Hari Jadi MBNCS.


Malam itu, aula NEO ramai oleh orang-orang. Aula didekor dengan tidak berlebihan, pas-pas saja untuk merayakan hari jadi Marching Band Neo Country School yang ke delapan tahun.

Para alumni berkumpul, bahkan yang sudah merantau ke daerah lain karena perkuliahan juga ada. Ada Miss Ani sebagai Pembina juga Waka kesiswaan sekolah, serta Coach Dimas dan kawan-kawannya. Ada perwakilan dari setiap eskul juga yang masing-masingnya mengirim dua orang.

Pokoknya, malam itu, aula dipenuhi banyak orang dan suka cita.

Anak-anak MB angkatan saat ini yang semuanya panitia sudah tidak sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Mereka bisa menikmati acara dengan damai. Kecuali seksi acara, sih.

Kegiatan di mulai dengan pidato singkat dari Miss Ani, Waka Kesiswaan, Coach Dimas, Galen sebagai ketua MB, dan berakhir di Dava sebagai ketua panitia.

Acara berlangsung cepat, tak terasa. Setelah melakukan doa bersama dan potong tumpeng, ada sedikit penampilan dari Brass line. Dena gak ikut, tapi disana ada Assan dan Rendra dan yang lainnya. Memang ide mereka berdua itu.

Masih banyak acara yang mengisi malam itu, sampai pada waktu yang paling di tunggu orang-orang, makan-makan!

Mereka makan malam saat itu sambil menonton video lomba MB tahun lalu di layar tancap depan mereka. Itu waktu MB mengikuti lomba, yaitu GPMB series atau Grand Prix Marching Band series yang ada di tingkat provinsi mereka.

Tahun kemarin mereka juara umum 2 di kategori open class, sebuah kebanggaan karena juara 2 bertahan saat itu turun ke 3. Tahun ini mereka juga akan ikut. Kata Coach Dimas, latihan intensnya dimulai nanti setelah selesai tujuh belas Agustus sampai bulan November yang mana merupakan bulan perlombaannya.

“Ayo merapat! Gue foto ya, 1, 2, 3!”

Acara sudah berakhir. Dena bersama anak dokumentasi yang lain kini yang sibuk karena banyak sekali yang minta mereka untuk mengabadikan momen.

“Na! Gue dong fotoin,” pinta Haga.

“Dih, males. Lo gak ada gandengannya hahaha.”

“Buset jahat bener lo!” seru Haga sambil menarik tangan Dava mendekat. “Foto dulu kita bedua, babe.”

“Hahahaha.”

Selesai dari Haga dan Dava, masih banyak lagi antrian foto di belakang. Semuanya pada mau foto di photobooth yang memang menjadi primadona malam ini. Dena bergantian sama anak dokumentasi yang lain, lalu memilih duduk di dalam aula sambil memakan tumpeng sisa acara.

Si gadis tersenyum dalam keramaian. Suasana disana di penuhi suka cita. Apalagi para alumni mereka sangat mengayomi sekali dalam membawa suanasa, seru!

Dava daritadi tidak berhenti berkeliling untuk mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sudah datang. Kalau Galen sedang asik kumpul sama para alumni, katanya mau ambil ilmunya dulu.

Oh, ada Shirin dan Jero juga. Tentu saja keduanya selalu menjadi pusat atensi dimanapun itu. Kalau putri, ah lupakan, dia sedang asik berduaan dengan Sakha.

“Alhamdulillah sukses!”

Dena tersenyum, “Alhamdulillah!”

Dava duduk di depan si gadis sambil ikut mencolek tempe orek dari tumpeng.

“Makanannya ludes, nanti kita cari makan di luar aja.”

“Gampang itu mah,” kata Dena. “Yang penting, abis ini aula bersih dulu.”

Dava tertawa kecil, “Selesai acara, lanjut kerja rodi.”

“Hahahaha.”

Dena dan Dava memang tidak makan saat tadi sesi makan malam. Kalau Dena sibuk mengambil dokumentasi, sedang Dava ada di belakang proyektor. Jadinya, sekarang mereka nyemil tempe orek dari tumpeng saja dulu.

Para tamu dari eskul lain dan alumni mulai pamit pulang. Miss Ani dan Waka Kesiswaan sudah dari lama. Kini tersisa anak-anak MB angkatan saat ini, ada yang asik foto, ada juga yang sudah mulai menyimpuni barang-barang.

“Siapa itu?” tanya Dena bagai ingin tahu siapa yang baru datang.

Orang itu berjalan dengan senyum yang mengembang. Dia juga mendatangi Coach Dimas dahulu, entah membicarakan apa. Semua yang disana terdiam, masih memproses apa yang terjadi.

“Laras..??” kata Dena hampir tidak percaya.

Yang dipanggil namanya hanya tersenyum. Laras tampak lebih baik. Tidak ada lagi tatapan sinis atau tak sukanya. Assan langsung berjalan menuju samping Laras, seperti yang sudah siap untuk selalu ada disana.

“Aduh maaf telat yaa,” kata Laras sambil senyum. “Tadinya mau di jemput Assan, eh tapi ternyata guenya agak malaman baru perjalanan kesini.”

Malam itu, selesai acara seharusnya mereka bersih-bersih. Seharusnya mereka menyimpuni dulu semua dekorasi, juga kursi-kursi yang memenuhi aula. Tapi mereka malah menangis.

Laras malam itu datang dengan rendah hati untuk minta maaf pada semuanya. Ia mengaku salah, ia juga tidak mau melepas Dena dari pelukannya malam itu.

Aula seketika dipenuhi isak tangis. Kalau ada orang asing yang lewat, pasti mereka bakal kaget.

“Hadah, jadi pada nangis gini,” kata Assan seperti menyindir, tapi sendirinya juga mengusak mata.

“Lo juga anjir!” seru Putri.

“Hahahaha.”

Yang seperti ini yang semua anak MB mau. Bukan perkara nangisnya, tapi tentang masalah yang diselesaikan. Kekeluargaan mereka yang sempat dipertanyakan sekarang kian mengerat.

Dava mengusak kepala Dena, “Hebat. Gapapa nangis aja.”

“IH! Tambah nangis kan!” seru Dena tapi airmatanya terus meleleh.

Semuanya ikut tertawa, tapi ada juga tatapan aneh, dari Clara seorang.

“Lo bedua tuh deket doang atau udah jadian sih? Bingung gue.”

Dava dan Dena saling tatap, lalu setelahnya hanya senyum.