18; baik dan buruk.
Anindya dan Kiara keluar dari mobil yang terparkir. Hari sudah malam, dan cafe milik Jana juga terlihat sepi.
“Cuma kita berdua aja, Ki?
“Gak kok, yang lain juga pada otw kesini. Kita masuk duluan aja Nin,” ajak Kiara yang diangguki Anin.
Keduanya masuk kedalam yang langsung disambut oleh seorang waitress. Anindya memperhatikan interior cafe yang sangat indie kalau kata orang-orang. Ia suka sekali dengan suasananya. Ia terus memperhatikan setiap sudut ruangan sambil tersenyum.
Sedangkan Kiara, ia terus terfokus pada ponsel. Bahkan walau mereka sudah duduk berhadapan.
“Ki, kamu lagi ngechat Jana, Sharen, sama Cella?”
Kiara yang terkejut menjawab dengan gelagapan, “E-eh iya, Nin. Lagi aku marahin nih abisnya lama banget.”
Anindya mengangguk-angguk dan kembali memperhatikan cafe yang sepi.
Ting!
Ponsel Anin berbunyi menampilkan sebuah pesan dari Kak Dery yang membuat Anin luar biasa kaget, mulutnya sampai terbuka lebar.
Anin segera membalas pesan itu, namun setelahnya listrik cafe tiba-tiba padam.
“Kiara!!”
“Tenang, Nin. Gue disini kok!” seru Kiara sambil menggenggam tangan Anin.
Tidak, bukannya Anindya takut gelap. Ia hanya memastikan Kiara tetap ditempatnya karena takut ia kenapa-napa.
Anin meruntuk didalam hati, kemana sebenarnya ketiga temannya itu? Mana listrik di cafe ini tak kunjung juga nyala.
Terdengar suara lonceng dari pintu cafe yang menandakan ada orang masuk. Orang itu langsung mendapat atensi Anin karena wajahnya yang menjadi warna kekuningan karena sebuah lilin.
Tangan Kiara terlepas dari Anin, ia pergi dengan sangat perlahan agar tidak ketahuan gadis itu.
Sedangkan Anin, pandangannya masih terpaku pada orang itu tadi. Ia tersenyum hangat, berjalan menuju Anindya,
“Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun..”
Anin berdiri dari duduknya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Selamat ulang tahun Anindya..”
Haksa berhenti dihadapan Anin.
“Selamat ulang tahun.” Haksa mengakhiri nyanyiannya.
Anindya tak kuasa menahan senyuman lebarnya. Anin masih sulit percaya bahwa yang berdiri didepannya ini adalah Haksa, lelaki yang belakangan ini hadir di hidup Anin.
Bahkan ia tidak ingat hari ini hari ulang tahunnya kalau tidak di chat oleh Kak Dery barusan tadi.
“Haksa..”
“Make a wish dulu, Nin. Habis itu baru peluk.”
Haksa menatap Anindya lembut, bahkan hanya dengan cahaya lilin, wajah cantik Anindya tetap tak tertandingi.
Si gadis menutup matanya damai, mengucapkan semua harapannya dalam hati yang semoga mau didengarkan tuhan.
“Ayo tiup lilinnya!” seru Haksa.
Dengan hati yang berdebar Anindya maju lalu meniup lilin itu.
Lilin mati, dan lampu kembali nyala.
“HAPPY BIRTHDAY ANIN!!!”
Semua orang keluar dari persembunyiannya, lagu selamat ulang tahun dari Jamrud pun terputar dari sound cafe yang diikuti nyanyian dari kawanannya.
“Hari ini hari yang kau tunggu..
Bertambah satu tahun..”
Airmatanya menetes. Ia tidak pernah mendapat kejutan ulang tahun seperti ini. Biasanya hanya merayakan bertiga bersama Lintang dan budenya. Kali ini ia memiliki lebih banyak teman.
Di tengah-tengah lagu yang masih berputar, ada Renald yang memegang mic sambil bernyanyi, Nalendra yang juga ikut-ikutan tapi pakai sapu, Jevan yang asik mencolekkan krim kue pada wajah Sharen, juga Jana, Cella, dan Kiara yang bernyanyi dengan teriak-teriak sambil membuat insta story.
Lalu Haksa? Tentu saja ia asik memandangi wajah Anindya yang ketara sekali sedang bahagia. Ia terus mengucap syukur dalam hati karena senyum Anin yang tidak luntur daritadi.
“Nin,” panggil Haksa sambil merentangkan tangan.
Detik selanjutnya Anindya sudah berada di dekapan Haksa.
“Selamat 18, Nin. Selamat bertumbuh, selamat menyambut hari-hari bahagia.”
“Terimakasih Haksa,” Anindya tersenyum didalam peluk, “Tapi hari sedihnya?”
“Gausah disebut, ga diundang.”
Keduanya terkekeh, berpelukan seakan dunia hanya milik berdua.
“EKHEM!”
