Perpustakaan; tentang jujur.

H-1.

Sore itu para anak-anak yang akan mengikuti olimpiade berkumpul di perpustakaan. Ada rompi yang akan dibagikan pada mereka untuk lomba esok hari.

Rompi itu sebagai pembeda dengan sekolah lain saja, sekaligus hasil dari kebaikan hati kepala sekolah SMA Neo yang katanya anak-anak olim sudah sangat berprestasi, jadi ia beri hadiah kecil.

“Bu, yang ukuran M sudah habis ya?” tanya Anin.

Yang tersisa tinggal ukuran besar semua, dan ditangan Anin ada rompi berukuran XL. Itupun hasil dari rebutan dengan anak lain.

“Aduh, iya Nin. Kata penjahitnya yang ukuran kecil emang sedikit soalnya dia ngira anak SMA itu tubuhnya pada gede-gede,” jelas Bu Arum.

“Buset dah, dikira kita titan apa?” runtuk Kresna yang membuat semuanya tertawa.

Anindya menggeleng memaklumi sambil tertawa kecil.

Ia melipat rompi yang ia dapat dan bersiap memasukkannya kedalam tas, sebelum…

“Nih, sini yang itu.”

Anin sedikit tersentak. Seseorang melempar rompi padanya dan tangannya meminta rompi yang ada ditangan Anin.

“Sini Anin,” ulangnya.

Anindya pun memberikan miliknya pada Lintang. Iya, itu lintang tapi sedikit berbeda.

“Itu L bukan M, tapi seenggaknya gak terlalu kegedean.”

“Makasih Lintang, tapi kamu pakai yang itu gapapa?”

Lintang tersenyum walau sedikit tidak ihlas, “Gue selalu gapapa, Nin.”

Anin seperti terhipnotis mendengarnya. Lintang sudah beranjak, tapi Anin masih memikirkan kata itu.

“Dia, kenapa?” bisik Anin kecil.


“Karena kalian semua sudah dapat rompi, setelah ini boleh pulang ke rumah masing-masing. Malam ini saya mau kalian tidak ada yang belajar, lebih baik kalian dengerin lagu atau nonton film. Otak kalian harus rileks dan kalian juga.”

Semuanya mengangguk dan mendengarkan Bu Arum dengan khidmat.

“Besok sarapan dahulu di rumah, karena konsumsinya masih belum jelas kapan datang. Lalu, ibu kasih saran, daripada mengejar juara lebih baik diubah menjadi kalian harus memberikan yang terbaik, untuk diri kalian sendiri, untuk sekolah, untuk NEO kita tercinta.”

“Saya percaya sama kalian. Kalian adalah anak-anak hebat yang pernah saya temui. Besok ayo berikan yang terbaik, NEO’S PRIDE!!!” teriak Bu Arum.

“NEO’S PRIDE!!!” teriak kami semua semangat.

Setelahnya mereka saling berpelukan, memberikan kekuatan untuk orang-orang yang ada di samping mereka.

Selalu seperti ini, setiap akan lomba pasti pas H-1 rasanya ingin menangis. Gak kerasa waktu cepat berlalu, kata Anindya di dalam hati.

“Yok semangat yok besok!” seru Jana.

“Semangat!” seru Anindya dengan anak-anak lainnya.

Anindya melihat Lintang yang sedang tertawa senang bersama anak olimpiade biologi di ujung sana.

Ia juga ikut tersenyum, lalu berjalan mendekatinya.

“Lintang, semangat besok!” seru Anin sambil menawarkan tos yang biasa mereka lakukan.

Lintang menoleh lalu tersenyum, dan pergi.

Pergi karena ada kawannya yang memanggil untuk berfoto bersama.

Tangan Anindya masih diudara, tidak ada balasan.

Ada apa? Kenapa Lintang, sedikit berubah?

“Anin!”

“Ayam Bebek Kambing!” teriak Anin terkejut sedangkan Jana tertawa geli.

“Kenapasih Janaaaa?”

“Lo serius pulangnya gak ikut gue? Janganlah, kan gue yang jemput.”

“Iya serius Janaaaaaa. Ada yang mau aku lakuin.”

Jana menatap Anin sipit, “Oh jangan-jangan lo mau ngelakuin yang iya iya, ya?”

“Ya ampun Jana, istighfar!”

Jana tertawa kecil, “Astagfirullah..”

Perpustakaan seketika sudah sepi, bahkan Lintang juga tidak ada. Mereka semua sudah pulang, tapi anak-anak Neo belum karena belum jam pulang.

“Gue pulang, Nin. Lo serius?”

Anin mengangguk mantap, “Iya Jana, serius.” Anin mendorong tubuh Jana yang dibalasnya dengan tawa, “Udah sana cepet pulang, terimakasih ya tadi, hati-hati!”

Jana terkekeh sambil membentuk tanda ‘okay’ ditangannya.

Anindya tidak sendiri di perpus, masih ada ibu penjaga yang setia menunggu sampai jam pulang.

Anin pun memilih untuk duduk dikursi yang menghadap langsung ke lapangan belakang.

Kosong, tim bola sudah selesai latihan.

Langit juga ternyata berubah mendung, sepertinya semesta mendukung kegiatan Anindya. Kegiatan yang berisi tentang menenangkan diri sebelum hari esok, memikirkan apa Haksa sudah sampai dirumah, dan juga tentang Lintang yang mulai berubah.


“Anjing ketinggalan!” ia berseru, itu Haksa.

Haksa menatap langit yang ternyata sudah mendung, tapi mau gimana lagi, ia harus balik ke sekolah. Bisa-bisanya ponselnya tertinggal di dalam loker saat tadi ganti baju.

