ririwyss

Tentang Sekolahku dan apa yang terjadi.


Sial, hal seperti ini terjadi lagi.

Dan sialnya lagi, aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Menonton hal seperti ini harusnya tidak dibenarkan, harusnya ada yang menengahi. Tapi di sekolahku, selama hal itu tidak merugikan dirimu, maka tidak masalah.

Aku menghela nafas pasrah.

Yang sedang dihukum di lapangan sana adalah gengnya Jericho atau biasa disapa Jeje. Sudah bukan hal baru lagi kalau geng Jeje selalu menjadi biang masalah. Tapi kelompok biang masalah itu akhirnya hanya menundukan kepala dengan patuh dan menerima hukuman mereka.

Mereka tau, tidak, kami semua tau, kalau bermasalahnya sama Pak Adi, maka tidak ada jalan keluar selain diam.

Katanya, geng Jeje sedang bermain bola di lapangan. Memang tidak ada yang melarang karena sekarang sedang jam kosong untuk seluruh kelas. Tapi, bola mereka sayangnya tertendang jauh dan mengenai jendela ruang pertemuan yang mana sedang diadakan rapat HUT Neo disana.

Kacanya sedikit retak, namun Pak Adi bukan marah karena itu. Ia marah karena dirinya lah yang duduk bersampingan dengan kaca yang terkena bola, ia merasa tak dihargai sebagai guru.

Perasaan seperti itu mungkin bisa diterima dari sisi pak adi. Apalagi beliau sampai rela meninggalkan rapat demi menumpahkan amarahnya di lapangan.

“Tidak punya sopan santun! Tidak punya moral, dipelajaran juga kalian dibelakang! Mau jadi apa? Saya jamin kalian tidak punya masa depan! Jika ada orang-orang gagal lulusan sekolah tahun ini, maka kalian calon-calonnya!”

Teriakan Pak Adi menggema karena sekelilingnya hening. Para Murid yang menonton mungkin mengambil pelajaran dari kata-kata Pak Adi, supaya tidak diperlakukan sama.

Geng Jeje sedang push-up di depan tiang bendera sambil mendengar semua cemoohan dari seseorang yang disebut guru.

Tak hanya itu, Pak Adi juga menendang kaki mereka saat push-up agar tubuh mereka jatuh kebawah. Push-up kembali diulang kehitungan nol. Kalau begini terus, mereka tidak akan sampai ke angka 100.

“Pak Adi, sudah cukup. Cepat kembali ke ruang rapat.”

Itu bu arumi, dia Pembina olimpiadeku.

“Diam Bu Arumi, sudah saya bilang kembali saja sana. Biar saya yang mengurus anak-anak nakal ini.”

Lihat, bahkan sesama guru saja tidak bisa menghentikan ini.

Hahaha, selamat datang di Neo Liberty High School.

Ya beginilah Neo itu, setidaknya sejak 2 tahun yang lalu. Sekolah ini berubah menjadi sekolah swasta yang keras. Yayasan kami sebelumnya dibeli oleh sebuah NGO bernama Learn Study Foundation.

Setelahnya, sekolah kami di rombak habis-habisan. Nama sekolah juga berubah. Dari Neo High School, menjadi Neo Liberty High School.

Kalian tau arti Liberty?

Liberty berarti kebebasan.

Dan kalian bisa melihat banyak kebebasan disini. Bebas mengikuti eskul sebanyak yang kalian mau, bebas mengambil makan siang yang disediakan prasmanan, bebas melakukan pembelajaran dengan tablet atau laptop karena buku bukan hal yang wajib dibawa.

Yang pasti harus dibawa ke sekolah adalah otak.

Tidak ada persaingan kasta antara siapa yang kaya dan tidak di sekolah ini, yang ada hanya antara si pintar dan si pemalas—bodoh.

Tapi dengan semua kebebasan itu, aku tidak percaya kalau perkelahian dan kekerasan juga termasuk. Perkelahian antar murid tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali luka yang mereka dapat. Para guru juga tidak segan-segan menggunakan hukuman fisik—seharusnya ini hanya mengacu pada Pak Adi.

Bahkan, BK ditiadakan. Sekolah ini berubah dengan hanya mementingkan nilai dan kemampuan otak. Masalah pengembangan moral lagi-lagi mungkin hanya Pak Adi saja yang masih menjalankannya sesuai pedoman dirinya sendiri.

Namun dari semua itu, ada sebuah kebijakan yang membuatku resah. Kebijakan ini hanya berlaku saat kalian berada di kelas 12. Angkatanku adalah angkatan tahun ketiga yang merasakan hal ini.

Learn Study Foundation membuat kebijakan tentang adanya persaingan kelas terbaik khusus untuk angkatan kelas 12, yang mana yang menjadi juaranya adalah kelas yang bisa mengamankan nilai akumulatif dan rangking pararel teratas, melalui ujian sekolah nanti.

Itu bukan hal yang mudah, walaupun Neo tidak memiliki kelas unggulan, tetap saja kapasitas kemampuan setiap kelas itu berbeda-beda. Bayangkan, sebuah kelas harus mendominasi ranking pararel sekolah. 20 besar? 10 besar?

Ah, memikirkan ini aku mulai sakit kepala lagi.

Beruntung hal ini dipisahkan antara Ipa dan Ips.

Yang menjadi kelas terbaik akan mendapatkan kesempatan untuk dibiayai kuliahnya di 5 kampus terkenal di luar negeri yang mempunyai hubungan kerjasama dengan Learn Study Fondation. Karena kalau menjadi juara, maka nilai kalian tidak akan diragukan lagi, dan kalian sudah pasti diterima di universitas itu.

Artinya, masa depan terjamin. Bahkan setelah perkuliahan selesai, tidak perlu repot mencari pekerjaan, karena LSF sudah menyiapkan tempat untuk kalian diberbagai perusahaan cabang serta berbagai koneksinya, tinggal pilih ingin di negara mana.

Terlalu menggiurkan bukan?

300 murid angkatanku yang berasal dari 10 kelas, hanya ada 60 orang yang berasal dari 2 kelas yang bisa mendapatkan posisi itu.

Membentuk individu terbaik untuk mengabdi pada perusahaan ataupun semua koneksinya hanya bisa dicapai oleh kelas yang menjadi kelas terbaik nanti di hari kelulusan.

Terdengar sedikit kejam, tapi tentu ada jalan pintas. Poin kelas tertinggi adalah yang aku maksud. Walaupun nanti sudah ada pemenang kelas terbaik, kelas dengan poin tertinggi di Ipa maupun Ips punya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan ini.

Tapi hanya orang yang berada di rangking 5 besar. Dan yang lebih kejam lagi, Ipa dan Ips tidak dipisah. Menyedihkan bahwa faktanya hanya ada 5 orang beruntung yang mempunyai kesempatan itu diantara ratusan orang diangkatanku.

Keadannya tidak cukup baik. Dengan begini, para siswa pasti akan menghalalkan segara cara untuk menjadi yang teratas, baik melalui peringkat kelas maupun poin kelas. Di jaman yang serba sulit saat ini, tawaran yang diberikan pihak sekolah tentu terdengar sangat manis. Siapapun ingin mendapatkannya.

“Saya tidak nyuruh berhenti, lanjutkan!!”

Aku memalingkan mata sambil kembali menuju kelas, meninggalkan tontonan tadi karena sungguh, itu tidak layak.

Tapi kenapa hampir semua siswa memusatkan mata mereka kesana? Aneh.

Beberapa langkah lagi memasuki kelas, aku melihat Lintang. Tatapannya datar, tapi aku tau itu menyiratkan amarah. Tangannya mengepal dan ia segera berbalik menuju tangga untuk naik ke kelasnya.

Saat ia jalan berbalik, tatapan kami tak sengaja bertemu.

Aku tersenyum, lintang hanya mengangguk.

Kami langsung menuju kelas masing-masing. Sepertinya dia ingin mengambil tas-nya di kelas lalu kembali lagi ke perpus.

Lintang. Dia itu, orang yang cukup spesial. Terlepas dari fakta kalau aku menyukainya..

ya, aku suka Lintang..

suka Lintang..

suka..

tapi Lintang bilang tidak.

Hari Jadi MBNCS.


Malam itu, aula NEO ramai oleh orang-orang. Aula didekor dengan tidak berlebihan, pas-pas saja untuk merayakan hari jadi Marching Band Neo Country School yang ke delapan tahun.

Para alumni berkumpul, bahkan yang sudah merantau ke daerah lain karena perkuliahan juga ada. Ada Miss Ani sebagai Pembina juga Waka kesiswaan sekolah, serta Coach Dimas dan kawan-kawannya. Ada perwakilan dari setiap eskul juga yang masing-masingnya mengirim dua orang.

Pokoknya, malam itu, aula dipenuhi banyak orang dan suka cita.

Anak-anak MB angkatan saat ini yang semuanya panitia sudah tidak sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Mereka bisa menikmati acara dengan damai. Kecuali seksi acara, sih.

Kegiatan di mulai dengan pidato singkat dari Miss Ani, Waka Kesiswaan, Coach Dimas, Galen sebagai ketua MB, dan berakhir di Dava sebagai ketua panitia.

Acara berlangsung cepat, tak terasa. Setelah melakukan doa bersama dan potong tumpeng, ada sedikit penampilan dari Brass line. Dena gak ikut, tapi disana ada Assan dan Rendra dan yang lainnya. Memang ide mereka berdua itu.

Masih banyak acara yang mengisi malam itu, sampai pada waktu yang paling di tunggu orang-orang, makan-makan!

Mereka makan malam saat itu sambil menonton video lomba MB tahun lalu di layar tancap depan mereka. Itu waktu MB mengikuti lomba, yaitu GPMB series atau Grand Prix Marching Band series yang ada di tingkat provinsi mereka.

