Permainan sial.
Ruang alat yang tadinya dipenuhi orang kini mulai lenggang. Mereka-mereka yang sudah selesai membersihkan alat dan mengambil uniform sudah pada pulang, menyisakan anak-anak colorguard yang saat ini masih mengganti bendera, juga orang-orang yang malas pulang kerumah.
Gerimis datang lagi, membuat dena yang baru datang ke ruang alat sehabis membeli telur gulung mendesah kecewa. Baru jam setengah lima, sih. Tapi dia kan pulang sama Dava naik motor.
Wah, fakta ini masih saja membuat Dena mengerang tak percaya. Atau, apa dia pulang ikut putri saja ya? Soalnya bahaya, kalau di dekat Dava, jantung si gadis gak bisa diajak kompromi.
“Main yang lain yok!” seru Ale. “Bosen uno terus daritadi.”
“Main masak-masak sana kalo bosen,” dengus Clara.
“Loh, kok ibu fielco kita masih disini?” tanya Dena sambil duduk di sebelah Clara. “Kirain udah pulang tadi.”
“Tanya noh ke dancorp lo!” *Dancorp; sebutan lain untuk ketua MB.
Mendengar kalimat Clara, semua orang disana langsung tersenyum jahil. Bahkan Diky, Ale, dan Sakha kencang sekali meneriakkan “Ciee ciee.” sambil menatap Clara dan Galen.
Berangkat bersama ternyata mereka. Lucu sekali, apalagi sekarang Clara sedang menahan semburat merah dan Galen yang salah tingkah.
“Dah udah! Main aja sana barudak!” sergah Galen yang masih sibuk mengganti carrier quarto-nya.
“TOD gas TOD!” seru Diky.
“Ayo bang ikutan!” ajak Ale. “Kakak-kakak cantik juga ayo!”
Mereka-mereka yang tertarik ikut langsung mendekat membentuk lingkaran. Clara juga langsung bangkit dan duduk di dalam lingkaran itu, tangannya melambai mengajak Dena tapi si gadis tidak tertarik. Dena memilih kembali memakan telur gulungnya sambil memperhatikan permainan mereka.
Ada Ale, Diky, Sakha, Galen, Assan, Rendra, dan Clara yang ikut bermain.
Kalau Dava, dia ada sih. Sedang terbaring diatas sofa panjang bekas ruang guru yang diberikan pada ruangan MB. Matanya tak lepas dari ponsel yang sedang miring itu, wajahnya datar seperti biasa, terkadang ia menggeram kalau melewatkan sesuatu di permainannya.
“Dav, ikut sini!” ajak Rendra yang baru saja kena dare.
Dare-nya dari Clara : Ngajak Dava ikutan main ini.
“Ogah.”
Ya pasti di tolak lah!
Dena tertawa kecil melihat Rendra yang masih terus membujuk Dava untuk bergabung dengan mereka.
“Weh, gue ikutan dong!” kata Putri yang baru selesai mengganti bendera-nya. “Ayo Na ikutan!”
“Males putttttt.”
“Ayoo ah, enak bener lo cuma nonton.”
Putri menarik tangan Dena untuk bangkit dan bergabung dengan lingkaran mereka. Aduh, si putri mengajaknya untuk duduk tepat di samping Assan, karena disana masih ada tempat tersisa.
Dena yang masih berdiri meyakinkan diri langsung mengucap syukur saat Laras tiba-tiba datang dan duduk disebelah Assan.
“Eh lo disini, Ras?” tanya Putri sedikit tidak enak. “Masih muat gak? Dena juga mau duduk tuh.”
“Gak muat, Put. Lo duduk disana aja, Na. Di samping Clara itu,” tunjuk Laras ke arah Clara.
Dapat terlihat wajah kecewa dari Assan, apalagi itu sangat nampak dari Dena yang kini sudah duduk diseberangnya.
Maaf Assan, gue takut canggung. Gue tau gak seharusnya begini, tapi Dava juga ada dibelakang kita kalau gue duduk disana.
“Putar stik-nya!”
Sakha pun memutar stik miliknya untuk menentukan siapa yang kali ini mendapatkan kesempatan. Stik itu terus berputar hingga akhirnya terhenti pada diri Sakha sendiri.
Sorakan serta tawa geli mengudara oleh orang-orang disana dengan Sakha yang menggaruk belakang kepalanya malu.
“Hahaha pulang ke dia sendiri,” tawa Rendra.
“Truth or dare?” tanya Ale.
“Truth.”
“Ih kok truth sih, dare lah!” seru Clara tak terima.
