Aula; pendidik yang tidak terdidik.

Para murid SMA Neo berlari berhamburan menuju aula di pagi itu. Ada Anindya dan Renjana yang memilih belakangan saja daripada berdesakan. Mereka berdua berjalan santai sambil melemparkan candaan yang selalu Jana balas dengan tawa heboh.

Di aula, para murid sudah mulai berbaris rapi. Lintang yang menyadari Anin belum datang pun terus mencari keberadaannya. Iya, dan kegiatan Lintang itu terus diperhatikan Haksa. Pasalnya sama, ia juga mencari keberadaan gadis itu.

Tiba-tiba saja suara tawa terdengar dari arah pintu, dan saat wujudnya terlihat, itu membuat Lintang juga Haksa menghela nafas lega. Jana dan Anin sampai di aula dan membuat mereka diperhatikan hampir semua orang karena Jana yang kata orang-orang receh.

Anindya menunduk beberapa kali seperti tanda “Maaf sekali, mohon dimaklumi.”

Ah, Anin ingin sekali menyuruh Jana berhenti, tapi dia tidak punya hak untuk membuat orang berhenti bahagia kan?

Saat berjalan menuju barisan kelasnya, tatapan Anindya malah teralih kepada seseorang yang kini memalingkan tatapannya.

Haksa ketahuan memperhatikan Anin.

Sepertinya mood Haksa sedang tidak bagus? Wajahnya terlalu dingin sekarang, ditambah dengan luka diujung bibir juga memar biru diwajahnya. Anin tebak, dia habis berantem. Walau entah kapan.

Berdiri didalam barisan, Anindya tetap mencuri pandang pada Haksa.

Haduh mukanya biru lagi! Haksa kamu gak capek berantem terus? Ya, mungkin enggak sih, tapi, ah udahlah. Itu juga kenapa matanya tajem liatin orang? Eh, KETAHUAN!

Anindya langsung gelagapan saat Haksa menangkap basah dirinya yang terus memandangi lelaki itu. Sedangkan Haksa, tentu saja dia tersenyum menang. Hatinya terasa lebih baik, sangat.

“Liatin terus, gak bakalan hilang Sa.” Renald datang dari belakang sambil menepuk pundaknya.

Oh Jevan dan Nalendra juga ada dan langsung berbaris disamping Haksa. Mereka tidak sekelas sih, tapi terserah mereka ajalah.

“Shuutt.. dah pegang mic noh,” ucap Nalendra yang membuat tidak hanya mereka, namun seluruh murid diam memperhatikan kearah depan.

“Selamat pagi semua, salam sejahtera untuk kita semua. Tanpa basa-basi lagi saya akan mengumumkan, hari ini kita tidak akan belajar seperti biasa. Ada kepentingan yang mengharuskan para dewan guru untuk mengadakan rapat bersama OSIS. Kalian akan belajar masing-masing dikelas, dan jam pulang hari ini dimajukan 2 jam lebih awal..”

Belum selesai Pak Supriyadi berbicara namun sudah terpotong dengan sorak gembira para murid Neo. Siapa sih yang tidak senang dengan jam kosong?

Aula yang awalnya senyap menjadi sedikit bising dengan gemuruh orang yang berbicara. Ada yang bisik-bisik ada juga yang terang-terangan.

Anindya merasa senang sekaligus khawatir dengan jam kosong ini. Bisa-bisa hari ini suaranya habis karena terus tertawa. Anak-anak dikelasnya itu unik, bahkan hanya karena bersin saja bisa membuat seisi kelas tertawa. Unik.

“HAHAHAHA! iya emang ganteng banget! Aku paling suka Taeyong sih pas itu.”

“IH BENER! Tapi tetep Jaehyun di tahta paling atas.”

Anin dan Jana sama-sama menoleh kearah samping kiri. Itu adalah pembicaraan 2 anak perempuan dari kelasnya Lintang, tapi suara mereka sangat nyaring sampai membuat kami memperhatikan mereka, juga hampir semua murid di aula, dan..

Pak supriyadi di depan yang sampai menjauhkan micnya memperhatikan mereka.

Tanpa diduga dalam sekejap, pak Supriyadi turun dari mimbar dan berjalan cepat menuju 2 perempuan tadi. Kejadianya terlalu cepat hingga membuat para murid seperti tersihir membeku.

PLAK!

PLAK!

Ini tidak benar, begitu pikir Anindya. Bagaimana bisa Pak Supriyadi memukul 2 perempuan tadi dibagian kepala? Liatlah dada guru itu yang naik turun, dia benar-benar emosi.

Pak supriyadi mengomeli kedua murid perempuan itu yang sekarang tertunduk menangis. Katanya mereka tidak memiliki sopan santun dan tidak memiliki ahklak yang baik.

Saat tangan Pak Supriyadi kembali melayang diudara, dengan cepat tangan lain mencegahnya.

Itu Haksa.

“Mereka perempuan pak! Jangan gila!” Haksa berteriak marah.

“Beraninya kamu teriak sama saya.”

PLAK!

Anindya tersentak, Haksa juga mendapatkan pukulan dikepalanya.

Jevan, Renald, dan Nalendra langsung bergerak mendekati Haksa.