Tahun kemarin mereka juara umum 2 di kategori open class, sebuah kebanggaan karena juara 2 bertahan saat itu turun ke 3. Tahun ini mereka juga akan ikut. Kata Coach Dimas, latihan intensnya dimulai nanti setelah selesai tujuh belas Agustus sampai bulan November yang mana merupakan bulan perlombaannya.

“Ayo merapat! Gue foto ya, 1, 2, 3!”

Acara sudah berakhir. Dena bersama anak dokumentasi yang lain kini yang sibuk karena banyak sekali yang minta mereka untuk mengabadikan momen.

“Na! Gue dong fotoin,” pinta Haga.

“Dih, males. Lo gak ada gandengannya hahaha.”

“Buset jahat bener lo!” seru Haga sambil menarik tangan Dava mendekat. “Foto dulu kita bedua, babe.”

“Hahahaha.”

Selesai dari Haga dan Dava, masih banyak lagi antrian foto di belakang. Semuanya pada mau foto di photobooth yang memang menjadi primadona malam ini. Dena bergantian sama anak dokumentasi yang lain, lalu memilih duduk di dalam aula sambil memakan tumpeng sisa acara.

Si gadis tersenyum dalam keramaian. Suasana disana di penuhi suka cita. Apalagi para alumni mereka sangat mengayomi sekali dalam membawa suanasa, seru!

Dava daritadi tidak berhenti berkeliling untuk mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sudah datang. Kalau Galen sedang asik kumpul sama para alumni, katanya mau ambil ilmunya dulu.

Oh, ada Shirin dan Jero juga. Tentu saja keduanya selalu menjadi pusat atensi dimanapun itu. Kalau putri, ah lupakan, dia sedang asik berduaan dengan Sakha.

“Alhamdulillah sukses!”

Dena tersenyum, “Alhamdulillah!”

Dava duduk di depan si gadis sambil ikut mencolek tempe orek dari tumpeng.

“Makanannya ludes, nanti kita cari makan di luar aja.”

“Gampang itu mah,” kata Dena. “Yang penting, abis ini aula bersih dulu.”

Dava tertawa kecil, “Selesai acara, lanjut kerja rodi.”

“Hahahaha.”

Dena dan Dava memang tidak makan saat tadi sesi makan malam. Kalau Dena sibuk mengambil dokumentasi, sedang Dava ada di belakang proyektor. Jadinya, sekarang mereka nyemil tempe orek dari tumpeng saja dulu.

Para tamu dari eskul lain dan alumni mulai pamit pulang. Miss Ani dan Waka Kesiswaan sudah dari lama. Kini tersisa anak-anak MB angkatan saat ini, ada yang asik foto, ada juga yang sudah mulai menyimpuni barang-barang.

“Siapa itu?” tanya Dena bagai ingin tahu siapa yang baru datang.

Orang itu berjalan dengan senyum yang mengembang. Dia juga mendatangi Coach Dimas dahulu, entah membicarakan apa. Semua yang disana terdiam, masih memproses apa yang terjadi.

“Laras..??” kata Dena hampir tidak percaya.

Yang dipanggil namanya hanya tersenyum. Laras tampak lebih baik. Tidak ada lagi tatapan sinis atau tak sukanya. Assan langsung berjalan menuju samping Laras, seperti yang sudah siap untuk selalu ada disana.

“Aduh maaf telat yaa,” kata Laras sambil senyum. “Tadinya mau di jemput Assan, eh tapi ternyata guenya agak malaman baru perjalanan kesini.”

Malam itu, selesai acara seharusnya mereka bersih-bersih. Seharusnya mereka menyimpuni dulu semua dekorasi, juga kursi-kursi yang memenuhi aula. Tapi mereka malah menangis.

Laras malam itu datang dengan rendah hati untuk minta maaf pada semuanya. Ia mengaku salah, ia juga tidak mau melepas Dena dari pelukannya malam itu.

Aula seketika dipenuhi isak tangis. Kalau ada orang asing yang lewat, pasti mereka bakal kaget.

“Hadah, jadi pada nangis gini,” kata Assan seperti menyindir, tapi sendirinya juga mengusak mata.

“Lo juga anjir!” seru Putri.

“Hahahaha.”

Yang seperti ini yang semua anak MB mau. Bukan perkara nangisnya, tapi tentang masalah yang diselesaikan. Kekeluargaan mereka yang sempat dipertanyakan sekarang kian mengerat.

Dava mengusak kepala Dena, “Hebat. Gapapa nangis aja.”

“IH! Tambah nangis kan!” seru Dena tapi airmatanya terus meleleh.

Semuanya ikut tertawa, tapi ada juga tatapan aneh, dari Clara seorang.

“Lo bedua tuh deket doang atau udah jadian sih? Bingung gue.”

Dava dan Dena saling tatap, lalu setelahnya hanya senyum.

Aku, diriku; Dava.


“Udah nego ke Haje tadi, MB yang pake lapangan.”

“Ck, mb terus! Paskib juga mau kali pake di sekolah.”

“Iya Shirin, tapi masalahnya, MB gak bisa di lapangan pemuda. Banyak pemukiman penduduk disana, yang ada malah ganggu.”

“Yaudah kalian latihan gak pake suara aja, lah!” serunya marah, lalu menatapku pasrah. “Hisssh iyadeh pake aja noh lapangan!”

“Jangan marah-marah.”

“Ya.”

“Gua pergi ya.”

“Dav?” tahannya.

“Kenapa?”

“Gue.. masih suka sama lo.”

Aku tau itu. “Makasih, tapi sayang gua engga.”

“Hah? Semudah itu lo lupain gue? Hubungan kita?”

“Satu bulan lebih mungkin gabisa bikin gua langsung ngelupain semuanya. Tapi satu bulan itu berhasil buat gua sadar, Rin, kalo rasa gua sepenuhnya udah bukan punya lo. Gua ngehormatiin perasaan lo yang masih berharap sama gua. Makasih. Tapi gua harap lo juga bisa ngehormatin gua sama pilihan gua ini.”

“Lo.. kok bisa semudah itu ngelupain semuanya..”

“Gak lupa, Rin. Gua yang gamau ngingat, simpan aja dibelakang, gua gamau ngerasain rasa sakitnya lagi.”

Dia tertawa sinis, “Gue bodoh banget emang, malah milih selingkuh sama itu cowo yang modelannya begitu hahaha padahal kemana-mana jelas lo lebih baik.”

“Gausah diungkit lagi, biarin aja, udah kejadian.”

“Tapi gue masih mau sama lo, mau coba bangun lagi dari awal sama lo.”

“Gabisa, Rin..”

“Kenapa sih Dav?” desaknya.

“Perasaan gua udah bukan punya lo lagi.”

“Siapa?”

Dena. Adena Salsabila.


Aku Dava. Satria Dava Pamungkas. Sengaja pake aku, kalau pake gua, takutnya ada yang gak nyaman.

Tadi itu adalah percakapanku dengan Shirin beberapa waktu lalu, tepat sebelum ngumpul di ruang alat sama anak MB, tepat sebelum kejadian canggung karena gorengan sama Dena.

Jujur, saat itu, aku banyak ngarangnya. Saat itu, aku gak tau apa yang hatiku mau.

Bilang sama Shirin kalau aku gak punya rasa lagi sama dia dan punya rasa pada Dena, tapi keesokan harinya malah menyuruh Dena untuk berhenti menyukai.

Aku mencoba segala cara supaya buat Shirin menjauh, aku gak mau mengulang cerita yang sama.

Aku tahu diriku mulai menaruh perhatian pada Dena. Aku tahu walau sedang fokus pada hal lain, sesekali aku akan melihat Dena, untuk melihat apa yang dia lakukan. Aku tahu mulai tumbuh rasa pada Dena di sebagian hatiku.

Tapi si bodoh ini malah menyuruh Dena berhenti di keesokan harinya.

Perlu kalian tahu kalau aku memang payah dan bodoh soal percintaan. Shirin itu yang pertama, dan dia juga yang memberi trauma. Tapi bukan maksud aku menyalahkannya juga. Memang salahku yang tidak bisa jadi pacar yang baik untuk Shirin.

Aku bukan laki-laki yang suka memberikan kata gombalan yang mana Shirin selalu suka, dan mungkin dia mendapatkannya dari lelaki lain.

Shirin juga sering menyuruhku bergaya seperti anak lelaki yang kekinian pada masa kini, tapi gak pernah aku ikuti. Aku beranggapan kalau mengikuti itu, sama saja tidak menjadi diriku sendiri.

Kalau aku menjadi orang lain, jadi apa poin dari hubungan kami?

Tapi tetap, terima kasih, Shirin. Karena dia aku jadi tahu rasanya mempunyai hubungan pacaran.

Soal aku yang menyuruh Dena untuk berhenti pada hari itu, di depan ruang alat, adalah kenekatan yang harus diberikan seratus jempol ke bawah. Itu adalah ide buruk yang bodohnya lagi otakku sanggupi.

Hatiku gak ingin, aku tahu, tapi sialnya otakku terus mencari pembelaan terlebih setelah melihat isi percakapan kawananku di grup kami.

Yak, si bodoh ini beraksi.

Tepat setelah pembicaraan itu dengan Dena di depan ruang alat, aku termenung. Otakku kehilangan egonya, hatiku memberat, ada rasa tidak terima disana.

Aku menyuruh Dena berhenti bukan karena ingin, sebenarnya. Aku sadar sudah terlalu menyakiti Dena selama ini, jadi dia harusnya berhenti, walau rasaku mulai tumbuh, Dena tetap lebih baik berhenti, mungkin ini akan menjadi karmaku.

Tapi aku tidak tahu kalau dengan menyuruh Dena berhenti saat itu juga akan menyakiti hatinya.

Seharian aku mencoba berdamai dengan diriku, tapi tetap, rasa tak enak dan nama Dena terus muncul.

Hari itu aku sadar, kalau aku sudah sepenuhnya memiliki rasa dengan Dena.