Dibalik orang-orang yang tidak terima itu, Sakha senyum-senyum sendiri seperti sedang memikirkan sesuatu. Dena memperhatikan itu hingga akhirnya dia mengangkat tangan siap untuk memberikan pertanyaan.
“Satu doang ya,” kata Sakha. “Kak Dena!”
“Na, kasih pertanyaan sulit!” kata Galen. “Songong ni anak satu.”
“Pertanyaan lo jangan bikin orang kecewa ya, awas lo,” sahut Rendra mengancam.
“Hahaha tenang-tenang,” si gadis menarik nafas. “Oke, truth kan? Kalau gitu jujur, siapa orang yang lo suka, kalau dia ada disini confess sekalian.”
“WOHOHOHO!!!”
“HOOO RASAIN LO SAK!”
Semuanya langsung berteriak heboh sedangkan Dena tersenyum menang.
Sakha terlihat kaget sampai matanya membola besar. Ia tidak menyangka kalau Dena akan memberinya challenge ini. Sakha menarik nafasnya dengan teratur, mencoba mencari kepercayaan diri diantara sorak-sorakan orang yang ada disana.
Sekarang ya, waktunya ia untuk jujur?
Sakha berdehem sejenak, “Ehm, orang yang gue suka itu.. Kak Putri.”
“WOHOOOOO!!”
“TUHKAN! BENER PENGLIHATAN GUE SELAMA INI!” seru Clara.
“Ahahaha Put, Sakha tuh Put,” tunjuk Assan diantara semua sorakan orang yang ada di ruang alat.
Sedangkan Putri seperti membeku mendengar penuturan dari Sakha. Akhirnya ia tahu juga alasan mengapa si adek kelasnya itu selalu ada dan peduli pada dirinya.
“Gue suka lo, Kak Put,” lanjut Sakha. “Sorry kak gue tuh, anu, apatuh, itu –AH TAU AHHHH!!”
Sakha yang menjadi salah tingkah membuat mereka kembali tertawa. Wajah hingga telinga Sakha memerah, belum lagi sekarang ia sedang bersembunyi dibalik Diky berusaha mengubur diri.
Putri tersenyum, “Keren Sak, makasih ya. Tapi gue belum suka sama lo sih, jadi, gue tunggu usaha lo, oke?”
“WOOOO GAS SAK DAH DAPAT LAMPU HIJAU!!” teriak Assan.
Para anak laki-laki mendekati Sakha hanya untuk menyoraki dan memberikan semangat padanya. Bahkan Ale sampai menepuk-nepuk pipi Sakha karena orangnya masih cengo mendengar penuturan dari Putri.
Lucu sekali.
“Lanjut lanjut!” kata Rendra. “Gue putar ya!”
Stik tadi kembali berputar. Mangsa selanjutnya, Dena!
Si gadis langsung menepuk jidat, terlalu cepat untuk dia yang kena selanjutnya. Mana sekarang semua orang sudah mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi agar di pilih Dena.
“Sabar njir, gue aja belum milih truth or dare,” keluh Dena.
Lelaki itu tertarik. Dava mem-pause gamenya sejenak untuk menonton Dena. Ada senyum yang mengembang saat ia melihat wajah Dena yang sudah kepalang frustasi.
“Truth, gue pilih truth,” kata Dena sambil memilah pertanyaan siapa yang akan pilih. “Diky!”
Yang namanya disebut langsung mengepalkan tangan senang.
“Awas pertanyaan lo gak bermutu,” ancam Ale.
“Dik jangan bikin kecewa, kasi pertanyaan yang susah!” seru Putri yang mendapat tatapan tajam dari Dena.
“Oke, oke, tenang semuanya. Kak Dena gue mau tanya,” Diky sedikit gugup, “Kapan.. terakhir kali lo makan seblak kak?”
“DIKY LO CARI MASALAH KAH HAH?!”
“Heh! Lo kalo mau liat kapan Dena makan seblak tinggal liat insta storynya aja Dikyyyyyy.”
“Kecewa penonton njerrr.”
Dan semua kata keluhan lain yang keluar dari orang-orang yang kecewa dengan pertanyaan Diky. Pokoknya ruang alat jadi heboh, mereka pada tidak terima, mana pertanyaan yang dipilih hanya satu.
Dena tersenyum menang sambil terus melemparkan flying kiss pada Diky. Sedang lelaki di ujung sana mendengus sambil tertawa kecil, ia melanjutkan lagi game-nya sambil tetap menajamkan telinga tentang apa yang akan Dena jawab.
