Aku, diriku; Dava.
“Udah nego ke Haje tadi, MB yang pake lapangan.”
“Ck, mb terus! Paskib juga mau kali pake di sekolah.”
“Iya Shirin, tapi masalahnya, MB gak bisa di lapangan pemuda. Banyak pemukiman penduduk disana, yang ada malah ganggu.”
“Yaudah kalian latihan gak pake suara aja, lah!” serunya marah, lalu menatapku pasrah. “Hisssh iyadeh pake aja noh lapangan!”
“Jangan marah-marah.”
“Ya.”
“Gua pergi ya.”
“Dav?” tahannya.
“Kenapa?”
“Gue.. masih suka sama lo.”
Aku tau itu. “Makasih, tapi sayang gua engga.”
“Hah? Semudah itu lo lupain gue? Hubungan kita?”
“Satu bulan lebih mungkin gabisa bikin gua langsung ngelupain semuanya. Tapi satu bulan itu berhasil buat gua sadar, Rin, kalo rasa gua sepenuhnya udah bukan punya lo. Gua ngehormatiin perasaan lo yang masih berharap sama gua. Makasih. Tapi gua harap lo juga bisa ngehormatin gua sama pilihan gua ini.”
“Lo.. kok bisa semudah itu ngelupain semuanya..”
“Gak lupa, Rin. Gua yang gamau ngingat, simpan aja dibelakang, gua gamau ngerasain rasa sakitnya lagi.”
Dia tertawa sinis, “Gue bodoh banget emang, malah milih selingkuh sama itu cowo yang modelannya begitu hahaha padahal kemana-mana jelas lo lebih baik.”
“Gausah diungkit lagi, biarin aja, udah kejadian.”
“Tapi gue masih mau sama lo, mau coba bangun lagi dari awal sama lo.”
“Gabisa, Rin..”
“Kenapa sih Dav?” desaknya.
“Perasaan gua udah bukan punya lo lagi.”
“Siapa?”
“Dena. Adena Salsabila.“
Aku Dava. Satria Dava Pamungkas. Sengaja pake aku, kalau pake gua, takutnya ada yang gak nyaman.
Tadi itu adalah percakapanku dengan Shirin beberapa waktu lalu, tepat sebelum ngumpul di ruang alat sama anak MB, tepat sebelum kejadian canggung karena gorengan sama Dena.
Jujur, saat itu, aku banyak ngarangnya. Saat itu, aku gak tau apa yang hatiku mau.
Bilang sama Shirin kalau aku gak punya rasa lagi sama dia dan punya rasa pada Dena, tapi keesokan harinya malah menyuruh Dena untuk berhenti menyukai.
Aku mencoba segala cara supaya buat Shirin menjauh, aku gak mau mengulang cerita yang sama.
Aku tahu diriku mulai menaruh perhatian pada Dena. Aku tahu walau sedang fokus pada hal lain, sesekali aku akan melihat Dena, untuk melihat apa yang dia lakukan. Aku tahu mulai tumbuh rasa pada Dena di sebagian hatiku.
Tapi si bodoh ini malah menyuruh Dena berhenti di keesokan harinya.
Perlu kalian tahu kalau aku memang payah dan bodoh soal percintaan. Shirin itu yang pertama, dan dia juga yang memberi trauma. Tapi bukan maksud aku menyalahkannya juga. Memang salahku yang tidak bisa jadi pacar yang baik untuk Shirin.
Aku bukan laki-laki yang suka memberikan kata gombalan yang mana Shirin selalu suka, dan mungkin dia mendapatkannya dari lelaki lain.
Shirin juga sering menyuruhku bergaya seperti anak lelaki yang kekinian pada masa kini, tapi gak pernah aku ikuti. Aku beranggapan kalau mengikuti itu, sama saja tidak menjadi diriku sendiri.
Kalau aku menjadi orang lain, jadi apa poin dari hubungan kami?
Tapi tetap, terima kasih, Shirin. Karena dia aku jadi tahu rasanya mempunyai hubungan pacaran.
Soal aku yang menyuruh Dena untuk berhenti pada hari itu, di depan ruang alat, adalah kenekatan yang harus diberikan seratus jempol ke bawah. Itu adalah ide buruk yang bodohnya lagi otakku sanggupi.
Hatiku gak ingin, aku tahu, tapi sialnya otakku terus mencari pembelaan terlebih setelah melihat isi percakapan kawananku di grup kami.
Yak, si bodoh ini beraksi.
Tepat setelah pembicaraan itu dengan Dena di depan ruang alat, aku termenung. Otakku kehilangan egonya, hatiku memberat, ada rasa tidak terima disana.
Aku menyuruh Dena berhenti bukan karena ingin, sebenarnya. Aku sadar sudah terlalu menyakiti Dena selama ini, jadi dia harusnya berhenti, walau rasaku mulai tumbuh, Dena tetap lebih baik berhenti, mungkin ini akan menjadi karmaku.
Tapi aku tidak tahu kalau dengan menyuruh Dena berhenti saat itu juga akan menyakiti hatinya.
