Sore itu, dipentas pamit.


Sekolah kala sore itu sangat ramai. Banyak sekali yang tidak sabar melihat hasil latihan paskib selama berbulan-bulan ini yang akan mereka bawa untuk lomba.

LKBB atau Lomba Ketangkasan Baris Berbaris sudah seperti agenda wajib untuk anak-anak paskib ikuti. Kali ini mereka hanya mengirim 1 tim dengan anggota tiga belas orang. Haje dan Shirin ada di dalamnya, dan ini akan menjadi lomba terakhir mereka karena sudah kelas akhir SMA.

Lapangan sekolah sudah tertata rapi sekali, bahkan penonton disediakan kursi untuk duduk. Walau Dena dan Putri sudah datang sebelum waktunya, tapi ternyata semua kursi penonton sudah hampir penuh.

Dan kalian tau? Untuk pentas pamit ini saja eskul paskib sampai mengundang bapak bupati untuk datang menonton sebagai pelepasan mereka. Wajar saja sih, kali ini mereka lomba di tingkat nasional. Mereka membawa nama kota dan daerah ini, makanya untuk sekelas pentas pamit saja, ini sudah sangat luar biasa.

“Na! Disana kosong tuh!” tunjuk Putri saat mereka sedang mencari tempat duduk.

“Harus banget disana, Put?”

“Yaaa mau dimana lagi? Ayoo kesana.”

Tadi Sakha yang memanggil Putri untuk duduk didekatnya. Barisan kursi itu memang rata-rata diisi anak-anak MB. Mungkin memang disiapkan kursi penonton sesuai eskul? Entahlah. Tapi masalahnya, dua kursi kosong itu ada diantara Sakha dan Dava.

Haduh.

“Apa lo senyam-senyum?” ketus Dena saat hendak duduk.

“Sedekah,” balas Dava santai.

Terkejut mendengar itu, Dena langsung menginjak kaki Dava, “Rasain!”

Bukannya amarah, justru tawa gemas yang keluar dari bibir si lelaki, “Jangan marah-marah hei.”

“Terserah gue dong, emang kenapa?”

“Ntar cepat jompo.”

“Dav..” desis Dena. “Lo tuh.. Erghh!”

Kali ini tidak hanya Dava, tapi semua yang duduk didekat mereka ikut tertawa. Kalian harus tau, Dena itu kalau sedang kesal, wajahnya berubah jadi lucu sekali. Bibirnya dikerucutkan ditambah desisan yang dibuat untuk mengintimidasi, walau nyatanya, orang yang melihat itu malah menganggapnya gemas.

Dena sengaja mengehela nafasnya kasar agar orang di sampingnya ini mendengar. Entahlah, ingin saja. Lalu tak lama setelahnya ia baru sadar, kenapa dia begitu? Tiba-tiba kesal dan tidak mau berada di dekat Dava. Aneh.

Padahal jawabannya sederhana. Dena sedang salah tingkah. Mencoba menjadikan rasa kesal sebagai alibi supaya tidak ketahuan si lelaki, bahwa jantungnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi kalau harus duduk bersebelahan seperti ini.

Terserah mereka saja, lah.

Acara dimulai dengan diawali pembacaan doa serta sambutan-sambutan dari berbagai pihak. Sambutan terakhir dari bapak bupati menjadi awal untuk masuk ke acara inti, yaitu penampilan dari Tim Garuda 13, nama tim dari mereka-mereka yang akan melakukan pentas pamit hari ini.

Sorak-sorakan serta tepuk tangan menjadi penyambut saat Tim Garuda 13 memasuki lapangan. Para anak laki-laki dari tim itu memasang wajah tegas nan sangar, sedangkan para gadisnya tersenyum teramat manis.

Keadaan penonton mulai senyap saat penampilan dimulai dan tergantikan oleh tatapan kagum. Kerja keras Tim Garuda 13 selama beberapa bulan belakangan benar-benar terbayar. Katanya mereka selalu latihan dari habis isha sampai jam dua dini hari. Dena akhirnya mengerti, pantas saja Haje selalu tertidur di kelas.

Ada banyak variasi serta visual effect yang mereka tampilkan. Semua yang menonton benar-benar puas, bahkan pelatih, Pembina paskib, serta beberapa guru sampai menitihkan air mata. Tim Garuda 13 sungguh sudah bekerja keras.

Dena mengulum senyum, menatap bangga pada mereka-mereka yang tampil itu.

Saat variasi terakhir, terdapat gerakan balik kanan yang membuat barisan paling belakang menjadi barisan paling depan. Shirin ada disana, dibarisan itu, tengah tersenyum manis sambil tatapannya lurus pada satu orang.

Dava.

Sungguh, orang-orang pasti menyadari apa yang dilakukan Shirin. Bahkan terdengar banyak suara bisik-bisik.

“Cantik ya,” ucap Dena yang membuat Dava menoleh menatapnya. “Cieee ditatap Shirin, tuh.”

“Iya,” katanya.

“Yaudah, sana liat kedepan,” suruh Dena. “Kok malah ngeliat ke gue.”

Tapi Dava hanya mengedikkan bahu dan tetap menoleh ke samping, menatap Dena.

“Dav.. kenapa?” ucap Dena pelan.

Dan tetap tidak ada jawaban. Dava terus menatap si gadis tenang, dengan mata yang sulit diartikan, sampai penampilan selesai.