Warung bakso; doa dan bulan.
Kruukk..
Anindya menunduk malu, pasalnya perutnya ini tidak tau diri sekali berbunyi pada saat mereka berhenti dilampu merah. Anin tebak, Haksa pasti sedang tertawa geli.
“Mampir dulu mau, Nin?” tawar Haksa.
“Mampir kemana?” tanya Anin pelan.
“Ketempat favorit gue, mau?”
“Boleh.” Anindya mengangguk setuju sambil menunduk, walau begitu tetap saja masih bisa Haksa lihat dari kaca spion.
Lucu sekali.
Lampu berubah menjadi hijau, dan mereka melanjutkan perjalanan.
Apa kalian pernah jalan berdua naik motor bersama orang yang kalian kagumi? Rasanya sulit dijelaskan, begitu juga isi hati Haksa dan Anindya. Tapi tetap, juara pertamanya adalah rasa bahagia.
Bahkan Haksa tidak bisa berhenti tersenyum sedari tadi.
Motor mereka mulai menepi, berhenti tepat didepan sebuah warung. Warung Bakso Pak Karso namanya.
“Makan dulu, kasian cacing diperut lo pada demo.” Haksa turun dari motor dan berucap dengan nada menggoda yang sialnya menyebalkan.
Kalau kata orang-orang, anindya sedang malu to the bone.
“Mang, bakso 2 ya yang komplit.” Haksa lalu menatap Anindya, “Minum apa Nin?”
“Air putih biasa Sa,” jawab Anin yang diangguki Haksa.
“Minumnya air putih biasa sama es jeruk ya mang.”
“Siap den!”
Haksa mengajak Anin mencari tempat duduk. Saat itu belum terlalu ramai, mungkin karena belum waktu makan siang. Haksa dan Anindya duduk berhadapan, dan memilih meja yang diluar saja supaya bisa sambil melihat jalan, supaya bisa mencari alasan kalau ada pipi atau telinga yang memerah.
“Weh, makasih mang!” Haksa membantunya menyajikan makanan mereka.
“Sama pacar nih den Haksa?” tanya mamang tersebut penasaran dengan senyum jahil.
Haksa tersenyum sampai terkekeh kecil, “Doain aja mang, moga sukses.”
“Ya Allah seperti biasa,” mamang itu menengadahkan tangannya.
“Aamiin..” ucap Haksa dan mamang bakso bersamaan.
Keduanya terkekeh, sedang Anindya memerah malu.
Gawat, jantungnya berdegup kencang lagi. Pipinya pun ikut memanas, Anin benar-benar gugup sekarang.
Menyadari pipi Anin yang memerah membuat Haksa tertawa dan tersenyum senang, “Yuk makan Nin, jangan lupa doa dulu.”
Anin mengangguk karena tak sanggup menjawab.
Semesta, Haksa bilang baru kali ini ia merasakan jatuh yang seperti ini. Jatuh yang membuatnya ingin jatuh sedalam-dalamnya. Apa Haksa berlebihan?
Tidak semesta, tidak.
Nyatanya Anindya juga merasakan hal yang serupa. Jantungnya terus berdegup tak beraturan, apalagi saat tau kalau Haksa sedang mencuri pandang padanya sambil mengaduk mangkok bakso itu.
Ah, mereka ini terlalu polos. Semesta tolong bantu ya?
“WOYYY!!”
“Uhuk uhukk!!”
Haksa dan Anindya sama-sama tersedak. Anin segera mengambil minumnya, sedang Haksa menepuk-nepuk dadanya yang ikut dibantu orang tadi sambil tertawa geli.
“Minum dulu, Sa. Keknya kaget amat tadi hahaha,” ia tertawa sambil memberikan tatapan menggoda.
Ya siapa lagi kalau bukan Nalendra. Di dalam hati Haksa menyumpah serapahi kehadiran Nalendra yang mengganggu mereka berdua.
“Eh? Sama Anin ternyata? Halo Nin!”
“Halo Nalen,” sapa Anindya dengan senyum hangat.
Tidak, bukannya Nalendra tidak tau. Tapi itu juga termasuk bentuk godaan untuk Haksa. Nalendra tebak pasti Haksa tengah menatapnya dengan sinis.
Dan, betul! Hahaha.
“Yang, udah nih!” teriak seorang gadis yang berjalan mendekati meja mereka. “Yuk- EH, HAKSA? HAKSA KAN INI?”
“Iya Cella, masa barongsai? Gue ganteng gini.”
Cella tertawa, Nalendra juga, Anindya sedikit.
“Dasar ane- LOH, INI YANG NAMANYA ANIN?”
Haksa sampai memejamkan matanya karena Cella yang terus heboh. Sedang Nalendra memberikan tatapan memohon pada gadisnya itu.
Ayolah, tentu saja dirinya yang menceritakan kedekatan Haksa dan Anin beberapa waktu lalu.
“Hehehe aduh maaf ya heboh,” kata Cella. “Oh iya kenalin, aku Marcella tapi panggil aja Cella!”
Cella menyodorkan tangan untuk berkenalan padanya.
“Aku Anindya panggil Anin juga boleh, salam kenal Cella.” Anin tersenyum sambil menjabat telapak tangan Cella.
“Lo pada makan disini?” tanya Haksa.
“Enggak, mau makan dirumah gue, nih udah siap.” Cella menunjukkan kantong plastik yang berisi bakso itu.
“Gue gabakal ganggu momen lu kok Sa, hahaha.” Nalendra menautkan jemarinya dengan jemari Cella yang kosong. “Dah ya, gue sama Cella duluan, have fun!” kata Nalendra dengan tatapan menggoda untuk Haksa.
“Anin gue duluan ya!” teriak Cella.
“Iya Cella, hati-hati!” balas Anin.
Mereka menatap kepergian pasangan itu, dan saat kembali, malah mereka berdua yang saling bertatapan.
Haksa dan Anin sama-sama terkekeh, entah karena apa, tapi rasanya ingin tertawa saja.
“Lanjut Nin, makannya,” kata Haksa. “Ceweknya si Nalen emang heboh, mana cemburuan lagi. Masa gue pernah dikira selingkuhan Nalen gegara tu anak nyimpen nomor gue cuma pake huruf H.”
Anin terkejut, “Serius? Hahaha, jadi gimana?”
“Ya.. si Cella terus nyerocos ditelpon karena gue gak punya kesempatan ngomong. Pas dia lagi diem baru gue bilang ‘Udah La?’ Eh dia malah neriakin gue banci.” Haksa bercerita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau diingat lagi saat itu, rasanya frustasi sekali.
Anin tertawa geli mendengar cerita Haksa, ada-ada saja ternyata lingkungan pertemanannya itu.
Haksa memperhatikan Anin yang sedang tertawa, “Nin, lo tau?”
Anindya berhenti tertawa sambil menggelengkan kepalanya bingung.
Sial, begitu saja tapi terlihat gemas.
“Gue suka banget sama bulan sabit akhir-akhir ini.”
Anindya ikut tertarik dengan pembicaraan bulan ini, “Oh iya? Emangnya dulu gak suka?”
“Suka, tapi gak pernah sesuka ini.”
“Oh gitu, kenapa?” tanya Anindya.
Haksa menatap lamat mata Anin, “Mungkin, karena mata lo pas ketawa juga ngebentuk bulan sabit?”
Ah, sial.