Seharian aku mencoba berdamai dengan diriku, tapi tetap, rasa tak enak dan nama Dena terus muncul.
Hari itu aku sadar, kalau aku sudah sepenuhnya memiliki rasa dengan Dena.
Untuk hari-hari selanjutnya aku sadar, kalau hatiku sudah jatuh pada Dena.
Dengan kesadaran yang penuh, aku mengakui kalau Dena sudah berhasil mengisi hatiku. Cukup aku yang tau.
Tentang Assan dan Haje, aku tidak terlalu peduli. Tapi aku bingung, kenapa mereka mundur? Maksudku, jika memang suka dengan Dena, seharusnya mereka maju saja, tidak perlu melihat siapa-siapa yang suka pada Dena.
Seharusnya mereka memperjuangkan perasaan mereka seperti Dena yang memperjuangkan perasaannya padaku, yang mana berhasil membuatku jadi merasakan yang sama seperti Dena rasakan.
Seharusnya mereka tidak berhenti, tapi aku tidak maksa juga. Justru Alhamdulillah.
“Gue udah jadian sama Jero! Ah senengnya!” kata Shirin padaku sewaktu kami di kantin.
“Haha iya selamat, Rin.”
“Hehe makasih, lo kapan nyusul? Tuh anaknya lagi duduk tuh, mau sarapan keknya.”
Aku melihat ke arah jari telunjuk Shirin. Iya, ada Dena disana.
“Hari ini, doain aja.”
“Aamiin deh moga lancar yaa haha.”
“Haha iya aamiin, makasih, gue duluan kalo gitu.”
Hari itu, aku bertekad mau jujur ke Dena, tentang perasaan. Aku juga diberi banyak wejangan oleh kawananku yang dari berhari-hari lalu sudah otakku serap.
Tapi anehnya, hari itu Dena berubah. Dia menjauh.
Bahkan saat kumpul-kumpul di ruang alat sama anak MB waktu istirahat, dia gak ikut. Aku chat dia, tapi dari balasannya terlihat sekali kalau dia ingin segera mengakhiri pembicaraan. Aku bingung.
Kemudian akhirnya aku tahu, ternyata Dena juga sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dena terus mempertanyakan apakah dirinya harus maju atau terpaksa mundur. Aku ceroboh, payah, dan tidak bisa diandalkan saat itu. Bisa-bisanya aku terus menahan untuk menyampaikan rasa disaat Dena butuh kepastian.
Tapi semuanya melubur waktu kami bicara berdua.
Aku seperti mendapat kekuatan saat jujur pada Dena sambil menatap matanya. Kalian coba deh, sekali-kali natap mata Dena. Aneh, disana kalian bisa nemuin ketenangan. Apa mungkin ini ya, alasan banyak orang yang jatuh ke Dena?
Seperti yang kalian baca di narasi sebelumnya, Dena berhasil meyakinkanku untuk jujur disaat aku rasanya tidak pantas untuk dia. Dia bantu aku melawan rasa resah, dia juga yang bilang ke aku untuk berbagi.
Dulu aku pernah menyuruhnya untuk membagi semua ketakutannya denganku. Dan mendengar Dena bilang itu juga, rasanya, seperti saling melengkapi.
Dena itu gadis yang hebat. Dia tidak pernah mau meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya. Walau kadang dia butuh waktu sendiri dulu, tapi itu wajar, aku maklum.
Aku juga jarang melihat dia sedih, dia selalu ceria, suka bercanda. Dena tidak berusaha berubah menjadi orang lain, mungkin karena dia sudah sadar kalau dirinya sendiri sudah seperti bidadari.
Shuttt diam, jangan kasih tau dia. Aku bisa diceng-cengin nanti.
Menurutku, Dena itu selalu menjadikan apa-apa yang pernah terjadi pada hubungan orang lain sebagai pembelajaran. Dia banyak mengamati, dia tidak mau berakhir sama seperti mereka. Hebat kan, Dena itu?
Untuk itu, aku Dava, dengan sepenuh hati sangat yakin kalau Dena adalah ciptaan Tuhan yang gak boleh disia-siakan. Gadis seperti Adena Salsabila itu harus diperjuangkan. Harus dilindungi, harus dijaga. Untuk yang lalu-lalu, biarkan disana. Aku sudah siap untuk jatuh sejatuh jatuhnya.
Jadi, aku sangat yakin waktu bilang, “Lo mau ngerasain rasanya jatuh cinta yang lebih sama gua gak? Kalo mau, ayo kita mulai sama-sama, saling bagi perasaan. Gua mau sama lo, Na. Apa lo mau kalo gua minta jadi punya gua?”
Dena menangis lagi saat itu, tapi juga tersenyum. Tetap cantik walau airmatanya meleleh di pipi.
“Mau, Dav. Mau,” katanya lirih.
Waktu rasanya seperti berhenti, panjang, untuk kami nikmati berdua. Aku mendekapnya.
Akhirnya Dena dipelukkanku, akhirnya.