Bicara hati.


Dena datang dengan pocari sweat dan susu ultramilk dikedua tangannya. Kedatangan si gadis disadari oleh Dava yang tengah duduk dikursi panjang depan ruang alat, sampai Dena berdiri didepannya sambil menyodorkan tangan.

“Nih pocari,” kata Dena memberikannya pada Dava.

Ya, tidak ada alasan untuk menolak sih, jadi Dava terima.

Dena ikut duduk dikursi itu namun dengan jarak yang cukup terpaut. Keadaan yang sepi membuat suasana berkali lipat menjadi canggung.

“Seneng bisa langsung ngasih ke lo.”

Dava langsung menoleh pada Dena. Apa maksud si gadis? Apa tentang pocari sweat ini? Dava yang akhirnya paham cukup tersentak karena sadar bahwa pocari yang selama ini ia dapat selama latihan adalah dari Dena.

“Jangan kaget, lo bener kok. Pocari yang dikasih Sakha itu dari gue semua,” jelas Dena membenarkan pikiran Dava. “Hahaha maaf ya kalo awal-awal gue gatau lo gasuka mizone.”

Dava mengangguk asal dan memilih meneguk minuman yang tadi diberikan Dena. Sial, padahal ia yang menyuruh Dena kesini, tapi kenapa kini malah dia yang canggung tak karuan.

Suara siswa siswi yang bergemuruh menjadi spasi mereka. Dena tau, sesuatu yang akan dibicarakan Dava kali ini memaksanya untuk menyiapkan hati yang besar.

“Mau bicara apa?” tanya si gadis.

Helaan nafas terdengar dari dava, “Dena, lo gak capek?”

“Capek kenapa?”

“Suka sama gua,” kata Dava sambil menatap yakin pada Dena. “Suka sama gua ga bikin lo bahagia, Dena.”

Dena justru tersenyum, “Kalau soal bahagia mah tau lo hidup juga udah bikin gue bahagia, Dav.”

Mendengar itu, Dava benar-benar kehilangan kata. Ia tidak pernah tau tekad Dena sekuat ini. Tapi apakah yang dikatakan Dena hanya bualan semata? Dava harap itu iya.

Dava berusaha mencari kata ‘iya’ itu, namun semuanya seakan sulit dimengerti. Semakin dava mencoba membaca mata Dena tuk mencari kebenaran, malah ia yang seperti tersihir.

Tidak beres.

Dava memilih kembali menatap kedepan dengan hembusan nafas yang ia yakin Dena dengar.

“Dava, kata bersama gak pernah ada disaat gue mutusin buat jatuh ke lo. Gue sadar, itu gak mungkin,” jelas Dena membuat Dava menajamkan telinga. “Gue suka sama lo bukan karena obsesi mau pacaran atau apapun itu. Gak seperti yang lo bayangin, bahkan ngeliat lo datang sekolah dan lo baik-baik aja itu udah cukup.”

Dena semenyedihkan ini. Dia sadar tapi memilih untuk tidak berhenti. Padahal ada banyak lelaki diluaran sana, tapi kenapa dava?

Ada banyak pertanyaan yang ingin dava tanyakan tapi ia tahan. Ia tidak mau semakin menjadi jahat. Dia sudah cukup jahat pada si gadis selama ini.

Makanya hari ini, Dava ingin mengakhiri semuanya.

“Kalau boleh, gue izin suka sama lo sedikit lebih lama lagi ya? Karena gue tau, lo pasti paham kalau berhenti suka sama seseorang itu gak semudah ngucapinnya kan? Lo sendiri masih ada ditengah jalan antara move on atau kembali. Kita sama-sama perlu waktu, dav.”

Dava menoleh pada Dena, “Waktu ya?”

Si gadis mengangguk, “Iya waktu. Kita semua punya kesempatan masing-masing, siapa tau habis ini lo balikan sama Shirin kan?”

“Na?” sahut Dava yang terkejut.

Gadis ini, bagaimana bisa ia dengan mudahnya menyebutkan kalimat itu. Dava bertaruh bahwa ada rasa sakit dibalik senyuman dena yang ia pampangkan sehabis menyebut kalimat tadi.

“Hahaha serius deh, Shirin tuh masih suka sama lo Dav, lo kenapa gak ngejar dia sih?”

“Gak semudah itu Dena,” Dava terdiam sebentar. “Gua... Ragu.”

“Tentang kelakuan Shirin yang lalu?”

Dava mengangguk samar. Kejadian-kejadian beberapa bulan kebelakang tanpa permisi langsung terputar dikepalanya. Potongan kejadian Shirin yang selalu ada disetiap harinya, Shirin dengan senyum manisnya, Shirin dengan tawa dan tangisnya, sampai Shirin yang tak ia sangka melukai hatinya.

Dena mendengus, “Ikutin kata hati lo deh, Dav. Disitu ada jawabannya.”

Dena berdiri bersiap pergi karena jam pelajaran yang akan berganti. Tak lupa satu kalimat terakhir menjadi penutup, “Dan soal lo yang berharap gue berhenti, maaf belum bisa. Tapi gue usahain secepatnya.”

Sial, kalimat itu entah mengapa membuat pikiran si lelaki tak karuan.