Adena; jatuh cinta sialan,


Jam tiga kurang dua puluh menit, dan lapangan sekolah sudah terdengar ramai, membuat Dena dan Putri sedikit pesimis. Sepertinya anak-anak paskib sudah datang duluan.

Dena yang memilih berputar berjalan balik langsung ditarik oleh Putri untuk tetap berjalan ke lapangan. Cek dulu katanya, siapa tau bukan manusia.

Ada-ada aja.

Dan, langkah Dena terasa makin berat saat mengetahui kalau penghuni lapangan saat ini ialah si empat lelaki. Galen si ketua MB, Dava sebagai wakil, serta Rendra dan Assan sebagai tim sukses. Seketika Dena meruntuki dirinya karena memaksa datang cepat.

“Buset cepet bener lo bedua,” kata Assan yang melihat kedatangan mereka.

Membuat keempat lelaki yang tadinya asik berbincang itu menoleh menatap dua gadis ini. Dena tersenyum kikuk, apalagi saat tak sengaja bersinggung pandang dengan Dava.

Putri ikut duduk bersama mereka, “Takutnya anak paskib latian, makanya cepet-cepet kesini.”

“Hahaha sama sih,” gelak Assan. “Nih makan, Galen beli keripik banyak banget tadi.”

“Dena, sini duduk,” ajak Rendra diiringi lambaian tangan oleh Galen.

Si gadis mengangguk dan duduk diantara Putri dan Assan. Sialnya, tepat di depan Dena adalah Dava, dengan tatapan tak acuhnya, tanpa memperdulikan angin yang membuat rambutnya terbang sedikit acak.

Dava yang tadinya banyak bicara kini berubah pasif, ia mengasikkan diri sendiri dengan memukulkan stiknya membentuk nada ritmis pada lantai semen lapangan. Ah, semakin dillihat, semakin juga Dena jatuh pada pesona Dava. Walau kenyataannya si lelaki tidak menaruh peduli.

Disaat Dena masih sibuk dengan pikirannya yang penuh mengangumi Dava, disaat itu juga si lelaki tiba-tiba menoleh menatap Dena yang kini sedang kalang kabut karena ketahuan.

“Sial.”

“Kenapa Na?” tanya Putri disela-sela pembicaraan serunya dengan Galen, Rendra dan Assan.

“Hehehe engga, gue kedepan dulu deh mau jajan, lo ikut?”

“Malesss ah,” rengek Putri sambil mengambil lagi keripik tadi.

“Sama gue aja.” ajak Assan.

mata Dena langsung berbinar, “Ihiyyy ayo San!”

Bangkitnya Assan dan Dena membuat ketenangan Dava cukup terusik. Mau kemana mereka? Karena jujur, sedari tadi Dava seolah menulikan telinganya akan pembicaraan kawanannya itu.

“Napa lo ngeliatin? Mau ikut juga?” singgung Assan pada Dava.

“Ogah,” ucapnya tak minat sambil kembali memainkan stik.

Terserah apa katanya, si gadis sudah biasa dengan semua penolakan itu. Toh, apa yang mau diharapkan? Dava tiba-tiba ikut? Mustahil. Dia tersenyum pada Dena saja tidak pernah. Kalau sampai Dava tersenyum, wah, Dava pasti sedang kerasukan setan.

Meninggalkan situasi tadi, sebenarnya alasan Dena untuk belanja di depan sekolah adalah untuk menjauh. Ia tidak bisa memaksa ada didekat Dava kalau ia tidak mau. Si gadis sadar, inilah konsekuensinya.

Dasar jatuh cinta sialan.

Dena mengambil minuman isotonik sedangkan Assan membeli pop ice rasa mangga.

“San! Gue bilangin Galen ya lo!”

“Ayolah Na, pop ice doang, fisik gue kuat kok.”

Dena mendengus, “Serah lo dah, abisin disini!”

Assan tersenyum lebar lalu kembali menyedot pop icenya. Anak-anak MB memang dilarang oleh Galen dan coach mereka untuk minum es ketika akan mengikuti kegiatan dalam waktu dekat, katanya bisa bikin fisik jadi tidak seimbang. Apalagi nanti pawai, perjalanannya jauh.

Kalau yang pingsan Assan siapa coba yang mau gendong?

“Anjing ada nak paskib.”

Dena menolehkan wajahnya melihat rombongan anak paskib yang mulai berdatangan ke sekolah. Beberapa dari mereka melawati para penjual jajajan dimana Assan dan Dena ada disana, bahkan banyak yg menyapa Assan.

Jangan kaget, Assan dan ketiga temannya itu memang sudah kelewat populer kalau di Neo, jadi tidak heran semua orang mengenal mereka. Beda cerita kalau dengan Dena.

“Heh san,” sapa seorang gadis.

“Paan.”

“MB latihan di lapangan?”

“Hooh,” jawab Assan sekenanya.

“Anjirlah paskib gimana dong.”

Assan mengedikkan bahu, “Kaga tau, ngomong sana sama ketua gue didalem.”

“Ada Dava?”

“Ada noh.”

“Oh okedeh.”

Shirin, dia mantan Dava. Putus sebulan lalu dan entah karena apa. Saat melihat Shirin, Dena semakin yakin untuk hanya sekedar menyukai Dava saja, untuk memimpikan bersama dengannya Dena nampak pesimis.

Shirin si cantik, dewi sekolah, anak paskibra, dan beritanya nanti saat 17an dia yang akan menjadi pembawa baki Bendera Merah Putih. Banyak hal baik di Shirin yang tentunya membuat sulit bagi dava untuk move on. dena mengerti, ia mengerti dengan seluruh hatinya yang berusaha damai.

“Lo kenal Shirin, Na?”

“Tau doang,” jawab Dena jujur. “Cantik ya?”

“Hm, lo juga cantik kali.”

“Kalo itu sih gue juga tau,” sahut si gadis sambil tertawa kecil.

Assan ikut tertawa geli sambil kembali menyedot minumannya.

“Dava masih ngeliat ke Shirin, itu yang gue gak tau alasannya.”

Assan langsung tersedak, perasa mangga memenuhi kepalanya.