Untuk hari-hari selanjutnya aku sadar, kalau hatiku sudah jatuh pada Dena.

Dengan kesadaran yang penuh, aku mengakui kalau Dena sudah berhasil mengisi hatiku. Cukup aku yang tau.

Tentang Assan dan Haje, aku tidak terlalu peduli. Tapi aku bingung, kenapa mereka mundur? Maksudku, jika memang suka dengan Dena, seharusnya mereka maju saja, tidak perlu melihat siapa-siapa yang suka pada Dena.

Seharusnya mereka memperjuangkan perasaan mereka seperti Dena yang memperjuangkan perasaannya padaku, yang mana berhasil membuatku jadi merasakan yang sama seperti Dena rasakan.

Seharusnya mereka tidak berhenti, tapi aku tidak maksa juga. Justru Alhamdulillah.

“Gue udah jadian sama Jero! Ah senengnya!” kata Shirin padaku sewaktu kami di kantin.

“Haha iya selamat, Rin.”

“Hehe makasih, lo kapan nyusul? Tuh anaknya lagi duduk tuh, mau sarapan keknya.”

Aku melihat ke arah jari telunjuk Shirin. Iya, ada Dena disana.

“Hari ini, doain aja.”

“Aamiin deh moga lancar yaa haha.”

“Haha iya aamiin, makasih, gue duluan kalo gitu.”

Hari itu, aku bertekad mau jujur ke Dena, tentang perasaan. Aku juga diberi banyak wejangan oleh kawananku yang dari berhari-hari lalu sudah otakku serap.

Tapi anehnya, hari itu Dena berubah. Dia menjauh.

Bahkan saat kumpul-kumpul di ruang alat sama anak MB waktu istirahat, dia gak ikut. Aku chat dia, tapi dari balasannya terlihat sekali kalau dia ingin segera mengakhiri pembicaraan. Aku bingung.

Kemudian akhirnya aku tahu, ternyata Dena juga sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dena terus mempertanyakan apakah dirinya harus maju atau terpaksa mundur. Aku ceroboh, payah, dan tidak bisa diandalkan saat itu. Bisa-bisanya aku terus menahan untuk menyampaikan rasa disaat Dena butuh kepastian.

Tapi semuanya melubur waktu kami bicara berdua.

Aku seperti mendapat kekuatan saat jujur pada Dena sambil menatap matanya. Kalian coba deh, sekali-kali natap mata Dena. Aneh, disana kalian bisa nemuin ketenangan. Apa mungkin ini ya, alasan banyak orang yang jatuh ke Dena?

Seperti yang kalian baca di narasi sebelumnya, Dena berhasil meyakinkanku untuk jujur disaat aku rasanya tidak pantas untuk dia. Dia bantu aku melawan rasa resah, dia juga yang bilang ke aku untuk berbagi.

Dulu aku pernah menyuruhnya untuk membagi semua ketakutannya denganku. Dan mendengar Dena bilang itu juga, rasanya, seperti saling melengkapi.

Dena itu gadis yang hebat. Dia tidak pernah mau meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya. Walau kadang dia butuh waktu sendiri dulu, tapi itu wajar, aku maklum.

Aku juga jarang melihat dia sedih, dia selalu ceria, suka bercanda. Dena tidak berusaha berubah menjadi orang lain, mungkin karena dia sudah sadar kalau dirinya sendiri sudah seperti bidadari.

Shuttt diam, jangan kasih tau dia. Aku bisa diceng-cengin nanti.

Menurutku, Dena itu selalu menjadikan apa-apa yang pernah terjadi pada hubungan orang lain sebagai pembelajaran. Dia banyak mengamati, dia tidak mau berakhir sama seperti mereka. Hebat kan, Dena itu?

Untuk itu, aku Dava, dengan sepenuh hati sangat yakin kalau Dena adalah ciptaan Tuhan yang gak boleh disia-siakan. Gadis seperti Adena Salsabila itu harus diperjuangkan. Harus dilindungi, harus dijaga. Untuk yang lalu-lalu, biarkan disana. Aku sudah siap untuk jatuh sejatuh jatuhnya.

Jadi, aku sangat yakin waktu bilang, “Lo mau ngerasain rasanya jatuh cinta yang lebih sama gua gak? Kalo mau, ayo kita mulai sama-sama, saling bagi perasaan. Gua mau sama lo, Na. Apa lo mau kalo gua minta jadi punya gua?”

Dena menangis lagi saat itu, tapi juga tersenyum. Tetap cantik walau airmatanya meleleh di pipi.

“Mau, Dav. Mau,” katanya lirih.

Waktu rasanya seperti berhenti, panjang, untuk kami nikmati berdua. Aku mendekapnya.

Akhirnya Dena dipelukkanku, akhirnya.

Sama-sama, berbagi.


Bel sekolah berbunyi, semua murid langsung bergegas pulang. Tapi tidak dengan Dena dan Dava yang kini duduk berdua di meja bundar. Putri sudah pulang duluan, soalnya Dava bilang, dia yang akan mengantar Dena nanti.

Canggung sekali. Apalagi Dava terus menatap Dena dengan tatapan bersalahnya, membuat Dena terus mengalihkan fokus ke arah lain.

Padahal Dena sudah berusaha untuk bersikap biasa saja.

“Gua bukan cowo yang baik.”

Dena terperangah, pikirannya malah melayang ke hal lain, “Lo ngonsumsi barang haram?!!”

“Bukan itu,” kata Dava ditambah senyum kecil. “Gua bukan cowo yang baik.”

Dena hanya diam, ingin mendengar lagi apa yang akan Dava katakan.

“Gua bodoh banget, Na, kalo soal perasaan. Sulit buat gua memvalidasi perasaan sendiri, kebanyakan denial, dan milih buat di pendam. Mudah bagi lo buat cari cowo yang lebih baik daripada gua. Lo bisa pilih mereka kalo mau.”

“Tapi gue gak mau.”

Pandangan Dava sulit diartikan, “Kenapa?”

“Mungkin mudah buat lo, Dav, nyuruh gue cari orang yang lebih baik. Tapi definisi baik tiap orang beda-beda.”

“Gua engga baik,” elak Dava.

“Kenapa gitu?”

“Gua banyak ngecewainnya.”

“Lo merasa buat gue kecewa?” tanya Dena yang Dava angguki. “Emang lo siapa sampai bisa merasa ngecewain gue? Kita teman doang kan? Atau lo punya rasa lebih?”

Dava terdiam.

“Jawabannya sekarang ada diujung bibir lo, Dav. Tapi lo gak pernah berani ngeluarin itu. Kenapa?”

Dava masih saja diam.

“Bagi sama gue. Lo sendiri pernah bilang kan, kalo mau cerita lo siap dengerin. Gue juga sama.”

“Dena, gua gak pernah mikirin soal perasaan lagi setelah putus dari Shirin. Cukup sama Shirin, gua gak mau punya hubungan semacam itu lagi. Tapi lo datang, Na. Gua tau lo ada dari lama, tapi baru belakangan ini semua tentang lo berubah. Gua ngerasain perasaan yang bahkan gak pernah ada disaat gua pacaran sama Shirin. Lo beda.”

“Oke, jadi? Bener kata Assan sama Haga?”

Dava mengangguk, “Mereka gak bohong, semuanya bener.”

“Astaga telinga lo merah gitu!” kata Dena yang menangkap basah Dava tengah malu. “Ngapain di pendam sih, Dav? Gue bukan cenayang yang bisa tau arah hati lo. Lo tau? Kemarin gue kehilangan rasa percaya diri gue. Gue ngira lo cuma jadiin gue pelarian doang.”

“Gak, gua gak pernah jadiin lo pelarian,” sanggah Dava. “Justru gua diajarin rasanya jatuh sama lo.”

“Jatuh apa?”

“Hati.”

Dena tersenyum, matanya juga memanas.

“Kenapa nangis hei?!” kaget Dava dan langsung berpindah duduk di samping Dena.

“Engga hahaha, berasa mimpi.”

“Kenapa?” tanya si lelaki dengan khawatir.

“Perasaan gue berbalas. Rasanya kek mimpi tau! Coba lo cubit gue deh.”

Keduanya tersenyum.

“Bukan mimpi, Na. Gak perlu dicubit juga.”

“Kenapa gak bilang dari sebelumnya, sih?” serang Dena.

“Maunya kemarin. Tapi dari kemarin lo seolah ngejauhin gua.”

Dena kaget, “Lo sih! Gue kira mau balikan sama Shirin!”

“Engga!”

“Itu kemarin ngomong berdua sama Shirin! Malam tadi di rapat juga chat-an!”

Dava terdiam sebentar, lalu setelahnya tertawa, “Astaga, itu Shirin lagi curhat soal dia yang udah jadian sama Jero. Gua ikut seneng dengarnya. Kalo malam, itu Jero yang ngechat pake akun Shirin, ngajakin fun futsal.”

Aduh, mendengar penjelasan itu rasanya Dena sangat malu. Dena memalingkan wajahnya setelah mendengar penjelasan si lelaki. Ia merasa bodoh sekali sudah menangis seperti orang gila tadi malam.

“Putus karena pacaran bukan berarti putus hubungan pertemanan, Na. Gua dan Shirin ketemu baik-baik, jadi udah pisah gini juga harus bisa baik-baik.”

“Iya,” kata Dena.

“Liat sini, gua gak dengar lo ngomong apa,” goda Dava.

“Iyaaa Davaaa,” kata Dena sambil menghadap si lelaki yang duduk di sampingnya.

Dava tersenyum sampai-sampai matanya hampir hilang, dan itu membuat pipi Dena memanas. Tolong, jarak mereka terlalu dekat.

“Kalo lo tanya, sejak kapan perasaan buat Shirin hilang. Jawabannya sejak kita berdua bicara di depan ruang alat hari itu. Perasaan Shirin hilang, dan malah berganti sama keresahan gua tentang lo.”

