Pawai, Panas, dan Kita.


Matahari mulai muncul, sepanjang jalan raya depan kantor bupati yang ditutup juga mulai diisi barisan orang-orang dari berbagai sekolah. Tapi tentu, Neo berada di barisan paling depan sekaligus yang memulai pawai. Sudah bukan rahasia lagi karena setiap tahun selalu seperti ini.

MB baru saja selesai briefing bersama Coach Dimas juga Miss Ani sebagai Pembina. Setelah berdoa bersama dan meneriakkan jargon, mereka semua mulai berbaris.

Ah, saat selesai briefing tadi, Dena tak sadar kalau dia disenggol Shirin. Shirin cantik sekali hari ini, memakai baju khas daerah mereka yang indah, ditambah sebuah selempang yang menjadi pertanda bahwa ialah pemenang Duta Neo tahun lalu.

Tapi entah apa alasannya menyenggol Dena, Dena tidak ambil pusing, sih.

Coach Dimas tadi datang bersama beberapa kawanannya yang sering datang saat mereka latihan. Bantu mengiringi katanya, takut ada yang tumbang di tengah jalan. Banyak anak-anak MB yang duduk di pinggir trotoar karena menunggu lamanya acara ini di mulai. Clara saja sampai meneduh dulu, takut-takut make up nya luntur.

Dan sial, Assan tiba-tiba datang untuk duduk di sebelah Dena yang masih kosong.

Sebenarnya tidak ada yang aneh. Assan datang dan bercanda tawa bersama anak brass yang lain, tapi hanya Dena yang tersenyum kikuk. Apalagi saat tau kalau Laras dari jauh sedang menatapnya sinis.

Semuanya serba salah.

Tapi beruntung, tidak ada kecanggungan di MB setelah kejadian kemarin, membuat Dena sedikit menghela nafas lega. Buktinya mereka semua bisa bercanda seperti biasanya.

“Gak nyaman sama gue ya?” ucapnya pelan.

Dena langsung berjenggit, “Hah? E-engga kok, San.”

Assan hanya tersenyum yang entah mengapa membuat Dena merasa bersalah, sangat.

“Ayo semua balik ke barisan, pawainya mau mulai! Clara ambil alih!” seru Coach Dimas membuat semua anggota MB langsung bersiap kembali ke tempat.

Seperti ditarik kenyataan, Dena langsung berlari ke posisi barisannya. Bendera start diangkat, pawai sudah dimulai. MB membawakan intro sebentar dari anak-anak drumline lalu setelahnya mulai memainkan lagu pertama.

Banyak yang menonton mereka di samping jalan, karena ini memang pawai untuk perayaan ulang tahun kota mereka, jadi tidak heran kalau semua masyarakat berdatangan untuk meramaikan acara ini.

Banyak juga anak-anak Neo yang tidak ikut pawai, datang menonton sambil meneriakkan nama teman-teman mereka yang sedang lewat.

Termasuk Haje yang kini meneriakkan nama Dena.

Serius, ini akan jadi pawai yang panjang. Coach Dimas bilang perkiraan pawai ini selesai adalah sekitar jam 11 siang. Waktu yang jelas akan sangat panas.

Rasanya tangan Dena akan patah saat harus mengangkat Mellophone ini sekian jam, mana sambil berjalan. Tapi tidak papa, Dena tidak terlalu keberatan. Musik itu hal yang dia suka, apalagi mereka bersama seperti ini. Rasanya kerjasama tim dan kekeluargaan mereka semakin mengerat.


3 jam berlalu, akhirnya barisan pawai dari MB mencapai garis finish. Tapi belum selesai sampai disitu. Di garis finish, mereka harus menampilkan penampilan dulu di depan panggung kehormatan yang mana ada para pejabat kota dan bapak bupati disana.

MB memainkan lagu-lagu mereka dengan mereka yang membentuk barisan pola curva.

Saat itu rasanya dekat sekali dengan penonton. Dena bisa merasakan orang-orang yang berteriak sampai dorong-dorongan untuk melihat penampilan mereka. Sejujurnya, Dena merasa sesak. Semua orang disana terlalu berkerumun.

