Assan, Dena, dan UKS.
Dena yang menyadari kepergian Dava tetap dalam posisi awalnya. Sesekali ia mengintip kecil apakah si lelaki akan kembali atau tidak, sampai tiba-tiba terdengar langkah seseorang yang datang ke dalam UKS membuatnya kembali memejamkan mata.
Sepertinya itu Dava, pikir Dena, karena ia duduk kembali di kursi yang tadi di tempati.
Dena memikirkan berbagai cara bagaimana ia harus membuka mata. Langsung buka saja? Atau buka pelan-pelan? Atau sebelah mata dulu baru mata lainnya lagi?
Ah, pusing! Akhirnya Dena memilih untuk langsung membuka kedua matanya dan langsung berjenggit kaget saat tau ternyata Assan yang duduk di kursi itu.
“Kaget..” ucap Dena sambil mengelus dada yang membuat Assan tertawa.
“Dava lagi dipanggil Miss Ani,” tuturnya. “Jadi sama gue dulu, ya, sementara?”
Dena mengangguk tersenyum sambil mencoba untuk duduk di dinding ranjang. Seketika suasana dikeduanya jadi sunyi, padahal orang-orang yang mengisi UKS pada banyak yang bicara.
Mungkin, karena teringat yang kemarin?
“Gue minta maaf.”
“Kok minta maaf sih, San? Engga, lo ga salah.”
Assan menarik nafas, “Dena, gue dan perasaan gue ini pasti ngebuat jadi beban pikiran lo, kan?
“San.. bukan gitu..”
“Jangan ngejauh, Na. Gue bahkan gak berharap milikin lo. Gue, cuma pengen jujur kemarin. Setidaknya sama diri gue sendiri,” jelas Assan.
“Gue, gamau kita jadi canggung gini,” lanjut Assan.
“Gue yang seharusnya minta maaf..” cicit Dena.
Assan tertawa kecil, “Ya engga lah, Dena. Lo gak bertanggung jawab apa-apa atas perasaan gue.”
Mendengar jawaban Assan membuat Dena dirundung perasaan tidak enak. Ternyata ini yang selama ini Dava rasakan saat si gadis menjelaskan perasaannya.
“Jangan canggung sama gue, ya? Kita temenan udah lama brooo.. masa nanti kita gak ngumpul bareng cuma karena perasaan gue?” tanya Assan dengan senyum tulus. “Untuk yang kemarin, biar disana aja, gausah diungkit lagi. Kita harus terus ngeliat ke depan, kan?”
Assan tetap tersenyum, dan sialnya malah Dena yang ingin menangis.
“Heh anjir! Lo jangan nangis dong!” panik Assan.
“Gue.. jahat ya, San?”
“Kaga, siapa yang bilang? Lo kaga jahat.”
Tapi perasaan itu yang saat ini muncul di hati Dena, San. Dena merasa jahat, ia merasa sudah egois sekali selama ini. Kenapa ia begini?
Terkesan seperti memaksa masuk ke dalam hati Dava saat sebenarnya tau dia tidak nyaman. Kenapa perasaannya dengan Dava malah berkembang pesat? Bukankah seharusnya ia bisa mengikhlaskan seperti Assan?
“Dena, lo jangan nyalahin diri lo ya, gue geprek lu nanti!” ancam Assan. “Yang sayang sama lo tuh banyak, jangan malah lo yang kaga sayang sama diri sendiri.”
“Iya Assan,” jawab Dena dengan senyum tipis.
“Tuh,” tunjuk Assan. “Teh kotak titipan Haje. Dia cari lo tadi, tapi gabisa lama juga karena mau siap-siap pentas pamit ceunah.”
Dena melihat teh kotak itu dan senyumnya semakin mengembang. Haje itu, teman yang sangat loyal. Dia juga selalu menepati janji, teh kotak ini salah satu buktinya.
Dena menatap Assan sambil menyodorkan jari kelingking, “Janji.”
“Janji apaan?” bingung Assan tapi tetap menyodorkan kelingkingnya untuk bertaut dengan milik Dena.
“Gue janji gak canggung atau ngejauh dari lo lagi. Pokoknya pertemanan kita gak boleh kandas!” seru Dena.
Assan tersenyum, “Janji!”
“Janji!” ikut sahut Dena.
Setelahnya, keduanya malah tertawa geli. Apa yang mereka lakukan tadi seperti anak kecil sekali. Tapi terkadang, kita akan selalu ingin kembali ke masa kecil untuk menyembuhkan luka, kan?
“Lo jangan berhenti, Na.”
Dena mengernyit, “Berhenti apaan?”
“Sama Dava, jangan berhenti. Itu laki satu cuma perlu dorongan doang.” Jelas Assan. “Lo udah berhasil dorong pintu dia, tinggal nunggu dipersilahkan masuk.”