Merayakan Rasa Sakit.


Rasanya, Dena benar-benar terpojok. Ia tidak bisa membiarkan keadaan tetap seperti ini, tapi melihat banyak yang menyudutkannya, membuat sebagian dari diri Dena memilih untuk mengalah. Karena jika dilihat dari sisi mereka, tentu saja Dena lah yang bersalah.

Pesan dari Dava ia abaikan. Dena meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia harus menghadapi ini tanpa bergantung pada orang lain. Karena itulah, saat bel istirahat berbunyi, si gadis langsung berjalan agak terburu menuju ruang alat MB, yang sialnya sudah ada banyak orang disana.

Tatapan mata mereka pada Dena seperti sedang menghakimi, tapi tidak dengan Putri yang langsung berjalan dan berdiri di samping Dena.

“Gapapa, Na. Ayo jelasin, gue ada di samping lo,” ucap Putri menenangkan.

Dena menghirup udara banyak-banyak. Ditatapnya wajah kawanan MB-nya yang sedang melingkari dirinya. Pandangan Dena terhenti pada Galen, sang ketua yang mungkin sekarang ini yang paling frustasi.

“Gue..” ucap Dena tertahan. “Gue minta maaf, mohon maaf gue gak bisa bertanggung jawab sebagai PJ untuk bulu topi. Gue juga minta maaf karena udah teledor engga balikin kunci ruang alat ke galen. Maaf, gue gak bisa diandelin..”

Dena menggigit bibir bawahnya resah. Tatapan anak-anak MB yang lain masih saja tidak bersahabat.

“Gara-gara lo, Na. Bulu topi jadi kurang banyak, flag cg robek-robek,” tutur Galen dengan suara yang dingin, tak seperti biasanya. “Lo yang gak bertanggung jawab, tapi nanti gue yang nanggung, Na! Gue yang bakal dimarahin Coach Dimas sama Miss Ani!”

Dena memejamkan mata dengan wajah yang menunduk. Rasa bersalah berkecamuk di dalam hatinya. Memang benar, siapapun yang salah, pada akhirnya tetap Galen yang akan mendapat omelan terbanyak.

“Galen jangan teriak!” tegur Clara.

“Kak Dena, sorry.” ucap Diky. “Kak Dena cuma teledor doang, kan? Kak Dena gak sengaja, kan?”

“Kan gue udah bilang! Dena cuma teledor, Diky! Ngapain coba dia buang bulu topi sama ngerobek flag cg? Apa untungnya? Hah?!” marah Putri.

“Kak Put, gak ada yang tau,” sahut Ale. “Yang tau kebenarannya cuma Kak Dena.”

“Siapa tau Dena bohong, kan?” tambah Laras.

“Jahat banget sih kalo sampai bohong.”

“Dia gak tanggung jawab aja udah parah banget, lah ini barang-barang mb juga sampai rusak. Haduh GWS deh.”

“Seharusnya dari awal jangan Kak Dena PJ-nya. Jadinya gini kan?”

“Teledor kok sampai dua kali.”

Dan semua kata-kata tak mengenakkan lainnya yang keluar dari bibir anak-anak MB di ruang alat. Perkataan dari mereka membuat Putri naik pitam. Ia bahkan ingin mencengkram kerah baju adik kelas lelaki yang baru saja mengucapkan kata-kata jeleknya untuk Dena, tapi berhasil Dena tahan.

“Disini gue emang salah, Put. Gapapa.”

“Lo salah tapi bukan berarti mereka bisa jelekin lo, Na!” teriak Putri. “Galen! Sekarang lo mau apa? Dena udah minta maaf tentang keteledoran dia, apalagi yang lo pada mau, hah?!”

“Jujur,” kata Galen. “Lo sengaja apa gak sengaja?”

Dena menatap Galen memelas, “Len, gue gak sengaja..”

“Gak sengaja buang bulu topi sama ngerobek flag?” tanya Galen dengan mata sinis.

Skakmat. Kedua pilihan pertanyaan Galen memang memojokkan diri si gadis.

Anjing!” teriak seseorang sambil membuka pintu ruang alat.

Bahunya naik turun, wajahnya sedikit merah, tatapannya juga menyiratkan amarah, langkahnya ia bawa lebar untuk langsung berdiri di depan Dena, untuk melindungi si gadis.

“Bukan Dena,” ucapnya tegas pada Galen yang kini berada dihadapannya.

Galen tersenyum miring, “Gue kira lo bakal netral, Dav?”

