Tentang Sekolahku dan apa yang terjadi.
Sial, hal seperti ini terjadi lagi.
Dan sialnya lagi, aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Menonton hal seperti ini harusnya tidak dibenarkan, harusnya ada yang menengahi. Tapi di sekolahku, selama hal itu tidak merugikan dirimu, maka tidak masalah.
Aku menghela nafas pasrah.
Yang sedang dihukum di lapangan sana adalah gengnya Jericho atau biasa disapa Jeje. Sudah bukan hal baru lagi kalau geng Jeje selalu menjadi biang masalah. Tapi kelompok biang masalah itu akhirnya hanya menundukan kepala dengan patuh dan menerima hukuman mereka.
Mereka tau, tidak, kami semua tau, kalau bermasalahnya sama Pak Adi, maka tidak ada jalan keluar selain diam.
Katanya, geng Jeje sedang bermain bola di lapangan. Memang tidak ada yang melarang karena sekarang sedang jam kosong untuk seluruh kelas. Tapi, bola mereka sayangnya tertendang jauh dan mengenai jendela ruang pertemuan yang mana sedang diadakan rapat HUT Neo disana.
Kacanya sedikit retak, namun Pak Adi bukan marah karena itu. Ia marah karena dirinya lah yang duduk bersampingan dengan kaca yang terkena bola, ia merasa tak dihargai sebagai guru.
Perasaan seperti itu mungkin bisa diterima dari sisi pak adi. Apalagi beliau sampai rela meninggalkan rapat demi menumpahkan amarahnya di lapangan.
“Tidak punya sopan santun! Tidak punya moral, dipelajaran juga kalian dibelakang! Mau jadi apa? Saya jamin kalian tidak punya masa depan! Jika ada orang-orang gagal lulusan sekolah tahun ini, maka kalian calon-calonnya!”
Teriakan Pak Adi menggema karena sekelilingnya hening. Para Murid yang menonton mungkin mengambil pelajaran dari kata-kata Pak Adi, supaya tidak diperlakukan sama.
Geng Jeje sedang push-up di depan tiang bendera sambil mendengar semua cemoohan dari seseorang yang disebut guru.
Tak hanya itu, Pak Adi juga menendang kaki mereka saat push-up agar tubuh mereka jatuh kebawah. Push-up kembali diulang kehitungan nol. Kalau begini terus, mereka tidak akan sampai ke angka 100.
“Pak Adi, sudah cukup. Cepat kembali ke ruang rapat.”
Itu bu arumi, dia Pembina olimpiadeku.
“Diam Bu Arumi, sudah saya bilang kembali saja sana. Biar saya yang mengurus anak-anak nakal ini.”
Lihat, bahkan sesama guru saja tidak bisa menghentikan ini.
Hahaha, selamat datang di Neo Liberty High School.
Ya beginilah Neo itu, setidaknya sejak 2 tahun yang lalu. Sekolah ini berubah menjadi sekolah swasta yang keras. Yayasan kami sebelumnya dibeli oleh sebuah NGO bernama Learn Study Foundation.
Setelahnya, sekolah kami di rombak habis-habisan. Nama sekolah juga berubah. Dari Neo High School, menjadi Neo Liberty High School.
Kalian tau arti Liberty?
Liberty berarti kebebasan.
Dan kalian bisa melihat banyak kebebasan disini. Bebas mengikuti eskul sebanyak yang kalian mau, bebas mengambil makan siang yang disediakan prasmanan, bebas melakukan pembelajaran dengan tablet atau laptop karena buku bukan hal yang wajib dibawa.
Yang pasti harus dibawa ke sekolah adalah otak.
Tidak ada persaingan kasta antara siapa yang kaya dan tidak di sekolah ini, yang ada hanya antara si pintar dan si pemalas—bodoh.
Tapi dengan semua kebebasan itu, aku tidak percaya kalau perkelahian dan kekerasan juga termasuk. Perkelahian antar murid tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali luka yang mereka dapat. Para guru juga tidak segan-segan menggunakan hukuman fisik—seharusnya ini hanya mengacu pada Pak Adi.
