Jatuh cinta sialan; pt.2


“Lo mau makan apa, Na?”

“Gorengan aja dah.”

“Oke.”

Kantin siang itu bisa dikatakan cukup rame. Biasalah, banyak guru-guru yang jarang masuk atau terlambat saat siang seperti ini.

Contohnya kelas Dena dan Haga yang mana Pak Chairul tidak masuk karena katanya lebih baik melanjutkan tugas me-review film mereka minggu lalu. Ya, karena tugas kelompok Dena dan Haga sudah delapan puluh lima persen rampung, jadinya mereka bisa bersantai saat ini.

“Gue kangen banget sama es doger kantin,” ucap Haga yang baru datang sambil membawa nampan makanan.

“Emang disana gak ada es doger apa?” tanya Dena sambil mengambil tempe goreng.

“Ada, Na. Tapi masih enakan disini hahaha.”

“Hahahaha.”

Mereka memang hanya berdua saja di meja itu. Tapi, rasanya, pembicaraan mereka terus mengalir. Banyak hal yang dibahas, mulai dari kegiatan Haga selama LKBB seminggu, apa yang terjadi pada Dena selama seminggu ini, tentang Galen, Assan, dan Rendra yang dikejar mang aco, sampai satpam sekolah yang sekarang sudah ganti orang.

“Gile! Gue ninggalin sekolah seminggu doang padahal,” ucap Haga tak percaya.

“Banyak banget ya yang lo lewatin? Hahaha.”

“Hahaha bener. Tapi, lo gapapa? Padahal gue siap dengerin kalo lo mau cerita.”

Dena tersenyum, “Gapapa gue mah. Gue juga gak mungkin cerita sama lo, yang ada ganggu lo nanti. Masih ada putri sama yang lain kok.”

Haga mengangguk, “Iya, tapi lain kali kalo pengen cerita, cerita aja. Gue gak keberatan.”

“Iyaaaa Hagaaa,” ucap Dena seperti gemas sambil mengambil lagi sebilah tempe goreng.

Dulu, Dena dan Haga itu tidak dekat. Bahkan kenal pun tidak, hanya sebatas tau kalau masing-masingnya adalah anak MB dan Paskib. Tapi saat kelas sebelas, kelas mereka di rolling dan mereka berdua ternyata sekelas.

Haga datang terlambat pada hari pertama masuk sekolah dan menyisakan meja Dena yang belum terisi. Pertemanan mereka berawal dari yang hanya teman tempat duduk menjadi teman yang lebih dekat. Bahkan kata 'sayang' dan 'ganteng' sudah biasa dikeluarkan dari bibir Dena untuk Haga.

Haga, sih, tidak ambil pusing. Dulunya. Karena entah mengapa belakang ini, ada sesuatu di dalam dirinya yang cukup terganggu bila mendengar atau menatap chat dari Dena dengan kata itu.

Haga adalah orang yang menganut “Laki-laki dan perempuan itu bisa berteman.”.

Tapi sialnya, sepertinya ia harus menelan kata-kata itu.

“Lo gimana sama Dava? Ada perkembangan?”

Dena menatap Haga sambil termenung, “Gak tau.”

“Dava masih ngabain lo?”

“Enggak,” Dena mencoba memilah kalimatnya. “Gini. Gue tuh sempat mau mundur, Ga. Tapi setelahnya, malah si Dava mulai berubah. Seriusan! Gue sampai ngira dia kerasukan reog!”

Haga tertawa, “Kenapa emangnya?”

“Masa dia tiba-tiba bantuin gue, mau bicara lama sama gue, ngejemput gue yaaa walau ini urusan MB, sih. Tapi tetep aja! Terus kemarin waktu masalah MB itu, dia selalu ada di pihak gue. Maksudnya dia selalu bantu gue, nenangin gue, ngebela gue.”

“Suka tuh.”

Dena terlihat berpikir sejenak, “Masa sih? Dia gak kasian doang?”

Haga menyentil jidat Dena, “Kebanyakan overthinking.”

“Sakit heh!” seru Dena sambil mengusap Dahinya.

“Habisnya, sekarang lo yang perlu disadarin,” tutur Haga. “Udah cukup Dava yang selama ini denial. Lo jangan ikutan juga.”

“Gue cuma takut, Ga.”

“Gausah takut, Na,” balas Haga. “Perasaan lo berbalas kok.”

Dena terkejut, “Hah apaan? Tau darimana?”

