedikkan bahu, “Kaga tau, ngomong sana sama ketua gue didalem.”

“Ada Dava?”

“Ada noh.”

“Oh okedeh.”

Shirin, dia mantan Dava. Putus sebulan lalu dan entah karena apa. Saat melihat Shirin, Dena semakin yakin untuk hanya sekedar menyukai Dava saja, untuk memimpikan bersama dengannya Dena nampak pesimis.

Shirin si cantik, dewi sekolah, anak paskibra, dan beritanya nanti saat 17an dia yang akan menjadi pembawa baki Bendera Merah Putih. Banyak hal baik di Shirin yang tentunya membuat sulit bagi dava untuk move on. dena mengerti, ia mengerti dengan seluruh hatinya yang berusaha damai.

“Lo kenal Shirin, Na?”

“Tau doang,” jawab Dena jujur. “Cantik ya?”

“Hm, lo juga cantik kali.”

“Kalo itu sih gue juga tau,” sahut si gadis sambil tertawa kecil.

Assan ikut tertawa geli sambil kembali menyedot minumannya.

“Dava masih ngeliat ke Shirin, itu yang gue gak tau alasannya.”

Assan langsung tersedak, perasa mangga memenuhi kepalanya.