Angkringan; kawan lama.
Acara makan-makan Haksa dan kawanannya malam itu terpaksa terhenti sebentar. Pasalnya, ada kawan lama yang ternyata ikut datang dengan wajah menyebalkan, juga sapaan tidak hangatnya.
“Kenyang gak lo pada?” Tanyanya.
Kalau kalian bertanya dia siapa, dia adalah Aresh.
Renald menatapnya sewot, “Ya namanya makan pasti kenyanglah.”
Angkringan cukup ramai saat itu, tapi tensi panas sangat terasa di meja mereka. Aresh yang datang seorang diri itu mengeluarkan sebatang rokok dan segera menyalakannya. Ia menghisapnya dengan tenang, asapnya ia buang kearah Haksa dan ketiga kawannya, lalu tertawa geli.
“Matiin rokok lo, meja sebelah cewek-cewek liat gak?” Kata Jevan.
Lagi-lagi Aresh tertawa, “Yah gatau gue, oh lo pada juga gak rokok kan? Cih.”
“Apa?”
Aresh menaikkan alisnya.
“Apa mau lo?” Lanjut Haksa.
“Nah gitu dong,” ucap Aresh senang sambil menepuk pundak Haksa. “Depan sono, by one.”
Dan setelahnya Aresh langsung meninggalkan angkringan dengan asap rokoknya yang mengepul, menuju taman yang berada tepat didepan angkringan sana.
“Jangan ikutan,” kata Haksa.
“Enggak, nonton doang,” sahut Jevan.
Nalendra menepuk pundak Haksa, “Jangan kalah, Sa.”
Haksa berjalan duluan ke taman, ada Aresh yang masih berusaha menghabiskan rokoknya dengan cepat disana.
“Eits ngapain rombongan lo ikut?” Tanyanya.
“Nonton.”
“Anjay acara tv kali ah, hahaha.”
Haksa hanya mengangguk-anggukan kepala merespon tawa garing dari Aresh. Apakah dia berusaha menjadi pelawak? Dari awal datang tadi ketawa mulu, pikir Haksa.
“Kasih gue alasan dulu.”
“Hm, Yovan kemarin kalah, jadi kali ini gue yang menangin.”
“Oh, ngaduan?”
“Gak jing, gue inisiatif.”
Haksa tertawa kecil, “Keren juga lo ada rasa inisiatif, gue apresiasi deh.” Ia memberikan tepukan tangan pada Aresh yang dibalas senyum remeh.
“Hahaha thanks, tapi gabutuh.” Aresh mematikan rokoknya. “Dah ah yok mulai, kasian Sonia lama nungguin gue.”
Mendengar nama Sonia entah kenapa haksa menjadi terpancing, dan ya, Aresh tengah tersenyum mengejek melihat haksa yang ekspresinya nampak berubah kala mendengar nama kekasihnya itu.
“Maju sini,” ujar Haksa.
Dan perkelahian diantara mereka pun dimulai. Aresh yang berusaha memberikan tinjuan di tubuh Haksa namun berhasil ditempis. Sedangkan Aresh? Ujung bibirnya sudah duluan mengeluarkan darah hanya dengan sekali bogem dari Haksa.
Hah, sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang. Kedua orang yang dulu bersahabat ini terlihat mengikutsertakan dendam lama mereka. Keduanya tidak ada yang ingin mengalah, karena ini adalah tentang harga diri.
Bugh!
“Bangun jing,” ucap Haksa. “Masa baru segitu lo dah teler.”
“Sialan, sabar sat hidung gue bedarah ni.”
Aresh kembali bangkit dan mereka kembali saling menghantam. Beruntung taman ini sepi, kalau tidak mereka pasti sudah ditangkap satpol pp.
Saat tensi sudah semakin memanas, dan keduanya mulai rakus mencari napas, tiba-tiba ada sebuah panggilan telpon yang berbunyi. Aresh memberikan isyarat pada Haksa dan merogoh saku celananya, lalu mengangkat telpon itu.
“Halo, kenapa Son?” ... “Iyaa ini bentar lagi otw sana.” ... “Iyaa cantik, see you.”
