Evaluasi; untuk diri dan organisasi.


Mereka semua sedang ada di ruang guru, duduk di sofa yang disediakan disana, sambil mendengarkan lamat-lamat penjelasan dari Miss Ani pagi itu. Coach Dimas juga ada, justru malah beliau yang duluan mempunyai pembicaraan dengan Miss Ani tadi.

Kalian tau? Perkataan Laras tentang dia yang akan pergi meninggalkan kota ini benar adanya. Miss Ani bilang, ternyata sudah dari dua minggu yang lalu Laras mengurusi surat menyuratnya.

“Saya juga baru ingat tadi malam kalau Laras pernah mengurusi surat kepindahan,” jelas Miss Ani. “Tapi saya tidak tau kalau ternyata kemarin itu hari terakhir Laras di sekolah ini.”

Semuanya menghela nafas, Dena juga, ada perasaan kecewa dihatinya karena tidak tau harus bagaimana lagi untuk bertemu dengan Laras.

“Dan Adena, kamu tidak perlu mengganti biaya barang yang rusak, karena itu semua sudah di tanggung Laras,” jelas Miss Ani.

“Laras ngeganti semuanya, Miss?” tanya Galen.

“Iya, Galen. Ini,” ucap Miss Ani sambil menyerahkan amplop yang ternyata berisi uang. “Saya kurang tau soal cara beli-membelinya. Jadi, saya serahkan ke kamu, ke MB langsung.”

“Baik, Miss.”

“Saya harap, kejadian seperti ini tidak terjadi lagi, ya? Saya mungkin memang baru beberapa minggu ini menjadi Pembina MB, tapi saya sudah tau kalau MB itu dikenal sama kerja tim dan kekeluargaannya. Selayaknya keluarga, kalau ada masalah, segera dicari penyelesaiannya. Jika ada yang tidak enak dihati, dibicarakan bersama. Ada Galen dan Dava sebagai kepala keluarganya, saya harap kalian berdua bisa lebih care lagi sama anggota. Kalau salah satu ada yang jadi api, yang lainnya harus jadi air. Tidak hanya untuk Galen dan Dava, tapi juga untuk kalian semua pengurus yang ada disini, juga teman-teman anggota yang lain.”

Ucapan panjang Miss Ani membuat semuanya menundukkan kepala. Benar, semuanya menyetujui Miss Ani. Seharusnya kejadian seperti kemarin tidak terjadi jika mereka peka satu sama lain dan memilih untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

“Siap Miss, terima kasih banyak,” ucap Galen.

“Baik Miss Ani, terima kasih masukkannya,” tambah Dava juga.

Setelah itu, masih ada lagi wejangan lainnya yang ditambah Miss Ani dan Coach Dimas di ruang guru itu. Semua nasihat itu sangat berpengaruh dan mengevaluasi kembali kepengurusan yang ada di MB. Walaupun Dena bukan pengurus, tapi ia juga ikut merasakan rasa penyesalan dari kejadian ini.

Pembicaraan mereka berakhir diiringi dengan ucapan terima kasih serta pamit dan salim pada Miss Ani serta Coach Dimas. Beliau masih ingin berbicara dengan Coach Dimas, jadi, para pengurus bisa kembali ke kelas.

Mereka keluar dari ruang guru sambil menepuk bahu satu sama lain, mencoba saling menguatkan, ditambah dengan senyum menenangkan. Ini adalah evaluasi yang harusnya semakin mengeratkan kekeluargaan mereka. Semoga.

“Dena.”

“Kenapa, San?” sahut Dena sambil berbalik.

“Ada waktu?” tanyanya. “Gue mau bicara sebentar.”

Dena memperhatikan jam tangannya sejenak, lalu mengangguk mantap.

“Di meja bundar aja, Na,” ajak Assan.

Jadi, di sekolah mereka itu ada banyak meja bundar. Biasanya digunakan untuk anak-anak berkumpul, belajar, atau sekedar bertukar cerita. Dan kebetulan, di seberang ruang guru ada meja bundar, alhasil mereka segera menuju kesana.

“Gue mau ngomong sama Dena, nyet. Lo sana pergi!”

Ia mendengus pasrah dengan mata yang mendelik. Padahal Dava baru saja ingin ikut duduk, kasian sekali.

Dena dan Assan sampai tertawa melihat kepergian Dava yang seperti dengan langkah berat itu.

Menyudahi tawanya, Dena pun menatap Assan, “Kenapa?”

Yang ditanya mengeluarkan sesuatu dari balik almamaternya. Sebuah surat? Terlihatnya seperti itu, ditambah dengan pita merah sebagai perekatnya.

“Dari Laras.”

Rasanya jantung Dena ingin jatuh sangking kagetnya. Tangan si gadis terulur untuk menerima surat itu, surat yang kini terbuka lebar dan siap ia baca.


Dena, ini Laras. Larasati yang labil dan gak bisa ngatur emosi itu. Maaf Na, udah buat lo jadi korban. Maaf karena rasa iri gue ini, gue malah jadiin lo kambing hitam. Maaf Na, gak seharusnya gue nyalahin semua yang terjadi sama lo. Gue bodoh banget, tolol, goblok, dan semua kata jelek lainnya. Assan udah bantu gue buat sadar kalo semua yang gue lakuin itu salah. Gue nyesal, Na. Lo gatau apa-apa tapi malah gue jadiin kambing hitam karena dendam gue. Dan disaat kek gitu, lo malah nerima keadaan, bahkan lo yang minta maaf duluan ke gue. Gue, malu banget…

Maaf dan makasih ya, Na. Gue sekarang paham kenapa banyak orang yang deket dan sayang sama lo. Dan gue juga jadi tau kenapa orang banyak ngejauh dari gue, gue ternyata emang se-egois itu. Bahagia terus Dena, untuk kesekian kalinya gue mohon maaf banget. Mungkin gak lo maafin juga gapapa, gue emang buruk banget disini. Semoga semua hal baik selalu dideket lo ya, gue pamit pergi.

-Larasati.


Airmata Dena jatuh bersamaan dengan surat itu yang ia tutup. Assan datang mendekat dan menepuk-nepuk pundak Dena menenangkan.

Rasanya dada Dena sedikit sesak, “Laras pergi kemana?”

“Ke kota lain,” jawab Assan. “Dia ikut tantenya. Soalnya orang tuanya udah cerai, udah punya keluarga masing-masing.”

Airmata Dena semakin mengalir. Iya, keluarga Laras tidak seperti keluarga orang kebanyakan. Dan dengan membaca surat dari Laras ini membuat Dena seolah merasakan rasanya menjadi seorang Laras, yang semua hal yang terjadi padanya seakan tidak adil.

“Udah, Na. Jangan ditangisin terus.”

“Laras.. gimana?”

“Baik,” jawab Assan. “Tapi pas kemarin gue coba bicara sama dia, dia nangis juga. Dia nyesel, Na.”

Dena mengusap pipinya, “Semoga dimanapun Laras berada, dia baik-baik aja. Selalu dikelilingi hal baik.”

“Aamiin, Na. Aamiin,” sahut Assan. “Ayo nangisnya udahan dulu, bentar lagi bel ganti jam pelajaran.”