“Resah kenapa dah?”

“Resah soalnya lo mau pergi, mau move on.

Dena tertawa, “Ya ampun dari waktu itu? Hahaha berarti gue gak salah kan kalau selalu salting sama lo belakangan ini?”

“Gak salah. Kalo ada yang bilang salah, nanti gua marahin.”

“Hahahaha.”

“Hahahaha.”

“Gayanya mau marahin, jujur sama perasaan sendiri aja susah banget,” dengus si gadis.

“Udah gua bilang, gua bodoh kalo soal perasaan,” bela Dava sambil tertawa.

“Yain aja dahhhhh hahaha.”

“Haha yaudah, kita gimana?”

Si gadis menatap bingung, “Gimana apanya?”

“Lo mau ngerasain rasanya jatuh cinta yang lebih sama gua gak? Kalo mau, ayo kita mulai sama-sama, saling bagi perasaan. Gua mau sama lo, Na. Apa lo mau kalo gua minta jadi punya gua?

Sama-sama, berbagi.


Bel sekolah berbunyi, semua murid langsung bergegas pulang. Tapi tidak dengan Dena dan Dava yang kini duduk berdua di meja bundar. Putri sudah pulang duluan, soalnya Dava bilang, dia yang akan mengantar Dena nanti.

Canggung sekali. Apalagi Dava terus menatap Dena dengan tatapan bersalahnya, membuat Dena terus mengalihkan fokus ke arah lain.

Padahal Dena sudah berusaha untuk bersikap biasa saja.

“Gua bukan cowo yang baik.”

Dena terperangah, pikirannya malah melayang ke hal lain, “Lo ngonsumsi barang haram?!!”

“Bukan itu,” kata Dava ditambah senyum kecil. “Gua bukan cowo yang baik.”

Dena hanya diam, ingin mendengar lagi apa yang akan Dava katakan.

“Gua bodoh banget, Na, kalo soal perasaan. Sulit buat gua memvalidasi perasaan sendiri, kebanyakan denial, dan milih buat di pendam. Mudah bagi lo buat cari cowo yang lebih baik daripada gua. Lo bisa pilih mereka kalo mau.”

“Tapi gue gak mau.”

Pandangan Dava sulit diartikan, “Kenapa?”

“Mungkin mudah buat lo, Dav, nyuruh gue cari orang yang lebih baik. Tapi definisi baik tiap orang beda-beda.”

“Gua engga baik,” elak Dava.

“Kenapa gitu?”

“Gua banyak ngecewainnya.”

“Lo merasa buat gue kecewa?” tanya Dena yang Dava angguki. “Emang lo siapa sampai bisa merasa ngecewain gue? Kita teman doang kan? Atau lo punya rasa lebih?”

Dava terdiam.

“Jawabannya sekarang ada diujung bibir lo, Dav. Tapi lo gak pernah berani ngeluarin itu. Kenapa?”

Dava masih saja diam.

“Bagi sama gue. Lo sendiri pernah bilang kan, kalo mau cerita lo siap dengerin. Gue juga sama.”

“Dena, gua gak pernah mikirin soal perasaan lagi setelah putus dari Shirin. Cukup sama Shirin, gua gak mau punya hubungan semacam itu lagi. Tapi lo datang, Na. Gua tau lo ada dari lama, tapi baru belakangan ini semua tentang lo berubah. Gua ngerasain perasaan yang bahkan gak pernah ada disaat gua pacaran sama Shirin. Lo beda.”

“Oke, jadi? Bener kata Assan sama Haga?”

Dava mengangguk, “Mereka gak bohong, semuanya bener.”

“Astaga telinga lo merah gitu!” kata Dena yang menangkap basah Dava tengah malu. “Ngapain di pendam sih, Dav? Gue bukan cenayang yang bisa tau arah hati lo. Lo tau? Kemarin gue kehilangan rasa percaya diri gue. Gue ngira lo cuma jadiin gue pelarian doang.”

“Gak, gua gak pernah jadiin lo pelarian,” sanggah Dava. “Justru gua diajarin rasanya jatuh sama lo.”

“Jatuh apa?”

“Hati.”

Dena tersenyum, matanya juga memanas.

“Kenapa nangis hei?!” kaget Dava dan langsung berpindah duduk di samping Dena.

“Engga hahaha, berasa mimpi.”

“Kenapa?” tanya si lelaki dengan khawatir.

“Perasaan gue berbalas. Rasanya kek mimpi tau! Coba lo cubit gue deh.”

Keduanya tersenyum.

“Bukan mimpi, Na. Gak perlu dicubit juga.”

“Kenapa gak bilang dari sebelumnya, sih?” serang Dena.

“Maunya kemarin. Tapi dari kemarin lo seolah ngejauhin gua.”

Dena kaget, “Lo sih! Gue kira mau balikan sama Shirin!”

“Engga!”

“Itu kemarin ngomong berdua sama Shirin! Malam tadi di rapat juga chat-an!”

Dava terdiam sebentar, lalu setelahnya tertawa, “Astaga, itu Shirin lagi curhat soal dia yang udah jadian sama Jero. Gua ikut seneng dengarnya. Kalo malam, itu Jero yang ngechat pake akun Shirin, ngajakin fun futsal.”

Aduh, mendengar penjelasan itu rasanya Dena sangat malu. Dena memalingkan wajahnya setelah mendengar penjelasan si lelaki. Ia merasa bodoh sekali sudah menangis seperti orang gila tadi malam.

“Putus karena pacaran bukan berarti putus hubungan pertemanan, Na. Gua dan Shirin ketemu baik-baik, jadi udah pisah gini juga harus bisa baik-baik.”

“Iya,” kata Dena.

“Liat sini, gua gak dengar lo ngomong apa,” goda Dava.

“Iyaaa Davaaa,” kata Dena sambil menghadap si lelaki yang duduk di sampingnya.

Dava tersenyum sampai-sampai matanya hampir hilang, dan itu membuat pipi Dena memanas. Tolong, jarak mereka terlalu dekat.

“Kalo lo tanya, sejak kapan perasaan buat Shirin hilang. Jawabannya sejak kita berdua bicara di depan ruang alat hari itu. Perasaan Shirin hilang, dan malah berganti sama keresahan gua tentang lo.”

“Resah kenapa dah?”

“Resah soalnya lo mau pergi, mau move on.

Dena tertawa, “Ya ampun dari waktu itu? Hahaha berarti gue gak salah kan kalau selalu salting sama lo belakangan ini?”

“Gak salah. Kalo ada yang bilang salah, nanti gua marahin.”

“Hahahaha.”

“Hahahaha.”

“Gayanya mau marahin, jujur sama perasaan sendiri aja susah banget,” dengus si gadis.

“Udah gua bilang, gua bodoh kalo soal perasaan,” bela Dava sambil tertawa.

“Yain aja dahhhhh hahaha.”

“Haha yaudah, kita gimana?”

Si gadis menatap bingung, “Gimana apanya?”

“Lo mau ngerasain rasanya jatuh cinta yang lebih sama gua gak? Kalo mau, ayo kita mulai sama-sama, saling bagi perasaan. Gua mau sama lo, Na. Apa lo mau kalo gua minta jadi punya gua?

Rapat dan Rumah Dena.


Dava sampai di depan rumah Dena yang saat ini, dari luar saja, terlihat cukup ramai. Ia memantapkan hatinya untuk berjalan masuk ke pekarangan rumah si gadis, tak lupa juga mengucapkan salam pada orang-orang yang ada di dalam rumah.

“Assalamu’alaikum, permisi.”

“Wa’alaikum salam. Eh siapa ini? Cari siapa, nak?”

“Dena tante, ada?” balas Dava yang memang sudah mengenal wajah bundanya Dena.

“Oh pacarnya Dena ya? Sini-sini masuk dulu!”

Dava langsung dibawa masuk oleh bunda Dena dan diperkenalkan satu persatu pada keluarga Dena yang lain. Dava hanya tersenyum, sambil sesekali menunduk sebagai rasa hormat sehabis dikenalkan. Si lelaki tidak tampak keberatan. Tapi yang membuat matanya terus berpencar ke segala arah adalah Dena tidak ada disana. Dimana si gadis?

“Bentar ya, nak. Dena-nya lagi motong-motong pudding di dapur,” jelas bunda Dena. “Nama kamu, siapa?”

“Iya tante. Saya Dava,” jawab Dava dengan senyum.

“Oh, nak Dava,” kata bunda Dena bagai orang yang sudah kenal. “Ini yah, si Dava. Gimana kalau sama Dena?”

“Kalo ayah sih, terserah saja. Ayah gak mau membatasi si adek tentang pacaran,” jelas Ayah Dena sambil menegakkan duduk. “Tapi, kalau sudah jadi pacar, berarti harus bisa lindungin dan jagain Dena. Itu anak terakhir ayah loh.”

“Bakal dijagain, om. Dena pasti saya jaga dan lindungin.”

Oke, mari kita katakan bahwa Dava sudah gila. Kalimat tadi mengalir begitu saja keluar dari mulutnya. Padahal jauh di dalam hatinya ia tahu bahwa dirinya dan Dena tidak berpacaran. Atau belum?

“Jangan om. Panggil ayah saja.”

“Ah, Ayah?” ucap Dava seperti tidak yakin. Tapi tatapan ayah Dena malah meyakinkan.

“Yuhuuuu!! Pudding buatan Dena udah datangggg!!”

Si gadis langsung menaruh nampan isi puddingnya itu diatas meja yang berada di tengah ruangan. Satu persatu ia bagikan piring kecil berisi pudding itu, sampai pada seseorang yang asing dari acara ini.

“LOH DAVA? NGAPAIN?!!” heboh Dena.

Dava yang juga kaget mendengar suara Dena sampai termundur ke belakang, “Rapat,” kata Dava pelan sambil menunjuk tas yang ia sampirkan dengan mata.

