UKS; awal mula tragedi.
Dena berjalan dengan terburu-buru. Pikirannya juga cukup kalut. Ini adalah jam istirahat kedua, jadi koridor sekolah cukup sepi karena kebanyakan memilih untuk tetap di kelas, membuat Dena leluasa melintasi jalan ini menuju ke uks dengan hati yang tak karuan.
Saat pintu terbuka, dapat ia lihat di ranjang ujung sana Dava tengah terbaring. Ada Assan, Galen dan Rendra juga disamping kanan ranjangnya.
“Dava kenapa?” tanya Dena khawatir.
“Kaga tau, udah umur mungkin.”
Dena langsung memukul lengan orang itu, “Assan! Bahasanya gak bagus.”
Tapi Assan justru tertawa. Oh tidak hanya Assan, tapi Galen dan Rendra juga. Alhasil, Dena mendengus dan memilih untuk duduk di samping ranjang yang Dava tempati.
“Pingsannya dimana?” tanya si gadis.
“Kurang tau,” jawab Galen.
Dena mengernyit, kenapa bisa? Akhirnya ia membawa telapak tangannya untuk mengecek suhu kening Dava. Tidak panas, ia tidak demam. Nafasnya juga teratur, tapi jika didengarkan lebih teliti lagi, ada yang aneh.
Iya, Dava mendengkur, membuat Dena langsung menatap tajam ketiga teman Dava itu.
“INIMAH TIDUR ANJIRRRR BUKAN PINGSAN!!!”
Gelak tawa langsung memenuhi ruang UKS yang memang sedang tidak ada siapapun itu. Pelakunya siapa lagi kalau bukan tiga orang tadi.
“Hahaha sorry, Na. Idenya Rendra sumpah, bukan gue –AWWW sakittt naaa!” keluh Assan yang di cubit Dena.
“Lo juga bedua ya, SAMA AJA! NIH RASAIN!” kesal Dena sambil memberikan Galen dan Rendra perlakuan yang sama seperti Assan.
Suara mengaduh yang kontras dengan gelak tawa menyentak masuk ke dalam pendengaran Dava. Si lelaki terbangun dari tidur siangnya sambil mencoba membaca situasi saat ini.
“Kenapa?” tanya Dava dengan suara parau.
“Kenapa? Kenapa, Dav? NIH TANYA SAMA BESTIE LO!” sarkas Dena sambil menunjuk ketiganya.
“Ngapain lo pada kesini?” balik tanya Dava pada kawanannya yang dibalas tawa cengengesan.
Rasanya Dena kesal sekali. Mana jarak kelasnya dan UKS cukup jauh.
Dasar Assan, Galen, dan Rendra! Dena berdoa semoga mereka dikejar banci nanti saat pulang sekolah!
“Nguap terus! Cuci muka sana!” sentak Dena pada Dava yang membuat lelaki itu kaget. “Lo juga ngapain sih tidur di UKS?”
“Wah wah ini info penting sih, Na,” sahut Galen. “Dava bolos pelajaran Bu Rina!”
Matanya membelalak kaget, “Lo juga monyet!” balas Dava.
“Gue engga, Na! gue anak rajin, tadi belajar sama Miss Ani soalnya hahaha,” ucap Assan yang diiringi tawa oleh mereka, kecuali Dena yang hanya menggelengkan kepala.
“Terserah lo pada dah,” pasrah Dena. “Tapi karena lo-lo pada udah bohongin gue, gue doain semoga lo bertiga dikejar sama banci perempatan depan!”
“Astaghfirullah Dena! Doa lo jangan yang itu dong!” tegur Rendra.
“Ganti, Na. Doa yang lain!” suruh Assan.
“Yoi! Dikejar topeng monyet kek, masih mending itu,” tawar Galen.
Dena sungguh dibuat tidak bisa berkata-kata dengan kelakuan tiga manusia ini. Dengan rasa kesal yang ada diujung kepala, Dena menginjak sepatu ketiganya dengan penuh tekanan, membuat mereka mengaduh tak terima, juga tawa Dava yang mengudara.
“Heh! Lo jangan ketawa-ketawa! Sana bangun cuci muka, bentar lagi mau sholat dzuhur!” seru Dena pada Dava. “Lo bertiga juga, sholat!”
Dena langsung meninggalkan ruang UKS, meninggalkan Dava dalam kebingungan yang sampai sekarang ia tidak tau apa yang terjadi.
“Siapa yang ngide?” tanya Dava.
“Hehehehe.”
“Anu.”
“Jadi gini, Dav.”
“Siapa?” tanya Dava lagi lebih tegas.
Assan, Galen dan Rendra langsung menjawab dengan saling tunjuk yang membuat Dava menggelengkan kepala heran. Tentu saja ini ide ketiganya, entahlah tujuannya apa.
“Jangan gangguin Dena kek gitu,” ucap Dava.
“Dih, siapa lo?” sewot Assan.
Dava berdecak, “Jangan dibohongin, gak ada yang suka. Kasian Dena udah cemas.”
“Iya iyaa maaf, Dav,” tutur Galen. “Idenya si Rendra sumpah. Gue sama Assan ikutan doang.”
“Wah fitnah anjing!” seru Rendra. “Ini ide kita sama-sama! Lo jangan gak setia kawan gitu dong!”
“Hahaha iya dah Dav, salah kita bertiga, sorry,” ucap Assan.
Dava menatap jengah ketiga kawannya itu, “Buat apa, sih? Apa yang lo pada dapetin emang?”
“Bukan kita, tapi lo” tunjuk Rendra. “Lo harus liat gimana paniknya muka Dena pas masuk di UKS tadi. Dena bukan cuma cemas, tapi dia khawatir, Dav. Sorot matanya takut, lo harus tau itu.”
“Perasaan Dena masih buat lo. Walau lo pernah cerita kalo Dena mau move on, tapi nyatanya tadi dia khawatir setengah mati,” tambah Galen. “Do something. Jangan biarin Dena kelamaan nunggu, orang juga bisa capek, orang bisa nyerah.”
“Gue sebenarnya kesel liat pergerakan lo. Karena kalo itu gue, udah dari seminggu lalu gue nembak Dena,” sahut Assan. “Tapi Dena sukanya sama lo. Gerak cepat, Dav. Lo tau kan kalo Haje punya perasaan sama Dena?”
Rasanya Dava seperti di tampar dari berbagai arah. Benar, Dava terlalu lamban. Walau perasaannya sudah yakin, tapi ia bingung harus seperti apa.
Persoalan jatuh cinta sebenarnya bukan teman akrabnya. Bahkan, kalau kalian ingin tahu, Shirin adalah perempuan pertama yang menjadi pacarnya. Dan fakta kalau ia dikenalkan tentang rasa sakit melalui Shirin membuat Dava memilih tidak mau lagi berurusan dengan perasaan.
Tapi hal ajaib terjadi. Dengan beraninya Dena datang dan mencoba menghancurkan dinding tebal di diri Dava. Bahkan Dava tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi akrab dengan Dena.
Awalnya, otaknya terus menolak, tapi hatinya terus bergerak maju berlawanan. Hingga sampailah ia di titik ini, titik dimana Dava merasakan perasaan nyaman yang tanpa sadar sangat ia rindukan.
Dena membawanya kembali untuk merasakan indahnya perasaan.
“Gerak cepat, Dav. Gue mah bisa ngalah, tapi kalo Haje? Yakin lo?”