“Ya karena memang bukan Dena, anjing! Gua yang nemenin dia cari bulu topi di sekolah sampai maghrib. Gua sendiri yang ngunci ruang alat, pake tangan gua,” tunjuk Dava ke tangannya. “Kemarin waktu Dena jalan bawa plastik isi bulu topi, gua juga ada disana, sama Dena, dan gak ada yang kececer!”

Dena semakin menundukkan wajahnya sambil sebelah tangannya menahan lengan Dava untuk tidak maju melakukan sesuatu yang tidak diinginkan pada Galen, sebab si lelaki terlihat sangat emosi sekali saat ini.

Jika Dava tidak datang, mungkin ia tidak tau lagi harus seperti apa. Keadaannya yang sangat terpojok ini pasti membuat orang-orang sulit untuk mempercayai perkataan si gadis.

Dena sedari tadi ingin menyebutkan nama Shirin, tapi entah mengapa, pembelaan sulit sekali keluar dari bibirnya.

“Lo nuduh orang lain, Dav?” tanya Galen sambil maju selangkah. “Atau cuma cari pembelaan buat Dena?”

Ah, sungguh. Rasanya Dava ingin sekali menerjang kawannya satu ini. Rasanya ia ingin langsung melayangkan kepalan tangannya, tapi ia memilih menahan, sebab pegangan tangan Dena pada lengannya semakin menguat, ia tidak mau gadis itu kecewa.

“Galen,” ucap Dava menggeram. “Asal lo tau, ada yang sengaja jadiin Dena kambing hitam!”

“Siapa?” tanya Rendra. “Siapa, Dav? Tunjuk orangnya kalo dia ada disini, biar masalahnya bisa selesai.”

Kenapa gak lo tanya langsung ke orang di samping kanan lo, Ren?”

Itu suara Assan. Ia baru datang, teramat santai sambil meminum es teh di tangannya, namun tatapannya sungguh tak bersahabat pada seseorang yang ada di samping kanan Rendra.

Laras?!!” kaget Putri.

Semua yang berada di ruang alat terkesiap, wajah mereka berubah kaget dan tak menyangka menatap Laras. Bahkan Dena juga tak kalah.

“Gue?” kaget Laras. “Gue kenapa? Gue gak ngapa-ngapain! Lo pada jangan sembarangan nuduh!”

“Oh ya?” tanya Assan. “Terus lo ada dimana waktu semua orang lagi nonton paskib kemarin? Lagi ngebuang bulu topi di gorong-gorong depan?”

“Laras.. lo..” ucap Dena tak percaya.

Sorot mata Laras bergetar, “B-bukan gue! Gue lagi beli es doang di depan!”

“Jujur, Ras. Gua sama Assan ada buktinya,” suruh Dava.

“Dava?! Serius bukan gue, anjing!” teriak Laras frustasi. “Galen, tolong percaya gue!”

Seakan tak melihat Laras yang sedang menatapnya memohon, Galen justru menatap Dava dan Assan bergantian, “Apa buktinya?”

Assan maju mendekati Galen sambil menyodorkan ponselnya, memperlihatkan sesuatu yang membuat mata Galen sampai membola besar.

“Kemarin, ada panitia paskib bagian keamanan yang liat cewe buang bulu topi kita di gorong-gorong,” Jelas Assan dengan nada suara menyindir. “Si cewe sih, ngiranya gada yang liat. Padahal, di parkiran seberang ada yang nge-foto.”

Penjelasan dari Assan membuat mereka kini balik menatap Laras menghakimi. Sedangkan Laras, wajahnya kini mulai memucat dengan mata yang arah pandangnya tidak fokus.

“Lo langsung dikasih tau kemarin, San?” tanya Putri.

Assan menggeleng, “Gue baru aja tau tadi pagi. Makanya gue telat kesini, soalnya gue mau nanya langsung sama saksinya.”

Dava menghela nafasnya sebelum menambahkan, “Yang ngerobek dan ngegunting flag cg juga orang yang sama. Kemarin, gua sama Dena memang yang terakhir ngunci ruang alat. Tapi sehabis ngantar Dena, gua balik lagi ke sekolah mau ngambil stik gua yang ketinggalan.”

“Dan lo,” tunjuk Dava pada Laras. “Lo ternyata lagi asik ngegunting flag cg disini. Gue kaget, Ras. Tapi wajah lo malah keliatan senang.”

“ANJIR! LO SENGAJA BIKIN DENA JADI TERSANGKA?” teriak Clara marah.

Galen yang tadinya termenung, tertawa kecil, “Oh, pantas. Jadi ini alasan lo semalam ngehasut gue buat ke ruang alat pake alibi ngecek data inventaris?”