“Yaa lo kira Dava kalo curhat cuma sama tu tiga cacing doang? Sama gue juga lah! Rumah beda berapa langkah doang, mana curhatnya tiap gue baru selesai latihan lagi.”

Si gadis tertawa kecil, “Usir aja kalo ganggu.”

“Maunya,” jawab Haga. “Tapi dia bawa makanan sama PS. Ya, jadi gue gak nolak lah.”

Haga dan Dava berteman waktu dibangku SMP. Itu juga saat dimana Haga dan keluarganya baru pindah di kota ini dan kebetulan rumahnya bersampingan dengan milik Dava. Keduanya menjadi teman akrab, walaupun dibangku SMA orang tidak banyak yang tahu karena mereka memiliki lingkup pertemanan masing-masing.

Dava sering datang ke rumah Haga setiap ia selesai latihan paskib. Itu sekitar jam satu sampai dua dini hari. Biasanya mereka akan makan makanan yang di beli Dava lalu main PS sebentar sembari Dava menceritakan isi hatinya. Haga tau, Dava itu suka pada Dena. Tapi ia selalu mengelak dan itu membuat Haga kesal.

Pernah, saat malam yang dekat dengan hari keberangkatan LKBB Haga, ada Dava datang kerumahnya, namun langsung ia usir. Haga bilang, “Lo kalo mau curhat tentang Dena lagi, gue gamau denger! Pikirin sendiri! Yang punya perasaan kan lo, jangan ajak gue ikut campur, yang ada gue juga bakal naruh perasaan ke Dena!

Percakapan itu berakhir dengan Haga yang menutup pintu rumahnya dan Dava yang terdiam disana.

Dava tidak sadar, ia selalu menceritakan bagaimana baik dan buruknya Dena yang membuat hatinya bimbang pada orang yang juga memiliki hati. Dava tidak sadar, bahwa Haga dan Dena itu berada di kelas yang sama dan lebih dekat. Haga bisa melihat setiap saat semua baik buruknya Dena dari cerita Dava tiap malam.

Dava tidak sadar, bahwa Haga juga bisa jatuh hati.

“Haga!” seru Dena. “Kenapa ngelamun?”

Haga yang tersadar hanya mengerjapkan mata. Ia serasa ditarik kembali ke kenyataan, nafasnya pun terhela.

“Gue sekarang yang mau nanya, boleh gak?” izin Dena.

“Boleh lah. Go on.”

Dena tersenyum lebar, “Lo jadinya suka sama siapa? Si anak cheers atau anak padus?”

“Gak dua-duanya,” jawab Haga langsung.

“Lah, serius? Gue kira antara dua itu soalnya mereka keliatan deket banget sama lo,” jelas Dena. “Oh, atau ada orang lain?”

Haga menatap Dena lurus, “Ada, Na.”

“Siapa?” tanya Dena ingin tahu.

Si lelaki terdiam sebentar, “Lo gausah tau deh, ntar ribet.”

Air wajah Dena menjadi tidak nyaman. Ia menyangka bahwa kalimat dari Haga itu mengatakan dirinya perempuan yang ribet.

“Bukan, maksud gue bukan lo yang ribet. Tapi masalahnya yang bakal jadi ribet.”

“Iyaaa Haga.”

“Gue udah mutusin,” ucap si lelaki yang mengundang perhatian Dena. “Gue gabakal maju.”

“Lah kenapa?” kaget Dena. “Tadi aja lo nyuruh gue maju.”

“Kalau gue maju, itu malah jadi masalah,” ucap Haga sambil lamat-lamat memperhatikan mata Dena. “Hati cewe yang gue suka udah punya orang lain, Na. Gue gak bisa maksa nerobos masuk. Walau gue maksa pun gue udah pasti kalah.”

“Kok gitu..” cicit Dena.

Haga tersenyum, “Yaaa gapapalah. Hitung-hitung buat pengalaman gue di dunia percintaan.”

Persetan tentang dunia percintaan. Rasanya Haga ingin sekali berteriak untuk menyalurkan rasa hatinya. Haga yang seperti ini bukan dirinya sekali. Haga itu biasanya selalu ceplas-ceplos, selalu mengatakan apa yang ia mau.

Tapi sial, jika dengan Dena seperti ini, rasanya ia tidak bisa berlaku seperti itu. Ada banyak hati yang berusaha ia jaga, dan ia tak mau hati Dena lolos dari penjagaannya. Ia tidak mau membuat si gadis kecewa.

Jadi, begini saja, tidak apa-apa.