Selesai Clara hormat pada bapak bupati, MB langsung march out dan barisan pun bubar.

Selesai dari penampilan MB masih ada penampilan dari eskul-eskul lain di panggung kehormatan. Tapi masa bodoh, anak-anak MB langsung jalan duluan untuk kembali ke sekolah. Sedikit tidak teratur, tapi tidak papa, karena jalan raya yang mereka lewati ini sudah ditutup sehingga tidak ada kendaraan yang lewat.

Semuanya terpisah, bahkan Dena tidak tahu Putri ada di depan atau belakangnya. Yang ia tahu sekarang hanyalah mataharinya terlalu menyengat. Belum lagi kepala si gadis sangat pening karena memakai topi uniform terlalu lama. Dena berjalan pelan di pinggir jalan menuju sekolah sambil terus meringis.

Tiba-tiba saja ada tangan yang mengambil Mellophone-nya yang membuat Dena tersentak kaget.

“Hah! Kirain..” ucap Dena pelan saat tau siapa dia. “Siniin, gue bisa bawa kok.”

“Gua aja.”

“Dav, lo udah berat itu bawa snare! Ngapain bawa Mello gue lagi?” erang Dena merasa tak enak.

“Udah, mending lo buka dulu tu topi,” kata Dava sambil mengikuti tempo langkah kaki Dena. “Tahan, bentar lagi sampai sekolah.”

Jujur saja, Dena merasa tubuhnya tidak cukup kuat sekarang. Keduanya berada di rombongan paling belakang jika di bandingkan dengan yang lain. Dava sedari tadi memang sudah memperhatikan Dena yang tampak lesu. Itu ketara sekali pada saat penampilan tadi di panggung kehormatan.

“Sini stik lo gue pegangin,” kata Dena sambil memberi tangan.

Tangan Dava memang penuh. Satu dengan mellophone Dena, satu lagi dengan stik miliknya. Belum lagi snare dan carrier yang masih bertengger di bahunya. Karena memang daritadi stik Dava ingin jatuh, jadi ia setuju untuk memberikan stik itu pada Dena, dengan ganti tangan kiri Dava memegang lengan atas si gadis.

Dava memegangi lengan atas Dena.

Si gadis tertawa kecil, “Apa nihhh?”

Dava mendengus, “Setidaknya kalo lo pingsan, jatuhnya gak ke got.”

“Oh, berarti jatuhnya kepelukkan lo dong?” tanya Dena menggoda.

Mendengar itu Dava menggeleng-gelengkan kepalanya, “Udah sekarat masih aja gombal.”

Perkataan Dava dihadiahi tawa renyah dari Dena. Seru juga menggoda Dava, pikir si gadis.

Perjalanan itu sebenarnya cukup memakan jarak, tapi sayang kali ini terasa singkat, karena Dena dan Dava terlalu asik. Terlalu asik berdua.

Halaman sekolah sudah tampak. Jemari Dava pada lengan Dena semakin mengerat karena si gadis tampak lebih pucat dari yang tadi.

Melihat Dava dengan wajah yang sedikit paniknya langsung membuat Galen datang membantu membawakan alat Dena. Putri juga ikut berlari dan memegangi Dena yang tatapannya mulai tidak jelas, padahal mereka masih di halaman depan sekolah yang mana matahari masih terik sekali disini.

Baru saja Dava melepaskan alatnya dari bahu tiba-tiba-

Brak!

“Dena!”

Dava langsung menuju Dena yang terbaring makin pucat. Diangkatnya si gadis untuk masuk ke dalam gendongannya dengan rasa panik tak karuan. Dava akan membawanya ke UKS sampai tiba-tiba datang suara menginterupsi yang masih bisa samar Dena dengar.

“Dav! Shirin pingsan!” teriak entah siapa.

“Dena juga pingsan, Lo aja.”

Kalimat terakhir Dava menjadi penutup kesadaran Dena.