ririwyss

Kantin; kisah manis.


“Aelah masih SMA dah lagak banget jadi pembully.” Kata Renald sambil menggelengkan kepala.

“Harusnya tadi lo ceramahin Ren.” Saran Nalen sambil berdiri. “Dah ah gue mau pesen, makan gak lo pada.”

“Makanlah.” sahut mereka berbarengan.

Ah sampai lupa kalau Anin dan Jana masih saja berdiam diri di konter bakso itu. Ya lagipula tidak mungkin juga mereka tiba-tiba lewat disaat kejadian tadi terjadi.

Anin menghela napasnya pelan. Semangkok bakso sudah ditangan keduanya. “Ayok Nin?” Tanya Jana yang dijawab anggukan oleh Anin.

dan,

“AYAM BEBEK KAMBING!” Teriak Anin. Ia sangat terkejut saat mendapati haksa ada didepannya saat berbalik.

“Hampir aja tumpah Nin.” Kata Haksa sambil membantu memegang mangkok Anin.

Belum ada pergerakan, Anin dan Haksa masih sama-sama menyelam, memandang satu sama lain. Ada sesuatu yang menarik didalam mata lawan mereka, tapi sayang keduanya lupa kalau masih berada dikantin.

“OHOK OHOKK!! Ya Allah gatal tenggorokan gue.” Ya siapa lagi kalo bukan Nalendra? hahaha.

Haksa dan Anin langsung tersadar dan berakhir canggung.

“E-eh iya, aduh maaf Haksa tangan kamu jadi kena kuah panas.”

“Gapapa, gak kerasa.” Ucap Haksa tenang.

“A-ah oke, kalo gitu aku duluan ya sama Jana. Terimakasih Haksa.”

Kalau kalian tahu, terimakasih yang dimaksud Anin bukan hanya sekedar karena sudah menyelamatkan mangkok baksonya, tapi juga karena sudah menyelamatkan adik kelas lelaki tadi. Terimakasih karena sudah berani membuat keadaan menjadi berbalik.

Haksa tersenyum kecil, “Sama-sama.”

Anin dan Jana sudah berjalan melewati haksa dan kawanannya, namun namanya kembali lagi dipanggil.

“Anin.” Panggil Haksa.

Anin segera berbalik. “Kenapa?”

“Cuma mau ngasih tau kalau yang bener itu ayam bebek angsa, bukan ayam bebek kambing.”

“Pfftt- BWAHAHAHAHA.” Tawa Nalendra besar.

Tidak hanya Nalen, tapi juga Renald, Jevan, Jana, abang tukang bakso, juga beberapa murid yang ada disana.

Sial, Anin sangat malu sampai-sampai pipinya menjadi kemerahan.

“Yaampun iya salah maaf hahaha.” Kata Anin sambil tertawa dan menunduk malu.

ah, matanya membentuk bulan sabit saat tertawa.

Kantin; kisah manis.


“Aelah masih SMA dah lagak banget jadi pembully.” Kata Renald sambil menggelengkan kepala.

“Harusnya tadi lo ceramahin Ren.” Saran Nalen sambil berdiri. “Dah ah gue mau pesen, makan gak lo pada.”

“Makanlah.” sahut mereka berbarengan.

Ah sampai lupa kalau Anin dan Jana masih saja berdiam diri di konter bakso itu. Ya lagipula tidak mungkin juga mereka tiba-tiba lewat disaat kejadian tadi terjadi.

Anin menghela napasnya pelan. Semangkok bakso sudah ditangan keduanya. “Ayok Nin?” Tanya Jana yang dijawab anggukan oleh Anin.

dan,

“AYAM BEBEK KAMBING!” Teriak Anin. Ia sangat terkejut saat mendapati haksa ada didepannya saat berbalik.

“Hampir aja tumpah Nin.” Kata Haksa sambil membantu memegang mangkok Anin.

