Berdua di atas motor.


Pintu rumahnya sudah terkunci, si gadis berjalan dengan yakin menuju pagar luar rumah, dimana Dava ada disana yang sedang duduk menunggu diatas motornya.

Hari sudah cukup cerah, gerimis juga sudah berhenti, tapi suasananya masih sepi.

“Kucing lo gapapa?” tanya Dava saat Dena berada dihadapannya.

“Kayaknya sih,” jawab Dena. “Soalnya pas gue tanya, dianya meow-meow doang.”

Ujung bibir Dava terangkat, “Ketawa gak nih?”

“Ketawalah! Beramal kek lo sekali-kali buat gue seneng,” kata Dena sambil memakai helm-nya.

“Ha ha ha,” tawa Dava seperti tidak niat.

“Yang ikhlas dong. Kalo kek gitu ketawanya kek bapak-bapak.”

“Nanti aja.”

“Kapan?”

“Kapan-kapan.”

Geregetan. Rasanya Dena ingin mengacak-acak rambut Dava untuk menyalurkan kekesalannya. Untung dia ditarik kenyataan.

Tangan si gadis hanya mengepal kuat dengan bibir yang tak berhenti mendesis. Tatapannya sedikit disipitkan untuk membuat si lelaki terintimidasi, tapi faktanya berlainan.

Dava justru tertawa, tawa tanpa paksaan, dan ini pertama kalinya.

“Loh, kok malah ketawa?” kaget Dena. “Beneran kerasukan reog ya?!”

Ia hanya tersenyum tipis, “Ayo naik, coach Dimas udah nunggu.”

Sore itu, salah satu kemustahilan bagi Dena berhasil terwujud. Dena naik motor berdua dengan Dava. Dulu, memikirkannya saja sudah membuat si gadis menepuk jidat. TIDAK MUNGKIN.

Motor PCX putih yang sudah sangat melekat dengan image Dava, ditambah berdua menyusuri jalanan yang masih menyimpan aroma hujan, keduanya sesekali melempar candaan supaya tidak canggung.

Tapi sungguh, berada di jarak sedekat ini dengan Dava benar-benar bukan ide yang bagus. Dena bisa dengan mudah mencium aroma khas parfum yang selalu Dava pakai. Ia juga takut tak sengaja menabrak bahu lebar Dava nanti saat datang lampu merah.

Oh iya, jangan lupakan tentang tawa Dava yang luwes terkeluar dari mulutnya hari ini. Dena terus membatin, sepertinya Dava emang benar kerasukan.

Duk!

“Dav coba jangan dadakan ish!!” kesal Dena yang mana Dava tiba-tiba menghentikan motornya saat lampu merah tiba.

“Sengaja,” katanya.

“Sengaja? Wah, bener-bener lo dari kemarin bikin gue pengen ngejitak!”

Suara tawa kecil terdengar seperti nyanyian merdu di telinga Dena. Si gadis mendengus kesal sekaligus berkelumit perasaan bingung di dalam hatinya.

Dena biasanya memang sok asik dengan Dava, tapi tidak pernah ditanggapi. Tapi kenapa sekarang kebalikannya?

Dena itu sudah sering diabaikan.

Keduanya kembali berjalan hingga motor Dava berbelok masuk ke sebuah gang yang menjadi penghubung ke rumah coach Dimas. Oh, bukan rumahnya sih, itu sebuah kontrakan.

Rumah coach Dimas ada di kota sebelah yang mana ia akan kesana sore ini untuk bertemu dengan ibunya, lalu kembali lagi kesini besok pagi untuk mengiringi mereka pawai.

“Akhirnya sampai juga,” kata coach Dimas sambil membawa sekantung kresek besar yang diisi bulu topi uniform.

“Hehehe maaf coach, si Dava lambat banget tadi,” ujar Dena sambil turun dari motor.

Dava yang berjalan di belakang gadis itu langsung melebarkan matanya, “Ngada-ngada. Lo yang lambat, Na.”

Dena memberikan isyarat untuk diam pada Dava dengan mimik wajah yang seakan mengatakan, lo jangan cepu dong!

Ya, bagaimana pun juga hal itu disaksikan oleh coach Dimas yang merespon dengan tawa pelan, juga Dava yang mendengus sambil berusaha menymbunyikan bibirnya yang terangkat.

“Satu kresek doang coach?” tanya Dava.

“Iya, isinya ada 52. Adena penanggung jawab bulu topi kan kemarin? Nanti dicatat ya, Na. Kalau sampai ada yang hilang, kamu coach sembeleh.”

Dena tertawa mendengarnya, “Jangan disembeleh dong coach, daging Dena ga enak!”

“Hahaha tergantung,” katanya. “Udah sana kesekolah! Kasian tuh banyak yang nungguin. Oh, Dava, coach nitip MB ya hari ini. Tadi sudah bilang juga sama Galen, jangan sampai maghrib di ruang alat. Bilangin istirahat yang cukup, besok perjalanannya jauh.”

“Siap coach.”

Keduanya berpamitan pergi dengan hari yang entah kenapa kembali mendung. Angin dingin pun kembali datang, Dena prediksi hujan akan datang lagi.

Dava juga terlihat sedang menambah kecepatannya. Kali ini Dena tidak akan menabrak bahu Dava lagi karena ada sekantung kresek besar yang menjadi pembatas keduanya.

Tak ada pembicaraan seperti tadi, sampai mereka sampai ke sekolah. Motor Dava terparkir di halaman depan sekolah yang menampilkan anak-anak paskib dan eskul tari yang berlalu lalang. Keduanya langsung menjadi pusat perhatian dan bahan bisik-bisik, apalagi seusai kejadian kemarin.

“Kenapa gak nyerocos tadi?” tanya Dava sambil melepas helm-nya dan turun dari motor.

“Mau ngomong apa juga gue udah bingung,” jawab Dena. “Gak biasanya kek gini.”

Dahi Dava berkerut, “Maksudnya?”

Dena tersenyum, “Kita ngomong kek gini aja, itu bukan hal biasa, Dav. Gue biasanya diabain, tapi kali ini lo mau bicara banyak sama gue. Seneng rasanya, makasih ya. Makasih karena akhirnya gue bisa ngerasain bicara sama lo kek orang lain, walau mungkin lo gak ingin.”

Senyumnya masih disana hingga gadis itu berbalik dan berjalan duluan, meninggalkan Dava yang masih termenung dengan ucapan Dena barusan.

Lo udah jahat banget, Dav, kalo Dena udah sampai ngerasa begitu.

Padahal bukan begitu. Dava ingin, ia tidak terpaksa berbicara dengan Dena.

Si lelaki mendengus sambil berjalan menuju ruang alat. Dahinya ia urut agar bisa berpikir tenang saat ini. Baru kemarin ia menyadari sesuatu yang aneh pada dirinya.

Aneh, karena belakangan ini Dena selalu ada dipikirannya namun baru kemarin ia sadar, kalau itu bukan hal yang biasa.

Bahkan nama Shirin tak datang saat ia sedang termenung atau berbaring di kamar.

Apa mungkin itu karena hanya ada Dena, Dena, dan Dena yang mengisi?