Bahkan, BK ditiadakan. Sekolah ini berubah dengan hanya mementingkan nilai dan kemampuan otak. Masalah pengembangan moral lagi-lagi mungkin hanya Pak Adi saja yang masih menjalankannya sesuai pedoman dirinya sendiri.
Namun dari semua itu, ada sebuah kebijakan yang membuatku resah. Kebijakan ini hanya berlaku saat kalian berada di kelas 12. Angkatanku adalah angkatan tahun ketiga yang merasakan hal ini.
Learn Study Foundation membuat kebijakan tentang adanya persaingan kelas terbaik khusus untuk angkatan kelas 12, yang mana yang menjadi juaranya adalah kelas yang bisa mengamankan nilai akumulatif dan rangking pararel teratas, melalui ujian sekolah nanti.
Itu bukan hal yang mudah, walaupun Neo tidak memiliki kelas unggulan, tetap saja kapasitas kemampuan setiap kelas itu berbeda-beda. Bayangkan, sebuah kelas harus mendominasi ranking pararel sekolah. 20 besar? 10 besar?
Ah, memikirkan ini aku mulai sakit kepala lagi.
Beruntung hal ini dipisahkan antara Ipa dan Ips.
Yang menjadi kelas terbaik akan mendapatkan kesempatan untuk dibiayai kuliahnya di 5 kampus terkenal di luar negeri yang mempunyai hubungan kerjasama dengan Learn Study Fondation. Karena kalau menjadi juara, maka nilai kalian tidak akan diragukan lagi, dan kalian sudah pasti diterima di universitas itu.
Artinya, masa depan terjamin. Bahkan setelah perkuliahan selesai, tidak perlu repot mencari pekerjaan, karena LSF sudah menyiapkan tempat untuk kalian diberbagai perusahaan cabang serta berbagai koneksinya, tinggal pilih ingin di negara mana.
Terlalu menggiurkan bukan?
300 murid angkatanku yang berasal dari 10 kelas, hanya ada 60 orang yang berasal dari 2 kelas yang bisa mendapatkan posisi itu.
Membentuk individu terbaik untuk mengabdi pada perusahaan ataupun semua koneksinya hanya bisa dicapai oleh kelas yang menjadi kelas terbaik nanti di hari kelulusan.
Terdengar sedikit kejam, tapi tentu ada jalan pintas. Poin kelas tertinggi adalah yang aku maksud. Walaupun nanti sudah ada pemenang kelas terbaik, kelas dengan poin tertinggi di Ipa maupun Ips punya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan ini.
Tapi hanya orang yang berada di rangking 5 besar. Dan yang lebih kejam lagi, Ipa dan Ips tidak dipisah. Menyedihkan bahwa faktanya hanya ada 5 orang beruntung yang mempunyai kesempatan itu diantara ratusan orang diangkatanku.
Keadannya tidak cukup baik. Dengan begini, para siswa pasti akan menghalalkan segara cara untuk menjadi yang teratas, baik melalui peringkat kelas maupun poin kelas. Di jaman yang serba sulit saat ini, tawaran yang diberikan pihak sekolah tentu terdengar sangat manis. Siapapun ingin mendapatkannya.
“Saya tidak nyuruh berhenti, lanjutkan!!”
Aku memalingkan mata sambil kembali menuju kelas, meninggalkan tontonan tadi karena sungguh, itu tidak layak.
Tapi kenapa hampir semua siswa memusatkan mata mereka kesana? Aneh.
Beberapa langkah lagi memasuki kelas, aku melihat Lintang. Tatapannya datar, tapi aku tau itu menyiratkan amarah. Tangannya mengepal dan ia segera berbalik menuju tangga untuk naik ke kelasnya.
Saat ia jalan berbalik, tatapan kami tak sengaja bertemu.
Aku tersenyum, lintang hanya mengangguk.
Kami langsung menuju kelas masing-masing. Sepertinya dia ingin mengambil tas-nya di kelas lalu kembali lagi ke perpus.
Lintang. Dia itu, orang yang cukup spesial. Terlepas dari fakta kalau aku menyukainya..
ya, aku suka Lintang..
suka Lintang..
suka..
tapi Lintang bilang tidak.