“Kemarin hehe, kemarin gue terakhir makan seblak,” jawab Dena cengengesan.
“Dah ah! Lanjut ke pertanyaan lain!” cerocos Ale dan langsung memutar stiknya.
Gerimis mulai menipis, hawanya juga sudah tidak sedingin tadi. Stik yang tadi berputar kini berhenti dan langsung mengundang tatapan jahil dari orang-orang.
“Kak Laras!” tunjuk Ale. “Truth or dare?”
“Truth,” jawab Laras mengundang senyum jahil dari mereka.
“Kak pilih gue plisss,” pinta Diky. “Kali ini janji waras pertanyaannya.”
Laras menatap Diky ingin menolak sebenarnya, tapi kasian. Mana anak-anak yang lain sudah underestimate pertanyaan Diky. Jadi, okelah, Laras memilihnya saja.
“Yaudah, apaan?”
“Yes!” kata Diky merasa menang. “Oke, Kak Laras kan sering ngode tuh di instastory, ngode siapa sih kak?”
“NAH GINI DONG DIK DARITADI!!”
“MANTAP AYO KAK LARAS JUJUR!!”
Laras terlihat cukup terkejut dengan pertanyaan Diky. Di pikirannya, apakah kentara sekali? Apakah sekarang ini dia harus jujur?
“Ehm.. gue,” Laras menatap kawanannya disana satu persatu hingga tatapan itu jatuh pada satu orang, di sampingnya. “Gue ngode lo, San. Tapi lo gak peka kalo gue suka sama lo.”
Suasana hening sejenak lalu tergantikan dengan sorak-sorakan oleh mereka-mereka yang kagum dengan keberanian Laras.
Tidak disangka, Laras sungguh mengumpulkan keberaniannya tadi. Ia berada di satu kelas yang sama dengan Assan dan Putri. Membuat Putri tersadar kalau selama ini yang sering Laras curhatkan secara anonim itu ternyata Assan-lah oknumnya.
Tapi sayang, Assan terlihat tidak terlalu senang. Buktinya dia hanya diam dan sesekali menanggapi dengan senyuman, lalu kembali menatap Dena. Membuat Dena menggigit bibir bawahnya sambil beralih ke atensi yang lain.
“Untuk bang Assan, semoga sekarang udah peka ya!” ucap Diky. “Yok lanjut putar lagi! Ini terakhir oke, bang Galen yang nyuruh soalnya, habis itu pulang.”
Stik terakhir kembali berputar. Terus berputar, tetap berputar, sampai ia melemah, lalu berhenti pada orang yang paling Dena wanti-wanti.
“Anjer mantap, bang Assan!” seru Ale.
“Ayo bang, truth or dare?” tanya Sakha.
“Dare lah,” jawabnya dengan santai.
Jawaban Assan mengundang sorakan kembali. Akhirnya permainan terakhir ada juga yang memilih dare. Bahkan Dava saja menghentikan permainannya lagi untuk melihat apa yang akan Assan lakukan.
“Pilih dah tuh bang,” pinta Diky. “Udah pada angkat tangan semua.”
“San gue San!” seru Clara. “Plisss ya ya ya?”
“Iyadah, cepetan.”
“Yes hahaha!” Clara kelewat senang sampai-sampai tak berhenti tersenyum jahil. “Oke. San, dare-nya.. coba lo telpon orang yang lo suka sekarang juga!”
“WOOOO INI DIA!!”
“WADUUU SIAPA NI CEWENYA.”
“AYO SAN TELPON GAK BOLEH NOLAK.”
Dan semua teriakan-teriakan lain yang terdengar sangat senang karena pertanyaan Clara yang sesuai ekspektasi.
Assan tersenyum tenang, menyuruh semuanya untuk diam sebentar, lalu mulai mengeluarkan ponselnya. Ia terlihat sedang memilih kontak, sampai akhirnya telpon itu berpindah pada telinga si lelaki yang menunggu jawaban.
Dena sedikit bergelinjang saat ponselnya yang dalam mode getar, bergetar di saku celana. Pikiran Dena mengerang kemana-mana saat ia melihat nama itu dan harus mengangkatnya.
“Halo?” sapa Dena.
“Dena.” Ucap Assan. “Gue suka sama lo.”
Hening. Kali ini benar-benar hening. Assan menatap Dena tepat di mata si gadis, membuat Dena terdiam seribu bahasa.
Tak ada yang bersuara sampai akhirnya terdengar suara bantingan ponsel di atas karpet. Itu ponsel Dava.