Sial, Dena lupa kalau ponselnya habis baterai sedari tadi. Si gadis menepuk jidatnya karena merasa sudah ceroboh. Bisa-bisanya malam ini ada rapat dan dia tidak punya persiapan.

“Kenapa dek?”

“Eh engga bun. Ini, Dena ada rapat untuk ultah MB bentar lagi, Dena izin pamit ya, ayah, bunda?”

“Iya, diizinin,” jawab ayah.

“Oh yaudah siap-siap dek, kasian itu pacarmu daritadi nunggu.”

Dena terdiam. Rasanya seperti tersengat listrik. Ia kaget, kenapa bisa bundanya bilang begitu? Si gadis menatap Dava dengan mata yang seolah meminta penjelasan.

Tapi tatapan dava seakan-akan berkata, “Iya nanti. Sekarang siap-siap dulu, rapatnya bentar lagi.”


“Maaf ya.”

“Maaf kenapaaa?” ucap Dava yang melawan suara angin.

Mereka sedang berada di perjalanan menuju rumah Ale, di atas motor Dava.

“Tadi, tentang bunda gue yang bilang kalo kita pacaran,” kata Dena sambil lebih mendekatkan diri pada pundak Dava, supaya dia dengar. “Takut lo keberatan, jadi gue minta maaf duluan.”

“Gak keberatan. Gausah minta maaf.”

Motor si lelaki terhenti karena sudah sampai pada tujuan. Pukul 08:12. Untung saja tidak terlambat, kalau iya, bisa habis Dava di rujak anak-anak MB lain. Karena dia ketua panitianya.

“Gila udah rame! Duh, maaf Dav,” ucap Dena sambil membuka helmnya berjalan masuk.

“Minta maaf mulu,” kata si lelaki sambil berjalan menyamai langkah Dena. “Fokus rapat, Na. Jangan ngelamun.”

Dena hanya mendelikkan matanya, lalu perhatiannya tiba-tiba teralih pada Dava yang baru saja mendapatkan notifikasi dari ponsel milik si lelaki.

Sialan, rasanya Dena ingin mengumpat. Dava sedang bercakap di chat dengan Shirin. Dena tidak mungkin salah lihat, ia jelas melihat nama Shirin, juga nama kontaknya.

Bahu dena turun pasrah, ia melangkah duluan masuk ke dalam rumah Ale, meninggalkan Dava yang masih asik dengan ponselnya itu.

Perasaan resahnya saat di sekolah kembali lagi. Dena kembali merasa kecil, takut, dan risau. Apalagi melihat Dava yang terlihat senang bertukar pesan dengan Shirin, membuat Dena rasanya ingin mengubur diri.

Sekarang, bagaimana Dena bisa fokus rapat?

Jatuh cinta sialan; pt.2


“Lo mau makan apa, Na?”

“Gorengan aja dah.”

“Oke.”

Kantin siang itu bisa dikatakan cukup rame. Biasalah, banyak guru-guru yang jarang masuk atau terlambat saat siang seperti ini.

Contohnya kelas Dena dan Haga yang mana Pak Chairul tidak masuk karena katanya lebih baik melanjutkan tugas me-review film mereka minggu lalu. Ya, karena tugas kelompok Dena dan Haga sudah delapan puluh lima persen rampung, jadinya mereka bisa bersantai saat ini.

“Gue kangen banget sama es doger kantin,” ucap Haga yang baru datang sambil membawa nampan makanan.

“Emang disana gak ada es doger apa?” tanya Dena sambil mengambil tempe goreng.

“Ada, Na. Tapi masih enakan disini hahaha.”

“Hahahaha.”

Mereka memang hanya berdua saja di meja itu. Tapi, rasanya, pembicaraan mereka terus mengalir. Banyak hal yang dibahas, mulai dari kegiatan Haga selama LKBB seminggu, apa yang terjadi pada Dena selama seminggu ini, tentang Galen, Assan, dan Rendra yang dikejar mang aco, sampai satpam sekolah yang sekarang sudah ganti orang.

“Gile! Gue ninggalin sekolah seminggu doang padahal,” ucap Haga tak percaya.

“Banyak banget ya yang lo lewatin? Hahaha.”

“Hahaha bener. Tapi, lo gapapa? Padahal gue siap dengerin kalo lo mau cerita.”

Dena tersenyum, “Gapapa gue mah. Gue juga gak mungkin cerita sama lo, yang ada ganggu lo nanti. Masih ada putri sama yang lain kok.”

Haga mengangguk, “Iya, tapi lain kali kalo pengen cerita, cerita aja. Gue gak keberatan.”

“Iyaaaa Hagaaa,” ucap Dena seperti gemas sambil mengambil lagi sebilah tempe goreng.

Dulu, Dena dan Haga itu tidak dekat. Bahkan kenal pun tidak, hanya sebatas tau kalau masing-masingnya adalah anak MB dan Paskib. Tapi saat kelas sebelas, kelas mereka di rolling dan mereka berdua ternyata sekelas.

Haga datang terlambat pada hari pertama masuk sekolah dan menyisakan meja Dena yang belum terisi. Pertemanan mereka berawal dari yang hanya teman tempat duduk menjadi teman yang lebih dekat. Bahkan kata 'sayang' dan 'ganteng' sudah biasa dikeluarkan dari bibir Dena untuk Haga.

Haga, sih, tidak ambil pusing. Dulunya. Karena entah mengapa belakang ini, ada sesuatu di dalam dirinya yang cukup terganggu bila mendengar atau menatap chat dari Dena dengan kata itu.

Haga adalah orang yang menganut “Laki-laki dan perempuan itu bisa berteman.”.

Tapi sialnya, sepertinya ia harus menelan kata-kata itu.

“Lo gimana sama Dava? Ada perkembangan?”

Dena menatap Haga sambil termenung, “Gak tau.”

“Dava masih ngabain lo?”

“Enggak,” Dena mencoba memilah kalimatnya. “Gini. Gue tuh sempat mau mundur, Ga. Tapi setelahnya, malah si Dava mulai berubah. Seriusan! Gue sampai ngira dia kerasukan reog!”

Haga tertawa, “Kenapa emangnya?”

“Masa dia tiba-tiba bantuin gue, mau bicara lama sama gue, ngejemput gue yaaa walau ini urusan MB, sih. Tapi tetep aja! Terus kemarin waktu masalah MB itu, dia selalu ada di pihak gue. Maksudnya dia selalu bantu gue, nenangin gue, ngebela gue.”

“Suka tuh.”

Dena terlihat berpikir sejenak, “Masa sih? Dia gak kasian doang?”

Haga menyentil jidat Dena, “Kebanyakan overthinking.”

“Sakit heh!” seru Dena sambil mengusap Dahinya.

“Habisnya, sekarang lo yang perlu disadarin,” tutur Haga. “Udah cukup Dava yang selama ini denial. Lo jangan ikutan juga.”

“Gue cuma takut, Ga.”

“Gausah takut, Na,” balas Haga. “Perasaan lo berbalas kok.”

Dena terkejut, “Hah apaan? Tau darimana?”

“Yaa lo kira Dava kalo curhat cuma sama tu tiga cacing doang? Sama gue juga lah! Rumah beda berapa langkah doang, mana curhatnya tiap gue baru selesai latihan lagi.”

Si gadis tertawa kecil, “Usir aja kalo ganggu.”

“Maunya,” jawab Haga. “Tapi dia bawa makanan sama PS. Ya, jadi gue gak nolak lah.”

Haga dan Dava berteman waktu dibangku SMP. Itu juga saat dimana Haga dan keluarganya baru pindah di kota ini dan kebetulan rumahnya bersampingan dengan milik Dava. Keduanya menjadi teman akrab, walaupun dibangku SMA orang tidak banyak yang tahu karena mereka memiliki lingkup pertemanan masing-masing.

Dava sering datang ke rumah Haga setiap ia selesai latihan paskib. Itu sekitar jam satu sampai dua dini hari. Biasanya mereka akan makan makanan yang di beli Dava lalu main PS sebentar sembari Dava menceritakan isi hatinya. Haga tau, Dava itu suka pada Dena. Tapi ia selalu mengelak dan itu membuat Haga kesal.

Pernah, saat malam yang dekat dengan hari keberangkatan LKBB Haga, ada Dava datang kerumahnya, namun langsung ia usir. Haga bilang, “Lo kalo mau curhat tentang Dena lagi, gue gamau denger! Pikirin sendiri! Yang punya perasaan kan lo, jangan ajak gue ikut campur, yang ada gue juga bakal naruh perasaan ke Dena!

Percakapan itu berakhir dengan Haga yang menutup pintu rumahnya dan Dava yang terdiam disana.

Dava tidak sadar, ia selalu menceritakan bagaimana baik dan buruknya Dena yang membuat hatinya bimbang pada orang yang juga memiliki hati. Dava tidak sadar, bahwa Haga dan Dena itu berada di kelas yang sama dan lebih dekat. Haga bisa melihat setiap saat semua baik buruknya Dena dari cerita Dava tiap malam.

Dava tidak sadar, bahwa Haga juga bisa jatuh hati.

“Haga!” seru Dena. “Kenapa ngelamun?”

Haga yang tersadar hanya mengerjapkan mata. Ia serasa ditarik kembali ke kenyataan, nafasnya pun terhela.

“Gue sekarang yang mau nanya, boleh gak?” izin Dena.

“Boleh lah. Go on.”

Dena tersenyum lebar, “Lo jadinya suka sama siapa? Si anak cheers atau anak padus?”

“Gak dua-duanya,” jawab Haga langsung.

“Lah, serius? Gue kira antara dua itu soalnya mereka keliatan deket banget sama lo,” jelas Dena. “Oh, atau ada orang lain?”

Haga menatap Dena lurus, “Ada, Na.”

“Siapa?” tanya Dena ingin tahu.

Si lelaki terdiam sebentar, “Lo gausah tau deh, ntar ribet.”