Belum ada pergerakan, Anin dan Haksa masih sama-sama menyelam, memandang satu sama lain. Ada sesuatu yang menarik didalam mata lawan mereka, tapi sayang keduanya lupa kalau masih berada dikantin.

“OHOK OHOKK!! Ya Allah gatal tenggorokan gue.” Ya siapa lagi kalo bukan Nalendra? hahaha.

Haksa dan Anin langsung tersadar dan berakhir canggung.

“E-eh iya, aduh maaf Haksa tangan kamu jadi kena kuah panas.”

“Gapapa, gak kerasa.” Ucap Haksa tenang.

“A-ah oke, kalo gitu aku duluan ya sama Jana. Terimakasih Haksa.”

Kalau kalian tahu, terimakasih yang dimaksud Anin bukan hanya sekedar karena sudah menyelamatkan mangkok baksonya, tapi juga karena sudah menyelamatkan adik kelas lelaki tadi. Terimakasih karena sudah berani membuat keadaan menjadi berbalik.

Haksa tersenyum kecil, “Sama-sama.”

Anin dan Jana sudah berjalan melewati haksa dan kawanannya, namun namanya kembali lagi dipanggil.

“Anin.” Panggil Haksa.

Anin segera berbalik. “Kenapa?”

“Cuma mau ngasih tau kalau yang bener itu ayam bebek angsa, bukan ayam bebek kambing.”

“Pfftt- BWAHAHAHAHA.” Tawa Nalendra besar.

Tidak hanya Nalen, tapi juga Renald, Jevan, Jana, abang tukang bakso, juga beberapa murid yang ada disana.

Sial, Anin sangat malu sampai-sampai pipinya menjadi kemerahan.

“Yaampun iya salah maaf hahaha.” Kata Anin sambil tertawa dan menunduk malu.

ah, matanya membentuk bulan sabit saat tertawa.

Kantin; kisah manis.


“Aelah masih SMA dah lagak banget jadi pembully.” Kata Renald sambil menggelengkan kepala.

“Harusnya tadi lo ceramahin Ren.” Saran Nalen sambil berdiri. “Dah ah gue mau pesen, makan gak lo pada.”

“Makanlah.” Sahut mereka berbarengan.

Ah sampai lupa kalau Anin dan Jana masih saja berdiam diri di konter bakso itu. Ya lagipula tidak mungkin juga mereka tiba-tiba lewat disaat kejadian tadi terjadi.

Anin menghela napasnya pelan. Semangkok bakso sudah ditangan keduanya. “Ayok Nin?” Tanya Jana yang dijawab anggukan oleh Anin.

dan,

“AYAM BEBEK KAMBING!” Teriak Anin. Ia sangat terkejut saat mendapati haksa ada didepannya saat berbalik.

“Hampir aja tumpah Nin.” Kata Haksa sambil membantu memegang mangkok Anin.

Belum ada pergerakan, Anin dan Haksa masih sama-sama menyelam, memandang satu sama lain. Ada sesuatu yang menarik didalam mata lawan mereka, tapi sayang keduanya lupa kalau masih berada dikantin.

“OHOK OHOKK!! Ya Allah gatal tenggorokan gue.” Ya siapa lagi kalo bukan Nalendra? hahaha.

Haksa dan Anin langsung tersadar dan berakhir canggung.

“E-eh iya, aduh maaf Haksa tangan kamu jadi kena kuah panas.”

“Gapapa, gak kerasa.” Ucap Haksa tenang.

“A-ah oke, kalo gitu aku duluan ya sama Jana. Terimakasih Haksa.”

Kalau kalian tahu, terimakasih yang dimaksud Anin bukan hanya sekedar karena sudah menyelamatkan mangkok baksonya, tapi juga karena sudah menyelamatkan adik kelas lelaki tadi. Terimakasih karena sudah berani membuat keadaan menjadi berbalik.

Haksa tersenyum kecil, “Sama-sama.”

Anin dan Jana sudah berjalan melewati haksa dan kawanannya, namun namanya kembali lagi dipanggil.

“Anin.” Panggil Haksa.