“Wah, Ras. Gue gak nyangka lo begini,” ucap Putri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue kenal lo dari lama, Ras. Lo gak mungkin ngelakuin hal ini.”

“Kak Laras mau ngadu domba kita semua?” tanya Ale tak percaya.

“Kak, kita di MB ini semuanya keluarga. Tapi kenapa Kak Laras malah begini?” tanya Nadia yang ikut meramaikan suara bisik-bisik kecewa di ruang alat hari itu.

Laras, si tersangka, wajah pucatnya masih disana, tapi dia malah tertawa menanggapi orang-orang, “Heh Nadia! Lo kira semua keluarga itu bakal baik-baik aja? Keluarga itu juga ada yang hancur!”

“IYA SOALNYA LO YANG BIKIN HANCUR!” balas Putri.

“Lo yang buat kita semua pecah belah, Ras!” geram Clara.

“Gue juga ngelakuin itu ada alasannya jing!” Laras maju mendekati Dena yang sudah ada Dava di depannya sebagai tameng. “Lo, Dena! Gara-gara Lo! Gue begini karena lo!”

“Gue kenapa, Ras?” tanya Dena lembut mencoba melebur amarah Laras. “Gue ada bikin salah sama lo, kah? Maaf, Ras. Gue minta maaf..”

“Banyak, Dena! Salah lo sama gue itu banyak! Bahkan ngeliat muka lo aja gue muak!”

“Iya, tapi salah Dena apa sampai lo ngelakuin hal kek gini?!” tanya Putri menuntut.

“Lo diem deh, Put! Kelakuan lo sama Dena sama aja!” hardik Laras. “Semenjak temenan sama Dena, attitude lo jadi jelek banget.”

Mendengar itu, tentu saja Putri tidak terima.

“Heh anjing! Lo bilang attitude gue jelek? Lo gak ngaca kah?” geram Putri. “Tuh di ujung ada kaca, NGACA SANA!”

Galen yang tengah menahan amarahnya mencoba mengontrol suasana, “Sudah-sudah. Laras, lo mending minta maaf dulu terus jelasin kenapa lo ngelakuin ini semua.”

Tapi Laras justru mendecih diiringi tawa remeh, “Minta maaf, Len? Daripada ngelakuin itu, mending gue pergi dari sini!”

Laras berjalan membelah ruang alat dengan bahu naik turun, diiringi dengan tatapan tak percaya dari mereka-mereka yang memenuhi ruangan itu.

Saat sudah berada di pintu, ia berbalik arah sambil jari telunjuknya menunjuk Dena dengan tajam.

Dan lo, si orang jahat, semoga lo cepat mati!

“LARAS OMONGAN LO!!” teriak Putri.

Laras langsung meninggalkan ruang alat dengan menganggkat bahu tak peduli. Kepergian Laras membuat Assan mengikutinya dari belakang, entah karena apa, sepertinya ada yang ingin ia bicarakan.

Sementara itu, suasana di ruang alat sungguh tidak terkondisi. Semua orang seketika lemas, tidak ada yang menyangka bahwa jadinya akan begini. Benar-benar tidak terduga.

Dava langsung berbalik ke belakang menatap wajah Dena yang tertunduk. Diangkatnya dagu si gadis yang mana matanya sudah menampung banyak sekali air yang siap tumpah. Malah, saat netra Dava menatap tepat pada milik Dena, semua airmata itu meluruh disertai isakan kecil, membuat hati Dava terasa teriris.

“Ada gua, Na. Lo ga sendiri, ingat, kan?” ucap Dava lembut sambil mengusap airmata Dena yang membasahi kedua pipinya. “Lo bukan orang jahat, Lo baik, Dena.”

“Tapi di cerita Laras, gue orang jahatnya, Dav..”

Ah, Dava tidak kuat melihat wajah Dena yang seperti ini, wajah yang penuh kesedihan dan rasa bersalah.

Rasanya ia ingin berteriak pada orang-orang yang tadi sudah memojokkan si gadis. Rasanya ia ingin langsung merengkuh si gadis, membawa ke dalam pelukannya, serta membisikkan semua kalimat penenang, tentang semuanya akan baik-baik saja.

Tapi, tidak. Dava tidak bisa melakukan itu.

Untuk itu, ia hanya maju selangkah lebih dekat, tanganya mengelus surai si gadis berkali-berkali sebagai pengantar ketenangan pada Dena yang kini kembali tertunduk.

“Terserah apa kata orang, Na. Tapi bagi gua, lo orang baik,” ucap Dava yang terdengar merdu ditelinga Dena.

“Sama kek yang gua bilang kemarin, andelin gua, Dena. Jangan sendirian, jangan bikin gua cemas.