Air wajah Dena menjadi tidak nyaman. Ia menyangka bahwa kalimat dari Haga itu mengatakan dirinya perempuan yang ribet.

“Bukan, maksud gue bukan lo yang ribet. Tapi masalahnya yang bakal jadi ribet.”

“Iyaaa Haga.”

“Gue udah mutusin,” ucap si lelaki yang mengundang perhatian Dena. “Gue gabakal maju.”

“Lah kenapa?” kaget Dena. “Tadi aja lo nyuruh gue maju.”

“Kalau gue maju, itu malah jadi masalah,” ucap Haga sambil lamat-lamat memperhatikan mata Dena. “Hati cewe yang gue suka udah punya orang lain, Na. Gue gak bisa maksa nerobos masuk. Walau gue maksa pun gue udah pasti kalah.”

“Kok gitu..” cicit Dena.

Haga tersenyum, “Yaaa gapapalah. Hitung-hitung buat pengalaman gue di dunia percintaan.”

Persetan tentang dunia percintaan. Rasanya Haga ingin sekali berteriak untuk menyalurkan rasa hatinya. Haga yang seperti ini bukan dirinya sekali. Haga itu biasanya selalu ceplas-ceplos, selalu mengatakan apa yang ia mau.

Tapi sial, jika dengan Dena seperti ini, rasanya ia tidak bisa berlaku seperti itu. Ada banyak hati yang berusaha ia jaga, dan ia tak mau hati Dena lolos dari penjagaannya. Ia tidak mau membuat si gadis kecewa.

Jadi, begini saja, tidak apa-apa.

UKS; awal mula tragedi.


Dena berjalan dengan terburu-buru. Pikirannya juga cukup kalut. Ini adalah jam istirahat kedua, jadi koridor sekolah cukup sepi karena kebanyakan memilih untuk tetap di kelas, membuat Dena leluasa melintasi jalan ini menuju ke uks dengan hati yang tak karuan.

Saat pintu terbuka, dapat ia lihat di ranjang ujung sana Dava tengah terbaring. Ada Assan, Galen dan Rendra juga disamping kanan ranjangnya.

“Dava kenapa?” tanya Dena khawatir.

“Kaga tau, udah umur mungkin.”

Dena langsung memukul lengan orang itu, “Assan! Bahasanya gak bagus.”

Tapi Assan justru tertawa. Oh tidak hanya Assan, tapi Galen dan Rendra juga. Alhasil, Dena mendengus dan memilih untuk duduk di samping ranjang yang Dava tempati.

“Pingsannya dimana?” tanya si gadis.

“Kurang tau,” jawab Galen.

Dena mengernyit, kenapa bisa? Akhirnya ia membawa telapak tangannya untuk mengecek suhu kening Dava. Tidak panas, ia tidak demam. Nafasnya juga teratur, tapi jika didengarkan lebih teliti lagi, ada yang aneh.

Iya, Dava mendengkur, membuat Dena langsung menatap tajam ketiga teman Dava itu.

INIMAH TIDUR ANJIRRRR BUKAN PINGSAN!!!

Gelak tawa langsung memenuhi ruang UKS yang memang sedang tidak ada siapapun itu. Pelakunya siapa lagi kalau bukan tiga orang tadi.

“Hahaha sorry, Na. Idenya Rendra sumpah, bukan gue –AWWW sakittt naaa!” keluh Assan yang di cubit Dena.

“Lo juga bedua ya, SAMA AJA! NIH RASAIN!” kesal Dena sambil memberikan Galen dan Rendra perlakuan yang sama seperti Assan.

Suara mengaduh yang kontras dengan gelak tawa menyentak masuk ke dalam pendengaran Dava. Si lelaki terbangun dari tidur siangnya sambil mencoba membaca situasi saat ini.

“Kenapa?” tanya Dava dengan suara parau.

“Kenapa? Kenapa, Dav? NIH TANYA SAMA BESTIE LO!” sarkas Dena sambil menunjuk ketiganya.

“Ngapain lo pada kesini?” balik tanya Dava pada kawanannya yang dibalas tawa cengengesan.

Rasanya Dena kesal sekali. Mana jarak kelasnya dan UKS cukup jauh.

Dasar Assan, Galen, dan Rendra! Dena berdoa semoga mereka dikejar banci nanti saat pulang sekolah!

“Nguap terus! Cuci muka sana!” sentak Dena pada Dava yang membuat lelaki itu kaget. “Lo juga ngapain sih tidur di UKS?”

“Wah wah ini info penting sih, Na,” sahut Galen. “Dava bolos pelajaran Bu Rina!”

Matanya membelalak kaget, “Lo juga monyet!” balas Dava.

“Gue engga, Na! gue anak rajin, tadi belajar sama Miss Ani soalnya hahaha,” ucap Assan yang diiringi tawa oleh mereka, kecuali Dena yang hanya menggelengkan kepala.

“Terserah lo pada dah,” pasrah Dena. “Tapi karena lo-lo pada udah bohongin gue, gue doain semoga lo bertiga dikejar sama banci perempatan depan!”

“Astaghfirullah Dena! Doa lo jangan yang itu dong!” tegur Rendra.

“Ganti, Na. Doa yang lain!” suruh Assan.

“Yoi! Dikejar topeng monyet kek, masih mending itu,” tawar Galen.

Dena sungguh dibuat tidak bisa berkata-kata dengan kelakuan tiga manusia ini. Dengan rasa kesal yang ada diujung kepala, Dena menginjak sepatu ketiganya dengan penuh tekanan, membuat mereka mengaduh tak terima, juga tawa Dava yang mengudara.

“Heh! Lo jangan ketawa-ketawa! Sana bangun cuci muka, bentar lagi mau sholat dzuhur!” seru Dena pada Dava. “Lo bertiga juga, sholat!”

Dena langsung meninggalkan ruang UKS, meninggalkan Dava dalam kebingungan yang sampai sekarang ia tidak tau apa yang terjadi.

“Siapa yang ngide?” tanya Dava.

“Hehehehe.”

“Anu.”

“Jadi gini, Dav.”

“Siapa?” tanya Dava lagi lebih tegas.

Assan, Galen dan Rendra langsung menjawab dengan saling tunjuk yang membuat Dava menggelengkan kepala heran. Tentu saja ini ide ketiganya, entahlah tujuannya apa.

“Jangan gangguin Dena kek gitu,” ucap Dava.

“Dih, siapa lo?” sewot Assan.

Dava berdecak, “Jangan dibohongin, gak ada yang suka. Kasian Dena udah cemas.”

“Iya iyaa maaf, Dav,” tutur Galen. “Idenya si Rendra sumpah. Gue sama Assan ikutan doang.”

“Wah fitnah anjing!” seru Rendra. “Ini ide kita sama-sama! Lo jangan gak setia kawan gitu dong!”

“Hahaha iya dah Dav, salah kita bertiga, sorry,” ucap Assan.

Dava menatap jengah ketiga kawannya itu, “Buat apa, sih? Apa yang lo pada dapetin emang?”

“Bukan kita, tapi lo” tunjuk Rendra. “Lo harus liat gimana paniknya muka Dena pas masuk di UKS tadi. Dena bukan cuma cemas, tapi dia khawatir, Dav. Sorot matanya takut, lo harus tau itu.”

“Perasaan Dena masih buat lo. Walau lo pernah cerita kalo Dena mau move on, tapi nyatanya tadi dia khawatir setengah mati,” tambah Galen. “Do something. Jangan biarin Dena kelamaan nunggu, orang juga bisa capek, orang bisa nyerah.”

“Gue sebenarnya kesel liat pergerakan lo. Karena kalo itu gue, udah dari seminggu lalu gue nembak Dena,” sahut Assan. “Tapi Dena sukanya sama lo. Gerak cepat, Dav. Lo tau kan kalo Haje punya perasaan sama Dena?”

Rasanya Dava seperti di tampar dari berbagai arah. Benar, Dava terlalu lamban. Walau perasaannya sudah yakin, tapi ia bingung harus seperti apa.

Persoalan jatuh cinta sebenarnya bukan teman akrabnya. Bahkan, kalau kalian ingin tahu, Shirin adalah perempuan pertama yang menjadi pacarnya. Dan fakta kalau ia dikenalkan tentang rasa sakit melalui Shirin membuat Dava memilih tidak mau lagi berurusan dengan perasaan.

Tapi hal ajaib terjadi. Dengan beraninya Dena datang dan mencoba menghancurkan dinding tebal di diri Dava. Bahkan Dava tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi akrab dengan Dena.

Awalnya, otaknya terus menolak, tapi hatinya terus bergerak maju berlawanan. Hingga sampailah ia di titik ini, titik dimana Dava merasakan perasaan nyaman yang tanpa sadar sangat ia rindukan.

Dena membawanya kembali untuk merasakan indahnya perasaan.

“Gerak cepat, Dav. Gue mah bisa ngalah, tapi kalo Haje? Yakin lo?”

Evaluasi; untuk diri dan organisasi.


Mereka semua sedang ada di ruang guru, duduk di sofa yang disediakan disana, sambil mendengarkan lamat-lamat penjelasan dari Miss Ani pagi itu. Coach Dimas juga ada, justru malah beliau yang duluan mempunyai pembicaraan dengan Miss Ani tadi.

Kalian tau? Perkataan Laras tentang dia yang akan pergi meninggalkan kota ini benar adanya. Miss Ani bilang, ternyata sudah dari dua minggu yang lalu Laras mengurusi surat menyuratnya.

“Saya juga baru ingat tadi malam kalau Laras pernah mengurusi surat kepindahan,” jelas Miss Ani. “Tapi saya tidak tau kalau ternyata kemarin itu hari terakhir Laras di sekolah ini.”

Semuanya menghela nafas, Dena juga, ada perasaan kecewa dihatinya karena tidak tau harus bagaimana lagi untuk bertemu dengan Laras.