Semua murid Neo sudah tau kalau ini tidak akan menjadi mudah kalau urusannya dengan Pak Supriyadi. Guru yang sangat mengedepankan ego dan menghukum dengan cara kekerasan.

Haksa memandang sinis guru dihadapannya, dibelakangnya ada 2 murid perempuan tadi yang masih menangis.

“Mau jadi pahlawan kesiangan kamu lindungin mereka?”

“Sadar diri Haksa Bagaskara, kamu itu berandalan, tidak punya masa depan. sopan santun kamu saja harus dipertanyakan.”

Andai Pak Supriyadi tahu, kalau sekarang semua orang didalam hati tengah menyumpah serapahinya.

Anindya, jemarinya berpegang erat pada Jana. Mendengar perkataan gurunya itu sangat membuatnya sakit, apalagi Haksa?

“Lihat wajah kamu. Habis kelahi sama preman mana? Dasar tidak punya etika, saya ini yang memberi kamu ilmu!”

Sebelum pak Supriyadi memberi kata-kata jahatnya lagi pada Haksa, Jevan dan Renald memberanikan diri membawa beliau mundur dari sana, walau ikut terkena semprotan tidak berdasarnya.

Setelah dibawa mundur, pak Supriyadi meninggalkan aula begitu saja.

Hah, kenapa bisa mereka mempunyai guru seperti itu.

“Ren, La, bisa bantu tenangin mereka?” tanya Haksa pada Sharen dan Cella.

Keduanya mengangguk cepat lalu membawa mundur 2 perempuan itu dari barisan. Suasana di aula sangat tidak mengenakkan, ditambah mata Haksa yang semakin menggelap.

Ngingg..

Suara mic berdenging sukses mengalihkan atensi para murid di aula menuju mimbar didepan sana.

“Permisi, Candra bicara disini. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, ada informasi yang belum sempat diberitahu tadi yaitu, akan ada sumbangan yang wajib setiap orang berikan untuk membantu berjalannya HUT SMA Neo. Untuk semuanya bisa kembali ke kelas masing-masing dengan tertib. Dan nanti jam 11 gerbang akan dibuka, ketua kelas mohon untuk menjaga ketertiban dikelas masing-masing, terima kasih.”

Aula menjadi riuh diisi dengan desahan kecewa juga marah. Sumbangan yang wajib? Tentu saja itu pungli!

Selesai dari pemberitahuan singkat oleh ketua OSIS itu para murid perlahan mulai meninggalkan aula.

Ditengah banyaknya murid yang berjalan pergi, ada Anin ditengah-tengah yang tetap memperhatikan Haksa, sedari tadi.

“Nin kantin yuk?” ajak Jana dengan beberapa anak perempuan lain dikelasnya.

“Duluan aja Na, nanti aku nyusul.”

Jana melihat arah pandang Anin, dan akhirnya berakhir mengiyakan lalu pergi bersama yang lain.

Pikiran Haksa kalut, ia marah, ia kesal.

Dengan pandangan yang bahkan ia sendiri tidak yakin apa yang ia pandang, Haksa berjalan dengan cepat keluar dari aula, melewati Anindya yang bahkan tidak ia sadari keberadaannya.

Anin menghela nafas melihat kepergian Haksa.

“Nanti juga baik lagi.” Anin langsung menghadap belakang melihat siapa yang bicara. “Haksa kalo marah emang gitu, diem aja sambil menyendiri, 2 jam kemudian ntar baik lagi.”

“Betul kata Nalen, gak usah khawatir Nin,” kata Renald.

Anindya tersenyum sambil mengangguk menanggapi kawanan Haksa.

Dibelakang ada Jevan dengan 4 orang perempuan yang berjalan mendekati mereka.

“Gila, gue aduin ke menteri pendidikan kena tuh si pak supriyadi,” omelnya sambil merangkul salah satu perempuan yang menjadi korban gurunya tadi.

“Ga bakal mempan by, dah dari sono bentukannya.” itu Jevan, ucapnya sambil mencubit ujung hidung perempuan itu.

“Mau dibawa kemana?” tanya Nalendra pada mereka.

“Bawa ke uks, kasian mereka masih shock. Yang, tolong panggilin anak pmr dong siapatau mereka butuh obat pusing.”

Setelahnya Nalendra langsung pergi mencari diikuti para perempuan tadi dan Jevan ke uks.

Anindya tidak mengenal mereka siapa, tapi bisa diasumsikan kalau sepertinya itu pacarnya Jevan dan Nalendra. Ya sepertinya benar.

“Gak pergi juga Ren?” tanya Anin pada Renald.

“Pergi, tapi ntar lagi,” jawab Renald sambil melihat kebelakang.

Anin ikut melihat kebelakang namun hanya ada anak OSIS, perasaan Renald bukan anak OSIS? Ah, biarlah bukan urusanku, pikir Anin.

“Ya udah, aku duluan kalau gitu,” pamit Anin.

Renald berdehem, “Soal Haksa gausah khawatir, dia baik-baik aja.”

Anindya tersenyum mengiyakan, lalu pamit pergi dengan perasaan yang masih tidak nyaman, yang ada diotaknya saat ini adalah,

dimana Haksa sekarang?