Anin segera berbalik. “Kenapa?”

“Cuma mau ngasih tau kalau yang bener itu ayam bebek angsa, bukan ayam bebek kambing.”

“Pfftt- BWAHAHAHAHA.” Tawa Nalendra besar.

Tidak hanya Nalen, tapi juga Renald, Jevan, Jana, abang tukang bakso, juga beberapa murid yang ada disana.

Sial, Anin sangat malu sampai-sampai pipinya menjadi kemerahan.

“Yaampun iya salah maaf hahaha.” Kata Anin sambil tertawa dan menunduk malu.

ah, matanya membentuk bulan sabit saat tertawa.

Kantin; beraksi.


TW // bullying.

Siang itu suasana kantin tampak berbeda. Ada sebagian yang tak peduli, tapi kebanyakan ikut terdiam tidak bisa apa-apa. Seorang adik kelas lelaki sedang dirundung. Disana ia hanya duduk menunduk mendengar semua ocehan sampah yang diberikan kakak kelas 12 nya.

Jika kalian tanya alasannya kenapa? Tidak ada yang tahu. Apakah para kakak kelas 12 itu jahil saja? Bukankah untuk ukuran jahil itu sudah keterlaluan kalau sampai menumpahkan kuah bakso dikepala si adik kelas tadi?

Itu adalah geng Jerico atau biasa mereka panggil Jeje. Sudah biasa dia membawa cap buruk untuk 12 ips, kalau kata anak neo. Anin yang sedang membelakangi mereka karena memesan bakso sudah sangat geram, tapi Jana terus menahan tangannya dan meyakinkan untuk tidak ikut campur.

“Kasian Jana.” Bisik Anin.

“Iya tapi mau gimana lagi..” Jawab Jana dengan wajah memelas.

Ah terjadi perdebatan batin didalam diri Anin. Ia mencoba meminta pada Tuhan didalam hati supaya ada keajaiban, tolong kasian adik kelas itu.

“Wesssss Jeje ngapain lo?”

Anin dan Jana sama-sama menengok kebelakang mendengar itu. Ternyata suara Jevan, juga diikuti kawanannya yang lain dibelakang. Ah tidak, mata Anin tak sengaja bertemu dengan milik Haksa. Anin langsung berbalik menghadap mangkok baksonya yg belum juga jadi karena Anin telat mengantri.

“Biasa main-main.” Jawab Jeje.

“Main-main kok gini.” Kata Nalendra sarkas.

Ia tertawa, “Apa perlu gue hajar?” Tanya Jeje antusias sambil menatap kawanannya yang lain dengan senang.

Renald sedikit terkekeh, “Ga perlu, lo yang capek nanti.”

Jeje lagi-lagi merespon renald dengan tertawa. Hanya tawa jeje yang terdengar dikantin, juga tatapan takut dari banyak orang.

“Lo seneng banget sama senioritas ya?” Tanya Haksa dengan senyum, senyum yang sedikit licik.

“Iyalah siapa yang enggak?” Jeje berbalik ke belakang. Ia berjalan menuju konter bakso dan langsung mengambil semangkok bakso yang baru saja sampai ditangan Anin.

Anin dan Jana menatap terkejut satu sama lain. Mereka melihat arah Jeje yang terlihat memberikan mangkok itu pada Haksa.

“Noh.”

Haksa menaikkan sebelah alisnya.

“Giliran lo anjeng.” Kata Jeje.

Haksa tersenyum miring sambil menerima mangkok itu. “Gue pernah bilang, silahkan kalo lo mau nyari ribut. Tapi liat lawan lo, apa dia mampu? atau cuma lo doang yang nyerang dan lawan lo cuma menerima tanpa ngebalas?” Haksa menatap sinis Jeje lalu balik berganti pada adik kelas lelaki tadi yang masih duduk menunduk.

“Lo laki, masa gatau etika? Kalo lo gini jatuhnya bukan pahlawan tapi pembully.”

