Rooftop; Haksa dan Anindya

Terdengar suara pintu terbuka dari arah samping, ia pun tersadar dari lamunannya.

“Haksa? Ooo Haksa?” Anindya memanggil menggunakan nada Upin-Ipin dan sukses membuat Haksa tersenyum kecil.

“Sini Nin.”

Anindya langsung menengok kesamping kiri dan tersenyum lega saat melihat ada Haksa disana.

Anin berjalan mendekat ke Haksa yang tengah duduk diatas beton yang menjadi vas raksasa untuk tanaman hias.

Haksa menepuk-nepuk bagian disebelahnya, “Duduk sini.”

Anindya pun mengikutinya, ah kalau dipikir-pikir lagi Anin patut diberi 10 jempol. Pasalnya ia berani sekali bertindak sejauh ini. Menyusul Haksa ke rooftop? Tidak pernah terbayangkan olehnya.

Anin mengeluarkan minuman yang ia bawa dari kantung plastik, “Nih nutriboost-nya.”

Haksa tersenyum, “Makasih Anindya,” lalu menerimanya.

Mereka sama-sama membuka minuman itu dan meminum beberapa teguk. Anin tidak pernah tau kalau pemandangan dari atas rooftop ternyata cukup bagus.

Ada cukup banyak murid yang sedang bermain dilapangan dengan riuh suara teriakan juga tawa. Walau tadi sudah diperingatkan untuk tetap dikelas, tapi namanya anak SMA tentu saja mereka hanya ingin melakukan apa yang mereka mau.

“Kenapa gak dikelas aja?” tanya Haksa memecah keheningan.

“Em.. bosen? Iya aku bosen sih soalnya mereka dikelas main kejar-kejaran mulu, aku capek ketawanya.”

Anindya terkekeh, Haksa juga.

“Lo gak mau ngomelin gue lagi kek di uks waktu itu? Liat nih muka gue pada biru,” adu Haksa sambil menunjuki bagian wajahnya yang membiru.

“Mau banget Sa! Tapi udah sih..”

“Kapan?”

“Tadi pagi, didalam hati. Pas di aula.”

“Kenapa gak langsung?”

Anin tersenyum, “Gapapa. Kalo didalam hati aku bisa omelin sepuasnya tanpa perlu kamu tau.”

Katakan Haksa bolot, ia benar-benar tidak mengerti maksud Anin. Kenapa ia tidak perlu tau?

“Emangnya muka gue nyeremin ya?” tanya Haksa penasaran.

“Em.. engga kok eh atau iya ya? Ah gatau, bingung,” kata Anin dengan ekspresi seperti orang yang benar-benar bingung.

Ah, lucu sekali. Haksa tidak bisa terus menahan senyumnya sampai-sampai tenggorokannya terasa mengering. Ia kembali meminum nutriboost yang dibawa Anin tadi.

“Udah?”

Haksa hampir saja tersedak, ia lalu menutup botolnya sambil menaikkan alis seperti bertanya, ada apa?

“Nanyanya udah? Daritadi kamu serbu pertanyaan terus.”

Haksa yang sadar pun tertawa, “Hahaha maaf, sekarang giliran lo deh,” tawar Haksa.

Keduanya kembali terdiam sambil menatap arah lapangan yang terdapat siswa lain tengah seru bermain. Angin-angin siang itu membawa terbang rambut Anin, juga Haksa yang poninya kini cukup panjang.

“Mau cerita sama aku?” Haksa menatap Anin bingung. “kalau kata budeku, ga bagus mendem sesuatu didalam hati. Cari seseorang dan ceritain, walau orang itu gak bisa bantu kamu, setidaknya kamu lega karena sedikit bebanmu berkurang.

Haksa menepuk-nepuk kepala Anindya sambil tersenyum tenang, “Beban gue gak berat kok Nin.”

Ah gila, kenapa jantung Anin berdegup kencang? Ah tunggu, wajahnya juga memanas.

Anin mencoba menetralkan diri, “Iya Haksa, gapapa aku gak maksa. Aku cuma nawarin aja.”

“Tapi gue mau cerita ke lo, mau denger?” tanya Haksa dengan tatapan teduhnya.

Anindya terkejut, sangat. Ia tidak pernah merasa seperti ini tapi kenapa ia menyukai situasi ini?

Sebuah senyum terbit dari bibirnya, “Iya mau.”

Senyum itu, senyum yang membuat mata Anindya membentuk bulan sabit, senyum yang Haksa suka.

Rasanya amarah Haksa bisa menghilang jika hanya melihat senyuman itu. Tapi saat ia sadar kalau ia ingin menceritakan resahnya pada Anin, rasa itu datang lagi. Rasa marah, kesal, kecewa yang berapi-api.

Haksa menghela napasnya, “Seharusnya gue bisa cegah si Supriyadi sebelum dia mukul mereka tadi.”

“Pak Supriyadi, Sa,” ucap Anin lembut.

