Dava; perasaan aneh.


Sekarang sebagian kecil anak marching band sedang berada di ruang alat. Ruang alat mereka cukup luas sehingga sisa tempat di ruangan mereka diberi alas karpet dan ditaruh beberapa bantal agar mereka bisa beristirahat atau sekedar berkumpul saat jam istirahat seperti ini.

Ada Galen, Dava, Rendra, Assan, Sakha, Clara, Putri, dan Dena yang baru datang dengan membawa pop mie ditangan. Mereka sedang makan gorengan sama-sama, diiringi canda tawa dan sejenak melupakan apa yang terjadi antara Clara dan Shirin tadi pagi.

Di tengah keramaian itu, ada Dava yang masih saja memainkan stiknya membentuk ketukan-ketukan ritmis seorang diri dengan tatapan kosong.

Ada apa? Dia sedang memikirkan sesuatu? Dava sedang sedih? Itulah yang dipikirkan Dena.

“Heh Dav, sini makan dulu! Main mulu lo.”

“Hm.”

Perkataan Rendra tadi berhasil membuat Dava bergabung dengan mereka untuk makan gorengan bersama. Saat Dava akan mengambil sebilah tempe, saat itu juga tangannya tak sengaja bertabrakan dengan milik Dena, membuat keduanya saling menatap tepat dikedua bola mata.

Tapi setelahnya langsung diputus duluan oleh Dena. Dena memilih kembali untuk memakan pop mie saja, napasnya terhela pelan serta ratusan perasaan tak enak langsung muncul.

Hah, pasti Dava risih.” pikir Dena dalam hati.

Padahal, jauh didalam lubuk hati Dava, ia merasa bersalah. Entah mengapa perasaan itu timbul.

Galen yang mengetahui kecanggungan antara Dava dan Dena langsung mengalihkan perhatian, “H-4 woy ga kerasa,” katanya.

“Kerasa ya anjir! Kita loh latihan setiap hari, lo doang tuh!” sahut Clara dengan tidak santai.

Semuanya langsung tertawa, apalagi Rendra dan Assan yang sampai mengejek untuk menggoda Galen. Rumornya, Galen punya perasaan yang lebih untuk Clara, tapi ia ditolak dengan alasan Clara lagi gamau punya hubungan. Lebih asik temenan katanya, biar gak terikat.

Ada-ada aja si Clara.

Tapi dibalik semua itu, semuanya sadar. Mereka bersyukur Galen dan Clara membawa mereka keluar dari kecanggungan tadi.

“Hah, terserah ibu fieldco ajadah,” dengus Galen menyerah.

Dena tersenyum melihat kawanannya hingga ia teringat akan sesuatu, “Eh, hari ini kita latihan di lapangan mana?”

“Kalo sampai di lapangan pemuda, gue mau Dena jalan gendong gue kesana!” kata Putri yang membuat Dena membelalakkan mata.

“Heh apa-apaan?! Aneh-aneh aja lo!”

“Hahaha di lapangan sekolah kok, Na,” ucap Galen menengahi keduanya.

“Widih serius? Siapa yang nego ke Haje? Lo lagi Dav?” tanya Assan.

Pertanyaan Assan hanya dibalas deheman oleh Dava karena ia yang sedang memakan tahu isi. Dava dan Haje memang dekat karena dulu berasal dari SMP yang sama, makanya Galen selalu mempercayakan negosiasi ke paskib pada Dava.

“Mereka latihan apa sih?” tanya Clara. “Mau LKBB?” *Lomba Ketangkasan Baris Berbaris.

Dava mengangguk, “Makanya latihan setiap hari juga.”

Mereka yang di ruang alat menganggukkan kepala paham sambil kembali lanjut makan gorengan. Lapangan pemuda memang tidak jauh sangat sih dari sekolah, yang membedakan adalah panas mataharinya. Di sekolah masih bisa tertutupi oleh gedung, kalau disana langsung disambut.

Anak paskib sebenarnya tidak terlalu masalah akan hal itu, tapi ada satu orang yang selalu tidak terima.

“Perasaan tadi si Shirin ngomel gamau latihan disana?” tanya Clara lagi yang langsung membuat keadaan berubah senyap.

Semua mata saling pandang, dan Dava tau, pertanyaan ini memang harus dijawab oleh dia.

“Gua sama Shirin udah bicara tadi,” jawab Dava. “Berdua.”

Sial, rasanya Dena ingin menjadi batu sekarang.