“Dan Adena, kamu tidak perlu mengganti biaya barang yang rusak, karena itu semua sudah di tanggung Laras,” jelas Miss Ani.

“Laras ngeganti semuanya, Miss?” tanya Galen.

“Iya, Galen. Ini,” ucap Miss Ani sambil menyerahkan amplop yang ternyata berisi uang. “Saya kurang tau soal cara beli-membelinya. Jadi, saya serahkan ke kamu, ke MB langsung.”

“Baik, Miss.”

“Saya harap, kejadian seperti ini tidak terjadi lagi, ya? Saya mungkin memang baru beberapa minggu ini menjadi Pembina MB, tapi saya sudah tau kalau MB itu dikenal sama kerja tim dan kekeluargaannya. Selayaknya keluarga, kalau ada masalah, segera dicari penyelesaiannya. Jika ada yang tidak enak dihati, dibicarakan bersama. Ada Galen dan Dava sebagai kepala keluarganya, saya harap kalian berdua bisa lebih care lagi sama anggota. Kalau salah satu ada yang jadi api, yang lainnya harus jadi air. Tidak hanya untuk Galen dan Dava, tapi juga untuk kalian semua pengurus yang ada disini, juga teman-teman anggota yang lain.”

Ucapan panjang Miss Ani membuat semuanya menundukkan kepala. Benar, semuanya menyetujui Miss Ani. Seharusnya kejadian seperti kemarin tidak terjadi jika mereka peka satu sama lain dan memilih untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

“Siap Miss, terima kasih banyak,” ucap Galen.

“Baik Miss Ani, terima kasih masukkannya,” tambah Dava juga.

Setelah itu, masih ada lagi wejangan lainnya yang ditambah Miss Ani dan Coach Dimas di ruang guru itu. Semua nasihat itu sangat berpengaruh dan mengevaluasi kembali kepengurusan yang ada di MB. Walaupun Dena bukan pengurus, tapi ia juga ikut merasakan rasa penyesalan dari kejadian ini.

Pembicaraan mereka berakhir diiringi dengan ucapan terima kasih serta pamit dan salim pada Miss Ani serta Coach Dimas. Beliau masih ingin berbicara dengan Coach Dimas, jadi, para pengurus bisa kembali ke kelas.

Mereka keluar dari ruang guru sambil menepuk bahu satu sama lain, mencoba saling menguatkan, ditambah dengan senyum menenangkan. Ini adalah evaluasi yang harusnya semakin mengeratkan kekeluargaan mereka. Semoga.

“Dena.”

“Kenapa, San?” sahut Dena sambil berbalik.

“Ada waktu?” tanyanya. “Gue mau bicara sebentar.”

Dena memperhatikan jam tangannya sejenak, lalu mengangguk mantap.

“Di meja bundar aja, Na,” ajak Assan.

Jadi, di sekolah mereka itu ada banyak meja bundar. Biasanya digunakan untuk anak-anak berkumpul, belajar, atau sekedar bertukar cerita. Dan kebetulan, di seberang ruang guru ada meja bundar, alhasil mereka segera menuju kesana.

“Gue mau ngomong sama Dena, nyet. Lo sana pergi!”

Ia mendengus pasrah dengan mata yang mendelik. Padahal Dava baru saja ingin ikut duduk, kasian sekali.

Dena dan Assan sampai tertawa melihat kepergian Dava yang seperti dengan langkah berat itu.

Menyudahi tawanya, Dena pun menatap Assan, “Kenapa?”

Yang ditanya mengeluarkan sesuatu dari balik almamaternya. Sebuah surat? Terlihatnya seperti itu, ditambah dengan pita merah sebagai perekatnya.

“Dari Laras.”

Rasanya jantung Dena ingin jatuh sangking kagetnya. Tangan si gadis terulur untuk menerima surat itu, surat yang kini terbuka lebar dan siap ia baca.


Dena, ini Laras. Larasati yang labil dan gak bisa ngatur emosi itu. Maaf Na, udah buat lo jadi korban. Maaf karena rasa iri gue ini, gue malah jadiin lo kambing hitam. Maaf Na, gak seharusnya gue nyalahin semua yang terjadi sama lo. Gue bodoh banget, tolol, goblok, dan semua kata jelek lainnya. Assan udah bantu gue buat sadar kalo semua yang gue lakuin itu salah. Gue nyesal, Na. Lo gatau apa-apa tapi malah gue jadiin kambing hitam karena dendam gue. Dan disaat kek gitu, lo malah nerima keadaan, bahkan lo yang minta maaf duluan ke gue. Gue, malu banget…

Maaf dan makasih ya, Na. Gue sekarang paham kenapa banyak orang yang deket dan sayang sama lo. Dan gue juga jadi tau kenapa orang banyak ngejauh dari gue, gue ternyata emang se-egois itu. Bahagia terus Dena, untuk kesekian kalinya gue mohon maaf banget. Mungkin gak lo maafin juga gapapa, gue emang buruk banget disini. Semoga semua hal baik selalu dideket lo ya, gue pamit pergi.

-Larasati.


Airmata Dena jatuh bersamaan dengan surat itu yang ia tutup. Assan datang mendekat dan menepuk-nepuk pundak Dena menenangkan.

Rasanya dada Dena sedikit sesak, “Laras pergi kemana?”

“Ke kota lain,” jawab Assan. “Dia ikut tantenya. Soalnya orang tuanya udah cerai, udah punya keluarga masing-masing.”

Airmata Dena semakin mengalir. Iya, keluarga Laras tidak seperti keluarga orang kebanyakan. Dan dengan membaca surat dari Laras ini membuat Dena seolah merasakan rasanya menjadi seorang Laras, yang semua hal yang terjadi padanya seakan tidak adil.

“Udah, Na. Jangan ditangisin terus.”

“Laras.. gimana?”

“Baik,” jawab Assan. “Tapi pas kemarin gue coba bicara sama dia, dia nangis juga. Dia nyesel, Na.”

Dena mengusap pipinya, “Semoga dimanapun Laras berada, dia baik-baik aja. Selalu dikelilingi hal baik.”

“Aamiin, Na. Aamiin,” sahut Assan. “Ayo nangisnya udahan dulu, bentar lagi bel ganti jam pelajaran.”

Merayakan Rasa Sakit.


Rasanya, Dena benar-benar terpojok. Ia tidak bisa membiarkan keadaan tetap seperti ini, tapi melihat banyak yang menyudutkannya, membuat sebagian dari diri Dena memilih untuk mengalah. Karena jika dilihat dari sisi mereka, tentu saja Dena lah yang bersalah.

Pesan dari Dava ia abaikan. Dena meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia harus menghadapi ini tanpa bergantung pada orang lain. Karena itulah, saat bel istirahat berbunyi, si gadis langsung berjalan agak terburu menuju ruang alat MB, yang sialnya sudah ada banyak orang disana.

Tatapan mata mereka pada Dena seperti sedang menghakimi, tapi tidak dengan Putri yang langsung berjalan dan berdiri di samping Dena.

“Gapapa, Na. Ayo jelasin, gue ada di samping lo,” ucap Putri menenangkan.

Dena menghirup udara banyak-banyak. Ditatapnya wajah kawanan MB-nya yang sedang melingkari dirinya. Pandangan Dena terhenti pada Galen, sang ketua yang mungkin sekarang ini yang paling frustasi.

“Gue..” ucap Dena tertahan. “Gue minta maaf, mohon maaf gue gak bisa bertanggung jawab sebagai PJ untuk bulu topi. Gue juga minta maaf karena udah teledor engga balikin kunci ruang alat ke galen. Maaf, gue gak bisa diandelin..”

Dena menggigit bibir bawahnya resah. Tatapan anak-anak MB yang lain masih saja tidak bersahabat.

“Gara-gara lo, Na. Bulu topi jadi kurang banyak, flag cg robek-robek,” tutur Galen dengan suara yang dingin, tak seperti biasanya. “Lo yang gak bertanggung jawab, tapi nanti gue yang nanggung, Na! Gue yang bakal dimarahin Coach Dimas sama Miss Ani!”

Dena memejamkan mata dengan wajah yang menunduk. Rasa bersalah berkecamuk di dalam hatinya. Memang benar, siapapun yang salah, pada akhirnya tetap Galen yang akan mendapat omelan terbanyak.

“Galen jangan teriak!” tegur Clara.

“Kak Dena, sorry.” ucap Diky. “Kak Dena cuma teledor doang, kan? Kak Dena gak sengaja, kan?”

“Kan gue udah bilang! Dena cuma teledor, Diky! Ngapain coba dia buang bulu topi sama ngerobek flag cg? Apa untungnya? Hah?!” marah Putri.

“Kak Put, gak ada yang tau,” sahut Ale. “Yang tau kebenarannya cuma Kak Dena.”

“Siapa tau Dena bohong, kan?” tambah Laras.

“Jahat banget sih kalo sampai bohong.”

“Dia gak tanggung jawab aja udah parah banget, lah ini barang-barang mb juga sampai rusak. Haduh GWS deh.”

“Seharusnya dari awal jangan Kak Dena PJ-nya. Jadinya gini kan?”

“Teledor kok sampai dua kali.”

Dan semua kata-kata tak mengenakkan lainnya yang keluar dari bibir anak-anak MB di ruang alat. Perkataan dari mereka membuat Putri naik pitam. Ia bahkan ingin mencengkram kerah baju adik kelas lelaki yang baru saja mengucapkan kata-kata jeleknya untuk Dena, tapi berhasil Dena tahan.

“Disini gue emang salah, Put. Gapapa.”

“Lo salah tapi bukan berarti mereka bisa jelekin lo, Na!” teriak Putri. “Galen! Sekarang lo mau apa? Dena udah minta maaf tentang keteledoran dia, apalagi yang lo pada mau, hah?!”

“Jujur,” kata Galen. “Lo sengaja apa gak sengaja?”

Dena menatap Galen memelas, “Len, gue gak sengaja..”

