Lapangan belakang; Berantem.


Pada pagi menjelang siang itu, Anin berjalan menyusuri koridor sekolah seorang diri. Lintang sudah di perpus duluan, lagipula mereka berbeda kelas. Ada juga Renjana, teman sekelas Anin yang juga anak olim fisika, namun tadi dia sudah duluan.

Jalanan yang Anin lewati cukup sepi karena mayoritas kelas yang sedang melakukan pembelajaran.

“Akkhh!”

Langkah Anin terhenti, memperhatikan dari arah mana suara itu berasal.

“Bangkit jing!!”

Anin langsung berlari kearah samping menuju lapangan belakang. Kenapa kelahi disekolah sih, pikir Anin dalam hati. Derap suara kaki Anin membuat mereka yang berada dilapangan belakang menengok.

Tatapan Anin langsung tertuju pada seorang yang jatuh diatas tanah, banyak sekali luka dia pikir Anin. Tanpa babibu, Anin maju menembus mereka.

“Luka kamu banyak banget. Ayo ke uks!” Kata Anin sambil menawarkan tangannya pada Yovan.

Anin tidak tahu saja bagaimana tatapan Haksa dibelakangnya, tidak bisa diartikan.

Kawanan Haksa sampai tidak bisa bereaksi karena kelakuan Anin yang sangat berani ini. Nalendra terus menyenggol bahu Renald, takut-takut Haksa mengeluarkan amarahnya tiba-tiba.

“Yovan? Ayo dong cepet soalnya aku mau ke perpus nih.” Kata Anin lagi yang dihadiahi tawa kecil dari Yovan. Ia menyambut tangan Anin dan berdiri.

“Oiya, kamu juga ayo ke uks.” Tunjuk Anin pada Haksa. “Kalian bisa tolong bantu bawa gak?” Tanya Anin pada Nalendra, Renald, juga Jevan.

“Oke, yok ke uks.” Jawab Nalen hati-hati sambil menggandeng Haksa, diikuti Jevan. Sedangkan Renald ikut membantu Anin membawa Yovan.

Sampai di uks, namun tidak ada orang. Anin menyuruh keduanya duduk diranjang yang berbeda dan menyiapkan obat-obatan yang diperlukan. Karena luka Yovan yang lebih parah, jadi Anin mengobati dia duluan.

“Liat mata Haksa.” Kata Jevan pelan.

“Kesurupan?” Tanya Renald.

Jevan menatap Renald malas, “Belum, tapi ntar lagi.”

“Anin moga lo baik-baik aja.” Ucap Nalen pelan.

Tatapan mereka semua teralih kala seseorang memasuki ruang uks.

“Maaf kak tadi saya dari toilet, sini biar saya aja yang lanjutin.” Ucap seorang gadis yang sepertinya petugas uks hari ini.

Anin segera bangkit bergantian. Namun bukannya berangkat ke perpus, ia malah pindah ranjang dan mulai mengobati Haksa. Sungguh, apa Anin tidak sadar dengan tatapan Haksa yang seperti itu?

“Kalian tuh ngapain sih berantem disekolah? Kalo anak lain liat terus mereka ikutin gimana?” Tanya Anin menghadap Haksa dan Yovan dibelakang.

Andai Anin tahu, kalau semua orang yang ada di uks saat ini tengah menahan kejut setengah mati, tak terkecuali Haksa.

“Yovan kamu mau nanti orangtua mu dipanggil lagi? Gak kan?”

“Kamu juga, Haksa kan?”

Haksa mengangguk.

“Jangan dibiasain berantem disekolah, kalo diluar terserah aja. Tapi lebih baik gak usah, oke? Liat tuh muka kalian pada biru-biru, kalian suka banyak luka gitu?

Kalau kalian tahu, mata Nalen sampai mau keluar hahaha. Mereka semua yang mendengar omelan Anin sangat-sangat terkejut. Namun lebih terkejut lagi Haksa tidak melempar meja atau menghantam kaca jendela.

Tatapan Anin teralih saat melihat sebuah telpon masuk di ponselnya.

“Halo dimana lo?” “Uks, bentar lagi kesana.” “Cepet olim fisika udah mulai noh.” “Iya sabar lintang, bentar lagi kesana.”

Lalu Anin menutup telpon tadi. Dilihatnya lagi wajah Haksa, bagian mana lagi yang belum tersentuh obat-obatan. Ujung bibir, itu yang tersisa dan Anin langsung mengoleskan kapas itu disana.

Haksa tidak meringis sama sekali, apa dia tidak kesakitan? Dan lagi, Anin baru sadar kalau sedari tadi Haksa tidak melepaskan tatapannya dari mata Anin. Aneh. Sesuatu didalam diri Anin juga merasa aneh.

“Oke sudah selesai. Aku duluan ya mau ke perpus. Ingat jangan berantem lagi.” Kata Anin sambil mengarah pada Haksa dan Yovan.

Pintu uks kembali tertutup sepeninggal Anin. Suasana uks sangat sunyi, tak ada yang bersuara. Hingga Nalendra tiba-tiba berteriak. “ANJING ANJING ANJINGGGG!!!”