“Ya itulah. Gue marah Nin, kelakuan tu orang ditonton 1 sekolah, dan yang dia pukul itu cewek. Mereka emang salah tapi apa harus dikepala?” protes Haksa.

Ah jika saja Haksa tidak memandang umur bisa saja perkelahian tadi berlanjut karena Haksa yang membalas.

Anindya diam memperhatikan Haksa yang amarahnya sangat tampak namun ia tahan. Ia juga mengangguk setuju dengan perkataan Haksa.

“Kamu juga dipukul Sa, kamu gak marah?”

Haksa tertawa kecil, “Gue udah sering digituin sama dia Nin. Gue biasa aja kalo yang dia hajar itu gue, tapi kalo cewek? Itumah dia yang gila.”

Haksa menghela napas kasar menjeda, “Gue gak kebayang kalo yang ada diposisi itu adek gue, atau bahkan bunda.” Haksa mengacak rambutnya asal. “Perempuan gak pantas digituin.”

Anindya tersenyum mendengar pemikiran Haksa.

Haksa kembali meneguk botol nutriboost yang ada ditangannya, dan Anin kembali teringat dengan perkataan Pak Supriyadi tadi.

“Haksa, perkataan Pak Supriyadi tadi jangan diambil hati, ya?”

Haksa kembali tertawa, tawa remeh, “Hah, si Supriyadi dah sering ngomong gitu ke gue Nin. Ralat, teriak bukan ngomong.”

“Bapak Sa,” lagi, tegur Anin lembut. “Dan kamu gak marah?”

“Marah Nin, gue selalu marah tiap dengar itu.”

Anindya memperhatikan air wajah Haksa, anak ini sudah terlalu banyak memendam ternyata, pikir Anin.

“Kalau gitu ungkapin Sa.” Haksa menatap Anin yang tampak menegapkan tubuhnya. “Teriak kek gini. AAAAA!! AKU ITU PUNYA MASA DEPAN TAU!!!”

Anindya sedikit ngos-ngosan setelah mencoba berteriak sekencang mungkin. Sudah lama Anin tidak berteriak, ada rasa sedikit lega.

Sedangkan Haksa, ah apakah tidak ada kata lain selain kata nyaman? Iya Haksa merasa nyaman bersama Anindya sampai-sampai tawa senang terkeluar dari bibirnya.

Haksa menarik napasnya dengan tubuh yang sudah tegap, “AAAAAARGH!!! HEH SUPRIYADI LO DENGER YA. GUE HAKSA BAGASKARA PUNYA MASA DEPAN. LO BUKAN TUHAN. GAUSAH SOK NGERAMAL KEHIDUPAN GUE JING. AH ANJINGGGGGG!!!”

Bahunya naik turun karena napasnya yang ngos-ngosan. Wajahnya memerah padam karena amarahnya yang sudah lama berhasil ia keluarkan. Tatapannya mungkin tajam, tapi hatinya merasa tenang.

“Sedikit lega?” tanya Anin.

Haksa mengangguk lalu tersenyum, “Iya, makasih Nin.”

Anindya menepuk pundak Haksa beberapa kali, entah keberanian darimana, “Mendem sesuatu yang buruk supaya semuanya baik-baik aja itu gak selamanya betul, Sa. Lebih baik dilepasin, toh hasilnya juga sama kan? Baik-baik aja.”

“Gue gak mau nantinya orang kasihan sama gue, Nin.” Haksa berucap sambil menatap lurus lapangan yang kini jumlah manusianya semakin sedikit.

Anindya mengikuti arah pandang Haksa, suara napas mereka terdengar samar karena angin kembali datang menggoyangkan rambut juga tanaman hias yang ada diatas sana.

“Haksa, kita gak bisa ngontrol apa aja yang terjadi didalam hidup. Karena bukan kita aja pemeran utamanya, ada berjuta-juta manusia lain yang juga berusaha menjalankan cerita mereka. Tentang orang lain pada kamu pun gak bisa sepenuhnya kamu batasin.” Anindya berucap lembut, sedang Haksa sudah memperhatikannya daritadi.

“Tapi ingat, diri kamu itu punya kamu, Sa.” Anin menoleh menghadap Haksa yang ternyata tengah menatapnya dalam. “Jangan sampai hilang arah, Sa.”

Anindya tersenyum lembut, Haksa tersenyum tulus.

Hah semesta, andai keduanya tau isi masing-masing hati. Anindya yang sedang menahan gejolak aneh didalam tubuhnya, juga Haksa yang mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk Anindya dengan erat.

Keduanya sangat lucu, tapi apakah mereka tau apa arti dari semua itu?

“Aku suka cara pandang kamu tentang menghargai perempuan,” Anin menatap langit yang kini bersih dari awan. “Pemikiran yang cerdas.”

Haksa mengikuti arah pandang Anin, “Gue juga suka cara pandang lo tentang hidup, sederhana, persis kek lo, Nin.”

Haksa kembali menatap Anindya, “…dan gue, suka.”