Anindya segera melepas pelukan mereka. Wajahnya juga sudah memerah, kalau Haksa sih malah suka lihat wajah Anin yang begitu.
“Nanti dilanjut lagi ya. Sekarang ayo makan-makan!” ajak Cella.
Mereka duduk di kursi dan meja café yang sudah disatukan sehingga jadi panjang.
“Nin ayo potong kuenya, bikinan Haksa loh!” kata Sharen yang mendapat tatapan tajam dari Haksa.
“Hahaha bener Nin! Haksa seharian ini udah 3x bikin kue tau dan cuma ini yang berhasil,” jelas Jana sambil memberi pisau pada Anin.
Semuanya tertawa mengingat bagaimana perjuangan Haksa membuat kue di rumah Cella dari tadi pagi hingga baru selesai tadi sore.
“Lo tuh sok-sokan Sa, katanya pernah nonton orang bikin kue langsung taunya cuma liat youtube, anjirlah!” protes Nalendra yang membuat mereka tertawa.
Mereka semua berkumpul di rumah Cella dari tadi pagi demi membantu Haksa melancarkan misi kejutan ulang tahun Anin. Pokoknya Haksa tidak mau sekali ada yang membantunya dalam membuat kue, mereka cuma boleh mengoreksi saja kalau ada yang salah.
Teman-teman yang lain sih maklum saja, tapi kalau Cella ya gregetan sekali. Kan yang dipakai itu dapur rumah dia.
Haksa benar-benar try and error. Walau godaannya diajak main ps 5 sama Jevan, Renald, dan Nalendra, ia tetap diam di dapur sambil diawasi para teman perempuannya.
Emang keren Haksa ini.
“Enak kok ini kuenya!” seru Anin menatap Haksa meyakinkan.
“Serius?”
“Serius Sa, nih cobain deh,” kata Anin sambil memberi sepiring kue pada Haksa.
Ya, Haksa tentunya merasa pesimis. Plating kuenya memang bagus, tapi kalau rasanya ia tidak yakin.
Haksa menyendokkan kue itu ke mulutnya dan, “WOY INIMAH ENAK NJIR! COBAIN DAH CEPET!”
Semuanya menatap tak percaya, apalagi ketiga teman Haksa itu. Wajah mereka yang paling menaruh curiga.
“LOH ENAK?” kejut Jana.
“Hahaha yang ini berhasil untung gak gosong,” kata Cella.
“Sa jujur deh, lo beli 'kan?” tanya Renald.
Mata Haksa membulat, “HEH GUE SEHARIAN DI DAPUR BIKIN NI KUE JING! ENAK AJA SINI LO SINI.”
Haksa mengejar Renald, keduanya terus berdebat karena Renald yang tidak percaya kalau itu adalah kue bikinan Haksa. Mereka jadi adu mulut, tidak ada yang mau ngalah. Pokoknya ada saja yang bikin ketawa.
“Tadi pas sebelum masuk sini, Haksa overthinking banget Nin takut kuenya gak enak,” tambah Jevan yang membuat mereka tertawa.
“WOI JANGAN CEPU!” teriak Haksa dari sudut ruangan.
Tawa terus keluar dari bibir Anin dan semua orang yang ada disana. Rasa bahagia benar-benar membuncah di hati Anin.
Hari yang tidak terduga.
Sekarang mereka semua sudah benar-benar duduk, memakan makanan yang sudah di pesan Haksa dari tadi maghrib dari sebuah restoran, sambil bercanda juga mengusili satu sama lain.
Saat sedang asik bercerita dengan mereka, tiba-tiba ponsel Anin berbunyi menampilkan nama ibunya Kak Dery disana. Anin segera pamit sedikit menjauh untuk mengangkat telpon, dan itu tidak lepas dari mata Haksa.
Anin berbicara sangat kecil, lebih ke berbisik. Tapi masih bisa Haksa tebak kata-katanya dari gerak bibir.
“Hah, pindah ke Bogor?” kejut Anin tertahan.
Haksa langsung mematung. Anin diujung sana juga sama.
Anindya menghela nafasnya, “Iya tante terimakasih, sampai ketemu besok.”
Telponnya terputus, menyisakan wajah Anin yang tidak dapat dijelaskan.
Rasanya campur aduk. Anindya berjalan kembali ketempat duduknya, membuat Haksa langsung melakukan kegiatan lain.
Cukup lama sudah telpon itu berakhir dan Anindya jadi lebih diam walau senyum dan tawanya terus mengembang.
Haksa khawatir, ia takut tentang apa yang ia dengar.
“Woi makan! malah melamun,” suruh Renald pada Haksa.
“Cih, sok perhatian,” sewot Haksa sambil diakhiri dengan lidah yang dijulurkan mengejek.
Ruangan itu kembali dipenuhi tawa, seperti sudah hal yang biasa.
Tidak papa begini. Setidaknya Haksa mendengar lagi suara tawa Anin.
Walau ada ketakutan dalam hatinya, setidaknya Anindya ada disampingnya.
Untuk malam ini.