Haksa langsung menjalankan motornya menuju sekolah. Pukul 4 sore dan hari sudah menggelap. Haksa terus melajukan motornya.

Sampai, motornya sudah terparkir di lapangan belakang. Tapi yang menarik perhatiannya malah seorang gadis yang sedang duduk dengan tatapan kosong di perpus atas sana.

Haksa langsung bergegas masuk menuju lokernya. Untung ponselnya masih disana. Tepat saat Haksa menutup lokernya, hujan lebat datang.

Anindya.

Haksa langsung berlari kearah kantin dan membeli 2 gelas teh hangat yang di taruh digelas plastik.

Dengan hati-hati ia berjalan menuju perpustakaan dengan 2 tangan yang penuh.

Krieett!

Pintu perpustakaan terbuka dengan dorongan kaki Haksa. Ia sedikit membungkuk sebagai izin untuk masuk pada Ibu penjaga perpus.

Haksa berjalan lurus, lalu mendudukkan diri dikursi di samping gadis itu.

Keduanya sama-sama menatap kaca besar dihadapan mereka yang menyajikan lapangan belakang sekolah yang sangat basah.

“Jadi teh dingin nanti kalau gak kamu minum sekarang.”

Haksa menoleh, Anindya tersenyum.

Haksa menggeserkan segelas teh tadi pada Anin, “Untuk lo, Nin. Supaya hangat.”

Anin tersenyum, “Terimakasih, Haksa.”

Kedua menyesap teh hangat tadi, beruntung belum menjadi dingin, jadi bisa menghangatkan tubuh.

“Kenapa gak chat gue kalo masih disini?”

“Emang kenapa?”

“Biar gue bisa jemput lebih cepat, Nin.”

Anindya tersenyum, “Enggak perlu, Sa. Emangnya kamu ojek aku? Aku juga gak keberatan kalau pulang naik ojol atau bis kota, seru malah.” Anin menjelaskan dengan senyum yang teramat manis.

“Tapi hujan, Nin,” kata Haksa memelas.

“Kenapa? Kamu gak suka hujan ya?” tanya Anindya penasaran.

Haksa mengangguk sambil menatap kedepan, “Ribut Nin, apalagi kalo ada petir, bikin istighfar terus.”

Ia terkekeh, Anin maksudnya.

“kalau aku sih suka hujan, tapi lebih suka sama langit sih.”

Haksa balik menatap Anin, “Suka langit ya? Gue kira lo lebih suka bulan.”

“Aku lebih suka langit, Sa. Kan namaku artinya juga langit.”

“HAH?!” kejut Haksa yang juga membuat Anin kaget.

“Eh.. kenapa?”

“Nama lo artinya langit?!”

Anin mengangguk, “Iya, Nabastala itu artinya langit, Haksa.”

“ANJIR GUE DITIPU!!” seru Haksa tidak terima.

“Hah? Siapa yang nipu?” tanya Anin bingung.

“NALEN! AH NALENDRA ANJING SEHARUSNYA GUE GAK USAH PERCAYA!”

“Shuutt..”

Baik Anindya dan Haksa langsung terdiam dan menunduk meminta maaf pada Ibu penjaga perpus. Padahal tidak ada orang disini, tapi yasudahlah.

“Kenyaringan, Sa.” Ucap Anin sambil tertawa.

Haksa juga ikut, “Hahaha sorry, Nin. Tapi kalo Nalen tetep Anjing.”

“Kenapa sih?”

“Kata Nalen, Nabastala itu artinya bulan. Mana gue percaya lagi.” Haksa menggelengkan kepala tak percaya.

Anindya mengernyit lalu tertawa lepas, sampai-sampai ia bersandar dikursi.

“Jujur deh, kalian bicarain aku apa aja?” kata Anin.

“Waduh itu rahasia Negara, Nin. Kalo yang lain boleh deh,” tawar Haksa. “Atau lo yang mau jujur sesuatu ke gue?”

Mata mereka saling bertemu, sudah 10 detik lebih tapi rasanya tetap nyaman.

Berdua di perpustakaan, ditemani suara hujan, juga teh hangat yang dibelikan Haksa, rasanya sangat nyaman. Anindya sampai lupa kalau besok ia ada lomba olimpiade.

“Coba kamu dulu deh yang jujur sama aku,” kata Anin.

Haksa sedikit mematung, “Jujur ya..”

Haksa menyandarkan dirinya dikursi, tatapannya tak lepas dari Anindya.

Tangan kanan Haksa membawa jemari cantik milik Anin, dan meletakkannya didada bidang miliknya. Dijantung Haksa.

Anindya sangat terkejut, sampai-sampai matanya ingin keluar.

Dada Haksa berdegup dengan tempo yang tak biasa, apakah ia sedang berdebar?

“Udah belakangan ini detaknya gak karuan, Nin. Setiap liat lo, ingat nama lo, atau mikirin lo.”

Pipi Anin bersemu merah, kontras dengan telinga Haksa yang juga ikut memerah. Kini malah jantung Anindya yang berdegup tidak karuan.

Haksa tersenyum lalu mengembalikan tangan Anin.

Hujan mulai mereda. Walau jalanan masih basah, tapi anak-anak Neo sudah banyak berjalan keluar dari kelas, bahkan pulang menggunakan jas hujan.

Hari yang tak terduga.

“Sekarang aku yang jujur,” kata Anin yang membuat Haksa balik menatapnya.

Anin tersenyum, “Aku gak suka ketoprak, tapi ayo kita makan habis ini, Sa.”

Haksa menatap Anindya bingung, namun tak lama sebuah senyum terbingkai di wajahnya.

Keduanya tersenyum lembut, mata mereka bertemu seperti saling berbicara. Mata turun kehati, kalian percaya itu?

Semesta, terimakasih untuk hari ini.