Kantin; beraksi.
TW // bullying.
Siang itu suasana kantin tampak berbeda. Ada sebagian yang tak peduli, tapi kebanyakan ikut terdiam tidak bisa apa-apa. Seorang adik kelas lelaki sedang dirundung. Disana ia hanya duduk menunduk mendengar semua ocehan sampah yang diberikan kakak kelas 12 nya.
Jika kalian tanya alasannya kenapa? Tidak ada yang tahu. Apakah para kakak kelas 12 itu jahil saja? Bukankah untuk ukuran jahil itu sudah keterlaluan kalau sampai menumpahkan kuah bakso dikepala si adik kelas tadi?
Itu adalah geng Jerico atau biasa mereka panggil Jeje. Sudah biasa dia membawa cap buruk untuk 12 ips, kalau kata anak neo. Anin yang sedang membelakangi mereka karena memesan bakso sudah sangat geram, tapi Jana terus menahan tangannya dan meyakinkan untuk tidak ikut campur.
“Kasian Jana.” Bisik Anin.
“Iya tapi mau gimana lagi..” Jawab Jana dengan wajah memelas.
Ah terjadi perdebatan batin didalam diri Anin. Ia mencoba meminta pada Tuhan didalam hati supaya ada keajaiban, tolong kasian adik kelas itu.
“Wesssss Jeje ngapain lo?”
Anin dan Jana sama-sama menengok kebelakang mendengar itu. Ternyata suara Jevan, juga diikuti kawanannya yang lain dibelakang. Ah tidak, mata Anin tak sengaja bertemu dengan milik Haksa. Anin langsung berbalik menghadap mangkok baksonya yg belum juga jadi karena Anin telat mengantri.
“Biasa main-main.” Jawab Jeje.
“Main-main kok gini.” Kata Nalendra sarkas.
Ia tertawa, “Apa perlu gue hajar?” Tanya Jeje antusias sambil menatap kawanannya yang lain dengan senang.
Renald sedikit terkekeh, “Ga perlu, lo yang capek nanti.”
Jeje lagi-lagi merespon renald dengan tertawa. Hanya tawa jeje yang terdengar dikantin, juga tatapan takut dari banyak orang.
“Lo seneng banget sama senioritas ya?” Tanya Haksa dengan senyum, senyum yang sedikit licik.
“Iyalah siapa yang enggak?” Jeje berbalik ke belakang. Ia berjalan menuju konter bakso dan langsung mengambil semangkok bakso yang baru saja sampai ditangan Anin.
Anin dan Jana menatap terkejut satu sama lain. Mereka melihat arah Jeje yang terlihat memberikan mangkok itu pada Haksa.
“Noh.”
Haksa menaikkan sebelah alisnya.
“Giliran lo anjeng.” Kata Jeje.
Haksa tersenyum miring sambil menerima mangkok itu. “Gue pernah bilang, silahkan kalo lo mau nyari ribut. Tapi liat lawan lo, apa dia mampu? atau cuma lo doang yang nyerang dan lawan lo cuma menerima tanpa ngebalas?” Haksa menatap sinis Jeje lalu balik berganti pada adik kelas lelaki tadi yang masih duduk menunduk.
“Lo laki, masa gatau etika? Kalo lo gini jatuhnya bukan pahlawan tapi pembully.”
“Anjing apa maksud lo hah?! Sadar diri lo berandalan anjing! Haksa anjing!” Teriak Jeje mulai terbakar amarah.
Haksa lagi-lagi tersenyum miring. Dia ambilnya tangan adik kelasnya itu untuk segera berdiri dan meletakkan semangkok bakso tadi ditangannya.
“Gue emang berandalan, gue suka berantem, tapi gue bukan pembully, bodoh.”
byurrrr
Semangkok bakso yang masih panas mendarat diwajah Jeje dengan cepat. Haksa yang mengarahkan tangan adik kelas itu untuk menyiramnya kewajah Jeje. Kepuasan besar bagi Haksa melihat wajah Jeje yang langsung memerah entah karena marah atau panas.
“Anjing lo sa anjing!”
“Itu namanya impas goblok.” Cibir Haksa.
“Bangsat tunggu lo!”
“Gue tunggu.” Balas Haksa sambil melipatkan tangan angkuh.
Jeje berlalu pergi dari kantin dengan kawanannya yang ikut panik. Itu impas bukan? Jeje juga harus merasakan apa yang ia perbuat pada orang lain.
Renald menunduk memunguti mangkok serta sendok garpu yang tadi terjatuh. “Hadeh habis bikin aksi tuh dibersihin.”
Haksa tertawa, juga Jevan dan Nalendra.
“Baju lo basah bener.” Kata Jevan pada adik kelas tadi. “Ada baju lebih gak?”
“E-enggak bang.”
Haksa menepuk pundak adik kelas itu. “Gausah tegang, lo ga lagi di wawancara.”
“Lo tuh laki, harusnya lo lawan biar seru.” Kata Nalen sambil ikut duduk disebelahnya.
“Gaperlu bang.”
“Eisshhh.” Desis nalen kesal.
“Siapa ada baju di loker? Punya gue kemarin udah diambil.” Tanya Renald.
“Gue ada, nih ambil.” kata haksa sambil memberikan kunci lokernya.
“Gapapa bang gausah, gini aja.”
“Lo mau belajar sama baju kuah bakso?” Tanya Jevan. “Ganti.”
adik kelas itu mulai berdiri dari duduknya dan menyambut kunci dari haksa. “Makasih bang.”
“Santai. Ingat, lawan. Jangan mau ditindas.” Kata Haksa lalu segera menyuruhnya pergi untuk ganti baju.