Haksa mendelikkan matanya mendengar pembicaran pasangan itu. Ia pikir setelah Aresh memasukkan ponselnya mereka akan lanjut, ternyata tidak.
“Dah ah,” kata Aresh.
“Lah, lo yang mulai lo juga yang pergi,” sahut Haksa sewot.
“Ya mohon maap aja ni bos, cewe gue lagi nungguin, situ punya cewe ga?” Aresh berucap sarkas sambil memberikan tatapan remeh. “Oh sorry, kan gada hahaha.”
“Tampilan begini lo mau ketemu sonia?”
Aresh mengangguk, “Napa? Iri? Justru dia yang bakal ngobatin gue. Liat noh muka lo mulai biru, pastiin ada yang mau ngobatin.”
Haksa menatap Aresh yang bersiap pergi sehingga ia tidak terlalu memperhatikan dan menghadap lain arah, tapi ternyata..
Bugh!
Sebuah tinjuan dari samping menghantam perut Haksa hingga ia jatuh terlentang.
“Bonus, Sa.”
“Bangsat.” Haksa sekarang berada diatas tanah dengan betis Aresh diatas perutnya.
Aresh tersenyum remeh diatas sana, dan Haksa benci melihat itu.
“Emang gini harusnya dari dulu. Gue diatas dan lo dibawah.” Aresh mengelap-elapkan sepatunya pada baju Haksa seakan itu adalah keset. “Ah, dahlah gue pergi, salam Sonia gak.”
“Assalamu'alaikum,” ucap Haksa.
“Ya ahli kubur.” Lalu diikuti tawa Aresh yang membahana sambil meninggalkan taman.
Haksa duduk dari baringnya, dibersihkannya pakaian yg terdapat banyak pasir juga menyeka sedikit darah yang ada diujung bibir.
“Laki kok curang, cih.” ucap Jevan saat Aresh melewatinya.
“Kalau dengan gitu gue bisa menang, kenapa enggak?” Balas Aresh sambil melewati mereka, berjalan pergi hingga tak terlihat lagi.
“Gila tu bocah,” ucap Nalendra sambil membantu haksa berdiri. Ya benar, Haksa dan kawanannya setuju kalau Aresh memang benar-benar gila.
Mereka berjalan bersama meninggalkan taman dengan topik yang tidak habis pikir dengan tingkah Aresh yang kalau kata Renald seperti anak kecil.
“Lo taruhan apa sama Aresh untuk turnamen nanti?” Tanya Jevan pada Haksa.
“Siapapun yang menang boleh minta apapun sama yang kalah.”
Nalendra menepuk jidatnya, “Hadeh, pantesan sampe cari-cari strategi kita.”
“Tenang Sa, bisa kok. Sama-sama nih kita.” Renald menepuk pundak Haksa memberi ketenangan. “Neo pasti menang, lo percaya gak?”
Haksa mengangguk yakin, “Percaya. Gue percaya sepenuh hati sama tim gue, gak kek si bocah yang trust issue sama timnya.”
Renald terkekeh kecil, “Walaupun basi, tapi kalimat usaha gabakal hianatin hasil itu emang bener kata ajaib.”
Jevan, Nalendra, juga Haksa mengangguk setuju. Perjalanan dari taman kini mengantarkan mereka pada depan angkringan Pak Mo.
“Bubar atau lanjut nongki?” Tanya Nalendra.
“Bubar ajalah daripada diinterogasi Pak Mo,” kata Haksa, karena kalau Pak Mo yang interogasi pasti disertakan ayat suci tentang Tuhan yang benci akan perkelahian. Malah tambah pusing mereka nantinya.
Mereka pun tertawa karena mengerti maksud Haksa.
“Konvoi gas,” ajak Haksa yang diangguki kawanannya.
“Singgah warung nasgor dulu, Sharen nitip,” ujar Jevan.
Renald menatap sipit Jevan, “Jeez, si bucin.”
“Lo belum aja Ren,” kekeh Nalendra.
Ya, Nalendra benar. Semua akan dapat giliran bucin pada waktunya hahaha. Mungkin malam ini adalah Jevan. Besok bisa saja Nalendra, atau mungkin Renald sendiri? Atau malah Haksa?