“Anjing apa maksud lo hah?! Sadar diri lo berandalan anjing! Haksa anjing!” Teriak Jeje mulai terbakar amarah.

Haksa lagi-lagi tersenyum miring. Dia ambilnya tangan adik kelasnya itu untuk segera berdiri dan meletakkan semangkok bakso tadi ditangannya. “Gue emang berandalan, gue suka berantem, tapi gue bukan pembully, bodoh.”

byurrrr

Semangkok bakso yang masih panas mendarat diwajah Jeje dengan cepat. Haksa yang mengarahkan tangan adik kelas itu untuk menyiramnya kewajah Jeje. Kepuasan besar bagi Haksa melihat wajah Jeje yang langsung memerah entah karena marah atau panas.

“Anjing lo sa anjing!”

“Itu namanya impas goblok.” Cibir Haksa.

“Bangsat tunggu lo!”

“Gue tunggu.” Balas Haksa sambil melipatkan tangan angkuh.

Jeje berlalu pergi dari kantin dengan kawanannya yang ikut panik. Itu impas bukan? Jeje juga harus merasakan apa yang ia perbuat pada orang lain.

Renald menunduk memunguti mangkok serta sendok garpu yang tadi terjatuh. “Hadeh habis bikin aksi tuh dibersihin.”

Haksa tertawa, juga Jevan dan Nalendra.

“Baju lo basah bener.” Kata Jevan pada adik kelas tadi. “Ada baju lebih gak?”

“E-enggak bang.”

Haksa menepuk pundak adik kelas itu. “Gausah tegang, lo ga lagi di wawancara.”

“Lo tuh laki, harusnya lo lawan biar seru.” Kata Nalen sambil ikut duduk disebelahnya.

“Gaperlu bang.”

“Eisshhh.” Desis nalen kesal.

“Siapa ada baju di loker? Punya gue kemarin udah diambil.” Tanya Renald.

“Gue ada, nih ambil.” kata haksa sambil memberikan kunci lokernya.

“Gapapa bang gausah, gini aja.”

“Lo mau belajar sama baju kuah bakso?” Tanya Jevan. “Ganti.”

adik kelas itu mulai berdiri dari duduknya dan menyambut kunci dari haksa. “Makasih bang.”

“Santai. Ingat, lawan. Jangan mau ditindas.” Kata Haksa lalu segera menyuruhnya pergi untuk ganti baju.

Lapangan belakang; Berantem.


Pada pagi menjelang siang itu, Anin berjalan menyusuri koridor sekolah seorang diri. Lintang sudah di perpus duluan, lagipula mereka berbeda kelas. Ada juga Renjana, teman sekelas Anin yang juga anak olim fisika, namun tadi dia sudah duluan.

Jalanan yang Anin lewati cukup sepi karena mayoritas kelas yang sedang melakukan pembelajaran.

“Akkhh!”

Langkah Anin terhenti, memperhatikan dari arah mana suara itu berasal.

“Bangkit jing!!”

Anin langsung berlari kearah samping menuju lapangan belakang. Kenapa kelahi disekolah sih, pikir Anin dalam hati. Derap suara kaki Anin membuat mereka yang berada dilapangan belakang menengok.

Tatapan Anin langsung tertuju pada seorang yang jatuh diatas tanah, banyak sekali luka dia pikir Anin. Tanpa babibu, Anin maju menembus mereka.

“Luka kamu banyak banget. Ayo ke uks!” Kata Anin sambil menawarkan tangannya pada Yovan.

Anin tidak tahu saja bagaimana tatapan Haksa dibelakangnya, tidak bisa diartikan.

Kawanan Haksa sampai tidak bisa bereaksi karena kelakuan Anin yang sangat berani ini. Nalendra terus menyenggol bahu Renald, takut-takut Haksa mengeluarkan amarahnya tiba-tiba.

“Yovan? Ayo dong cepet soalnya aku mau ke perpus nih.” Kata Anin lagi yang dihadiahi tawa kecil dari Yovan. Ia menyambut tangan Anin dan berdiri.