“Gak sengaja buang bulu topi sama ngerobek flag?” tanya Galen dengan mata sinis.

Skakmat. Kedua pilihan pertanyaan Galen memang memojokkan diri si gadis.

Anjing!” teriak seseorang sambil membuka pintu ruang alat.

Bahunya naik turun, wajahnya sedikit merah, tatapannya juga menyiratkan amarah, langkahnya ia bawa lebar untuk langsung berdiri di depan Dena, untuk melindungi si gadis.

“Bukan Dena,” ucapnya tegas pada Galen yang kini berada dihadapannya.

Galen tersenyum miring, “Gue kira lo bakal netral, Dav?”

“Ya karena memang bukan Dena, anjing! Gua yang nemenin dia cari bulu topi di sekolah sampai maghrib. Gua sendiri yang ngunci ruang alat, pake tangan gua,” tunjuk Dava ke tangannya. “Kemarin waktu Dena jalan bawa plastik isi bulu topi, gua juga ada disana, sama Dena, dan gak ada yang kececer!”

Dena semakin menundukkan wajahnya sambil sebelah tangannya menahan lengan Dava untuk tidak maju melakukan sesuatu yang tidak diinginkan pada Galen, sebab si lelaki terlihat sangat emosi sekali saat ini.

Jika Dava tidak datang, mungkin ia tidak tau lagi harus seperti apa. Keadaannya yang sangat terpojok ini pasti membuat orang-orang sulit untuk mempercayai perkataan si gadis.

Dena sedari tadi ingin menyebutkan nama Shirin, tapi entah mengapa, pembelaan sulit sekali keluar dari bibirnya.

“Lo nuduh orang lain, Dav?” tanya Galen sambil maju selangkah. “Atau cuma cari pembelaan buat Dena?”

Ah, sungguh. Rasanya Dava ingin sekali menerjang kawannya satu ini. Rasanya ia ingin langsung melayangkan kepalan tangannya, tapi ia memilih menahan, sebab pegangan tangan Dena pada lengannya semakin menguat, ia tidak mau gadis itu kecewa.

“Galen,” ucap Dava menggeram. “Asal lo tau, ada yang sengaja jadiin Dena kambing hitam!”

“Siapa?” tanya Rendra. “Siapa, Dav? Tunjuk orangnya kalo dia ada disini, biar masalahnya bisa selesai.”

Kenapa gak lo tanya langsung ke orang di samping kanan lo, Ren?”

Itu suara Assan. Ia baru datang, teramat santai sambil meminum es teh di tangannya, namun tatapannya sungguh tak bersahabat pada seseorang yang ada di samping kanan Rendra.

Laras?!!” kaget Putri.

Semua yang berada di ruang alat terkesiap, wajah mereka berubah kaget dan tak menyangka menatap Laras. Bahkan Dena juga tak kalah.

“Gue?” kaget Laras. “Gue kenapa? Gue gak ngapa-ngapain! Lo pada jangan sembarangan nuduh!”

“Oh ya?” tanya Assan. “Terus lo ada dimana waktu semua orang lagi nonton paskib kemarin? Lagi ngebuang bulu topi di gorong-gorong depan?”

“Laras.. lo..” ucap Dena tak percaya.

Sorot mata Laras bergetar, “B-bukan gue! Gue lagi beli es doang di depan!”

“Jujur, Ras. Gua sama Assan ada buktinya,” suruh Dava.

“Dava?! Serius bukan gue, anjing!” teriak Laras frustasi. “Galen, tolong percaya gue!”

Seakan tak melihat Laras yang sedang menatapnya memohon, Galen justru menatap Dava dan Assan bergantian, “Apa buktinya?”

Assan maju mendekati Galen sambil menyodorkan ponselnya, memperlihatkan sesuatu yang membuat mata Galen sampai membola besar.

“Kemarin, ada panitia paskib bagian keamanan yang liat cewe buang bulu topi kita di gorong-gorong,” Jelas Assan dengan nada suara menyindir. “Si cewe sih, ngiranya gada yang liat. Padahal, di parkiran seberang ada yang nge-foto.”

Penjelasan dari Assan membuat mereka kini balik menatap Laras menghakimi. Sedangkan Laras, wajahnya kini mulai memucat dengan mata yang arah pandangnya tidak fokus.

“Lo langsung dikasih tau kemarin, San?” tanya Putri.

Assan menggeleng, “Gue baru aja tau tadi pagi. Makanya gue telat kesini, soalnya gue mau nanya langsung sama saksinya.”

Dava menghela nafasnya sebelum menambahkan, “Yang ngerobek dan ngegunting flag cg juga orang yang sama. Kemarin, gua sama Dena memang yang terakhir ngunci ruang alat. Tapi sehabis ngantar Dena, gua balik lagi ke sekolah mau ngambil stik gua yang ketinggalan.”

“Dan lo,” tunjuk Dava pada Laras. “Lo ternyata lagi asik ngegunting flag cg disini. Gue kaget, Ras. Tapi wajah lo malah keliatan senang.”

“ANJIR! LO SENGAJA BIKIN DENA JADI TERSANGKA?” teriak Clara marah.

Galen yang tadinya termenung, tertawa kecil, “Oh, pantas. Jadi ini alasan lo semalam ngehasut gue buat ke ruang alat pake alibi ngecek data inventaris?”

“Wah, Ras. Gue gak nyangka lo begini,” ucap Putri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue kenal lo dari lama, Ras. Lo gak mungkin ngelakuin hal ini.”

“Kak Laras mau ngadu domba kita semua?” tanya Ale tak percaya.

“Kak, kita di MB ini semuanya keluarga. Tapi kenapa Kak Laras malah begini?” tanya Nadia yang ikut meramaikan suara bisik-bisik kecewa di ruang alat hari itu.

Laras, si tersangka, wajah pucatnya masih disana, tapi dia malah tertawa menanggapi orang-orang, “Heh Nadia! Lo kira semua keluarga itu bakal baik-baik aja? Keluarga itu juga ada yang hancur!”

“IYA SOALNYA LO YANG BIKIN HANCUR!” balas Putri.

“Lo yang buat kita semua pecah belah, Ras!” geram Clara.

“Gue juga ngelakuin itu ada alasannya jing!” Laras maju mendekati Dena yang sudah ada Dava di depannya sebagai tameng. “Lo, Dena! Gara-gara Lo! Gue begini karena lo!”

“Gue kenapa, Ras?” tanya Dena lembut mencoba melebur amarah Laras. “Gue ada bikin salah sama lo, kah? Maaf, Ras. Gue minta maaf..”

“Banyak, Dena! Salah lo sama gue itu banyak! Bahkan ngeliat muka lo aja gue muak!”

“Iya, tapi salah Dena apa sampai lo ngelakuin hal kek gini?!” tanya Putri menuntut.

“Lo diem deh, Put! Kelakuan lo sama Dena sama aja!” hardik Laras. “Semenjak temenan sama Dena, attitude lo jadi jelek banget.”

Mendengar itu, tentu saja Putri tidak terima.

“Heh anjing! Lo bilang attitude gue jelek? Lo gak ngaca kah?” geram Putri. “Tuh di ujung ada kaca, NGACA SANA!”

Galen yang tengah menahan amarahnya mencoba mengontrol suasana, “Sudah-sudah. Laras, lo mending minta maaf dulu terus jelasin kenapa lo ngelakuin ini semua.”

Tapi Laras justru mendecih diiringi tawa remeh, “Minta maaf, Len? Daripada ngelakuin itu, mending gue pergi dari sini!”

Laras berjalan membelah ruang alat dengan bahu naik turun, diiringi dengan tatapan tak percaya dari mereka-mereka yang memenuhi ruangan itu.

Saat sudah berada di pintu, ia berbalik arah sambil jari telunjuknya menunjuk Dena dengan tajam.

Dan lo, si orang jahat, semoga lo cepat mati!

“LARAS OMONGAN LO!!” teriak Putri.

Laras langsung meninggalkan ruang alat dengan menganggkat bahu tak peduli. Kepergian Laras membuat Assan mengikutinya dari belakang, entah karena apa, sepertinya ada yang ingin ia bicarakan.

Sementara itu, suasana di ruang alat sungguh tidak terkondisi. Semua orang seketika lemas, tidak ada yang menyangka bahwa jadinya akan begini. Benar-benar tidak terduga.

Dava langsung berbalik ke belakang menatap wajah Dena yang tertunduk. Diangkatnya dagu si gadis yang mana matanya sudah menampung banyak sekali air yang siap tumpah. Malah, saat netra Dava menatap tepat pada milik Dena, semua airmata itu meluruh disertai isakan kecil, membuat hati Dava terasa teriris.

“Ada gua, Na. Lo ga sendiri, ingat, kan?” ucap Dava lembut sambil mengusap airmata Dena yang membasahi kedua pipinya. “Lo bukan orang jahat, Lo baik, Dena.”

“Tapi di cerita Laras, gue orang jahatnya, Dav..”

Ah, Dava tidak kuat melihat wajah Dena yang seperti ini, wajah yang penuh kesedihan dan rasa bersalah.

Rasanya ia ingin berteriak pada orang-orang yang tadi sudah memojokkan si gadis. Rasanya ia ingin langsung merengkuh si gadis, membawa ke dalam pelukannya, serta membisikkan semua kalimat penenang, tentang semuanya akan baik-baik saja.

Tapi, tidak. Dava tidak bisa melakukan itu.

Untuk itu, ia hanya maju selangkah lebih dekat, tanganya mengelus surai si gadis berkali-berkali sebagai pengantar ketenangan pada Dena yang kini kembali tertunduk.

“Terserah apa kata orang, Na. Tapi bagi gua, lo orang baik,” ucap Dava yang terdengar merdu ditelinga Dena.

“Sama kek yang gua bilang kemarin, andelin gua, Dena. Jangan sendirian, jangan bikin gua cemas.