“Oiya, kamu juga ayo ke uks.” Tunjuk Anin pada Haksa. “Kalian bisa tolong bantu bawa gak?” Tanya Anin pada Nalendra, Renald, juga Jevan.

“Oke, yok ke uks.” Jawab Nalen hati-hati sambil menggandeng Haksa, diikuti Jevan. Sedangkan Renald ikut membantu Anin membawa Yovan.

Sampai di uks, namun tidak ada orang. Anin menyuruh keduanya duduk diranjang yang berbeda dan menyiapkan obat-obatan yang diperlukan. Karena luka Yovan yang lebih parah, jadi Anin mengobati dia duluan.

“Liat mata Haksa.” Kata Jevan pelan.

“Kesurupan?” Tanya Renald.

Jevan menatap Renald malas, “Belum, tapi ntar lagi.”

“Anin moga lo baik-baik aja.” Ucap Nalen pelan.

Tatapan mereka semua teralih kala seseorang memasuki ruang uks.

“Maaf kak tadi saya dari toilet, sini biar saya aja yang lanjutin.” Ucap seorang gadis yang sepertinya petugas uks hari ini.

Anin segera bangkit bergantian. Namun bukannya berangkat ke perpus, ia malah pindah ranjang dan mulai mengobati Haksa. Sungguh, apa Anin tidak sadar dengan tatapan Haksa yang seperti itu?

“Kalian tuh ngapain sih berantem disekolah? Kalo anak lain liat terus mereka ikutin gimana?” Tanya Anin menghadap Haksa dan Yovan dibelakang.

Andai Anin tahu, kalau semua orang yang ada di uks saat ini tengah menahan kejut setengah mati, tak terkecuali Haksa.

“Yovan kamu mau nanti orangtua mu dipanggil lagi? Gak kan?”

“Kamu juga, Haksa kan?”

Haksa mengangguk.

“Jangan dibiasain berantem disekolah, kalo diluar terserah aja. Tapi lebih baik gak usah, oke? Liat tuh muka kalian pada biru-biru, kalian suka banyak luka gitu?

Kalau kalian tahu, mata Nalen sampai mau keluar hahaha. Mereka semua yang mendengar omelan Anin sangat-sangat terkejut. Namun lebih terkejut lagi Haksa tidak melempar meja atau menghantam kaca jendela.

Tatapan Anin teralih saat melihat sebuah telpon masuk di ponselnya.

“Halo dimana lo?” “Uks, bentar lagi kesana.” “Cepet olim fisika udah mulai noh.” “Iya sabar lintang, bentar lagi kesana.”

Lalu Anin menutup telpon tadi. Dilihatnya lagi wajah Haksa, bagian mana lagi yang belum tersentuh obat-obatan. Ujung bibir, itu yang tersisa dan Anin langsung mengoleskan kapas itu disana.

Haksa tidak meringis sama sekali, apa dia tidak kesakitan? Dan lagi, Anin baru sadar kalau sedari tadi Haksa tidak melepaskan tatapannya dari mata Anin. Aneh. Sesuatu didalam diri Anin juga merasa aneh.

“Oke sudah selesai. Aku duluan ya mau ke perpus. Ingat jangan berantem lagi.” Kata Anin sambil mengarah pada Haksa dan Yovan.

Pintu uks kembali tertutup sepeninggal Anin. Suasana uks sangat sunyi, tak ada yang bersuara. Hingga Nalendra tiba-tiba berteriak. “ANJING ANJING ANJINGGGG!!!”

Senja kala itu


Selesai, Anin dengan barangnya yang sudah beres pun berdiri dari duduknya. Sedangkan dilain sisi ada Haksa dan kawanannya yang juga sedang menuruni lantai 2 menuju ke kasir.

“Yes Haksa bayar hahaha. Gue tunggu luar ye.” Kata Nalen.

“Gaada adab lo, dasar.” Ucap Haksa yang diikuti suara tawa kawanannya.

“Meja 23.” Kata Haksa pada penjaga kasir.

Baru saja si penjaga kasir akan menyebutkan nominal tagihan, tiba-tiba ada suara teriakan anak kecil yang menangis. Haksa langsung membalikkan badannya, dan ternyata minuman anak itu tumpah ke lantai.

Haksa hendak maju menuju si kecil, namun ternyata ia kalah cepat dengan seorang gadis. Gadis yang tak ia kenal namun memakai seragam yang sama dengannya. Walau punya Haksa tertutup hoodie.

Si gadis tampak menenangkan si kecil dengan mengatakan 'tidak apa-apa' sambil menggendongnya. Wow, cepat sekali anak kecil itu kembali tenang? Tak lama ibu dari si kecil datang, dan ia segera dialihkan. Gadis itu tersenyum pada sang ibu, juga mencubit gemas pipi si kecil.

Haksa tak sadar, ia malah menonton kejadian itu. Saat si gadis berjalan menujunya, ia langsung berbalik.

“Berapa?” Tanya Haksa ulang.

“Meja 23 totalnya 117.000” Kata penjaga kasir yang diangguki Haksa.

“Meja 7 kak.”

Mendengar itu Haksa mengeluarkan dompetnya sedikit lambat, entah kenapa.

“Meja 7 49.000 yaa.”

Si gadis tersenyum sambil menyerahkan uangnya. “Ini kak, kembaliannya gausah aja.”

“Yaampun, makasih a-”

Ah sial, Haksa tidak mendengar namanya tadi. Ini semua karena anak kecil tadi tiba-tiba berteriak sambil menangis. Nasib Haksa. Tapi, kenapa juga ia ingin tahu?

Si pengkhianat


Mereka datang. Haksa, Jevan, juga Nalendra memasuki cafe dan langsung menuju lantai atas. Sudah ada Renald disana yang sedang memperhatikan dua orang dari jarak yang tak cukup jauh sambil minum es jeruk.

“Ngomong apa mereka?” Tanya Haksa.

“Lo denger sendiri deh.” Kata Renald sambil menyuruh kawanan memperhatikan tersangka.

“Berarti Nalen gabakal turun kalo belum ada yang luka 'kan?”

“Iya soalnya doi cadangan doang.”

“Siapa backup keeper-nya Jevan?”

“Calvin, udah fix dia.” Jawab Yovan santai sambil meminum coffee lattenya.

Aresh ber-oh ria. “Fix juga pake strategi itu?”

“Iyalah orang mereka udah latian pake tu strategi berbulan-bulan.”

“Bagus deh.” Kata aresh santai sambil menyilangkan kakinya.

“Anjing.” Umpat Nalen.

“Dasar pengkhianat.” Ucap Jevan sambil bersiap jalan maju menuju mereka.

“Jev tahan. Gue kapten bola, biar gue yang eksekusi.” Kata Haksa.

“Tenang sabar.” Ikut Nalen menenangkan Jevan yang matanya sudah sangat sinis.

“Ren lo rekam kan pembicaraan tu dua curut?”

“Udah, dari awal malah.” Kata Renald sambil menunjukkan ponselnya.

“btw lo ngapain dah kesini?” Tanya Nalen bingung pada Renald.

“Gapapa.”

Nalen menatap Renald dengan tatapan yang menyebalkan, juga senyum yang aneh. “Ohh mau ketemu seseorang yaa..”

“Ngarang lo.”

“Hish gapercaya gue.”

“Diem dulu monyet. Ga kedengaran mereka ngomong apa.” Kesal Haksa.

“Lo nanti turun tanding Resh?”

“Iyalah. Harga diri gue jatuh kalo sampe gaikut.”

masih punya harga diri ternyata, batin Haksa.

“Haksa jadi kapten, gue juga, jadi impas.”

Tanpa mereka sadari, Haksa sedang menahan amarahnya. Bahkan mendengar Aresh berbicara saja ia sudah muak. Haksa muak dengan Aresh.